Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ingin Minta Petunjuk di Kelenteng? Kenali Dulu Serba-serbi "Ciam Si"

10 Juli 2020   11:09 Diperbarui: 10 Juli 2020   11:15 2373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sembahyang di Kelenteng (Tionghoa.info)

Jika anda pernah mengunjungi kelenteng-kelenteng Tao dan Buddha yang tersebar di penjuru Nusantara, maka selain patung dewa-dewi, bau asap dupa yang pekat, juga bunyi "kletek-kletek-kletek," yang berasal dari sebuah wadah bambu yang berisikan beberapa batang bambu kecil.

Ciam Si namanya, dan merupakan sebuah ritual tradisional warga Tiongkok, khususnya penganut kepercayaan Taoisme dan Buddhisme.

Ciam Si merupakan sarana untuk meramal nasib, dan umum dilakukan pada hari-hari besar tertentu, seperti menyambut tahun baru imlek, atau pada tanggal 1 dan 15 lunar (penanggalan imlek).

Namun bagi mereka yang memercayai dan ingin meminta petunjuk dari Dewa-Dewi mengenai permasalahan pribadi, bisa melakukannya kapan saja.

Gambar Ciam Si (travel.kompas.com)
Gambar Ciam Si (travel.kompas.com)
Caranya pun cukup sederhana, dan hanya perlu mengikuti beberapa aturan dasar.

Bagi penganutnya, langkah pertama tentu melakukan ritual sembahyang dupa dan tuang minyak kepada seluruh altar Dewa-Dewi yang berada di kelenteng. Setelah itu, disarankan untuk berpikiran tenang dan bertekad untuk meminta petunjuk dari "alam atas."


Ritual Ciam Si kemudian dilanjutkan dengan mengangkat wadah bambu yang biasanya berisikan 60 hingga 100 batang. Ucapkan nama, usia, tempat tinggal serta pertanyaan yang jelas.

Setelah memohon, wadah pun dikocok-kocok hingga hanya satu batang bambu saja yang keluar dari wadah. Jika ada dua atau lebih batang yang keluar, maka pengocokan harus diulang.

Batang bambu hanya berisikan nomer saja dan merupakan jawaban dari pertanyaan. Namun hal ini belum selesai, karena pemohon harus mengonfirmasi kepada Dewa-Dewi, apakah bilah bambu yang keluar sudah merupakan jawaban pasti.

Oleh sebab itu, ada alat yang bernama Siao Poe, yang merupakan dua bilah kayu yang berbentuk bulan sabit dengan satu sisi berbentuk datar dan sisi lainnya lonjong. (lihat gambar).

Gambar Siao Poe (Sumber: ojokepo.com)
Gambar Siao Poe (Sumber: ojokepo.com)
Pemohon harus melemparkan kedua bilah kayu tersebut dengan catatan:

Jika kedua bilah kayu Siao Poe tertelungkup (sisi datar berada di bawah), berarti kocokan bambu harus diulang.

Jika kedua nya terlentang (sisi datar berada di atas), maka bisa iya bisa tidak. Pemohon bisa memutuskan untuk mengocok bambu lagi, atau menganggapnya sebagai jawaban yang sah.

Jika salah satu tertelungkup dan satunya lagi terlentang, maka itu adalah jawaban yang sah.

Nomer yang keluar kemudian bisa ditukarkan dengan syair yang menggambarkan jawaban atas pertanyaan. Untuk mengartikannya, pemohon dapat meminta bantuan dari tetua kelenteng, atau peramal yang sedang bertugas.

Untuk memudahkan penafsiran, maka kertas syair biasanya terbagi menjadi tiga atau empat bagian, yaitu, sangat bagus, bagus, biasa, atau jelek.

Gambar Kertas Syair Ciam Si (Sampokong.co.id)
Gambar Kertas Syair Ciam Si (Sampokong.co.id)

Metode Ciam Si memiliki bahasa keren yaitu "Divination" atau ilmu meramal nasib. Memiliki pola yang serupa, namun tidak persis sama dengan metode pembacaan kartu, atau pembacaan bola kristal kaum gipsi. Pada umumnya metode Divination adalah sebuah tradisi yang berumur ribuan tahun lamanya.

Pun halnya dengan Ciam Si yang konon telah ada sejak ribuan tahun lalu. Tercatat dalam sejarah, awal mula metode ini adalah dengan menggunakan akar rumput sebagai Ciam Si dan kulit kerang sebagai kayu Siao Poe.

Awal Mula Sejarah Ciam Si.

Sejarah Ciam Si dimulai pada masa Dinasti Qin (221-206 SM), yang memunculkan kumpulan syair mengenai ramalan nasib kerajaan Qin (Qin Chen).

Dari kumpulan syair ramalan tersebut, pada awal Dinasti Han (206 SM-220 M), ramalan berdasarkan kitab-kitab klasik (Chen Wei) pun menjadi populer dan terus berkembang hingga ke dinasti-dinasti selanjutnya.

Chen Wei sendiri terdiri dari dua kata, yaitu nubuat (chen) serta perhitungan (wei) dan juga merupakan penggambaran teori meramal (Divination) itu sendiri.

Selain syair yang merupakan cikal bakal dari Ciam Si, metode Chen Wei juga mengenal sistem meramal dengan menggunakan diagram, atau yang biasa ditemukan pada diagram Astrologi China (shio), Fengshui, Ba Zhe (Bei Jit), dan Zhe Wei Dho Shou (Peramalan Bintang Ungu).

Ada juga metode ramalan dengan "gambar menggosok punggung" (Tui Bei Tu) yang diciptakan oleh Yuan Tiangan dan Li Chunfeng pada zaman Dinasti Tang (618 -- 907 M). Hingga saat ini, metode ramalan ini masih beredar dan dipercayai keakuratannya.

Metode ramalan terkenal lainnya yang juga menggunakan syair adalah "Nyanyian Memanggang Kue" (Shaobing Ge) yang diciptakan oleh Liu Bowen pada zaman Dinasti Ming (1368 -- 1644 M).

Ramalan ini meliputi syair mengenai masa depan Tiongkok dan dunia, yang mirip dengan ramalan Le Prophecies dari Nostradamus.

Pada masa Dinasti Han, Dongfang Shuo membuat satu kitab dengan nama "Metode Catur Sakti" (Ling Qi Jing) yang jauh lebih sederhana dari metode-metode sebelumnya.

Caranya adalah dengan menulis kata "atas, tengah, dan bawah" dalam aksara Tiongkok, pada kayu cendana dan berjumlah masing-masing empat buah (total 12 kayu). Selain itu, ada pula dibuat kayu yang hanya dituliskan angka tanpa ketiga kategori tadi. Total kayu yang dibuat memiliki 125 kemungkinan jawaban.

Cara meramal nasib dengan metode ini adalah dengan mengocok dan membariskan kayu-kayu cendana yang keluar berserakan. Hasil yang didapat kemudian disesuaikan dengan kitab padanan Catur Sakti, yang berupa syair yang harus ditafsir.

Karena ramalan sangat berhubungan dengan mahluk surgawi yang dianggap lebih suci dari manusia, maka metode ini kemudian berkembang menjadi lebih sederhana sebagai praktik Ciam Si di kelenteng-kelenteng, hingga kini.

Hingga kini, ada beberapa syair pada Ciam Si yang mengutip kitab-kitab sastra klasik, sejarah, mitos, tokoh, ajaran-ajaran Taoisme, maupun Dhamma Buddhisme.

Syair tersebut seyogyanya adalah nasehat yang berlaku tentang budi pekerti dan ajaran moral yang patut dicontohi. Namun sayangnya, masyarakat modern yang telah terbiasa dengan solusi instan, menganggap syair yang keluar tidak lebih dari "titah dewa" yang harus dipatuhi.

Ciam Si Obat.

Selain Ciam Si yang digunakan untuk meminta petunjuk Dewata, ada juga Ciam Si yang berfungsi untuk pengobatan (Yao Qian). Ciam Si jenis ini berdasarkan kumpulan buku pengobatan Dao (Dao Zang) dan sangat erat dengan sistem pengobatan Taoisme.

Zaman dahulu, pengetahuan mengenai pengobatan sangat jarang ditemukan, sehingga masyarakat Tiongkok Kuno menjadikan para tabib sebagai manusia setengah dewa.

Para Guru Taoisme (Dao Zhi), kemudian mencoba untuk mencari solusi kepada masyarakat luas, khususnya bagi mereka yang kurang mampu. Caranya adalah dengan mengembangkan Ciam Si obat.

Meskipun dengan perkembangan teknologi dan sistem medis, Ciam Si obat ini sudah tidak sepopuler dulu lagi, namun di kota Semarang, ada kelenteng Grajen dan Welahan yang masih terkenal dengan Ciam Si obatnya yang manjur.

Mereka yang skeptis, sering sinis memandang resep-resep Ciam Si obat, "Bagaimana mungkin penyakit yang berbeda dapat diobati dengan resep yang sama?"

Namun di negara Tiongkok dan Taiwan yang sangat kental dengan tradisi Ciam Si obat, pernah mengadakan penelitian baik dari sisi medis barat, sosiologi, antropologi, dan pengobatan Tiongkok Kuno, menyatakan bahwa resep-resep yang tertera pada Ciam Si Obat adalah tidak berbahaya.

Hal ini disebabkan karena sistem pengobatan Tiongkok Kuno hanya bersifat holistik dan terbuat dari bahan-bahan herbal alami. Selain itu harganya yang murah juga dapat membantu kesembuhan seseorang dari sisi psikologi.

Wasana Kata.

Apakah Ciam Si umum atau Ciam Si obat benar-benar manjur? Semuanya bergantung kepada pribadi yang memercayainya. Praktik ini sudah berlangsung selama ribuan tahun, dan hanya biasa dianggap sebagai warisan budaya.

Tidak perlulah terlalu mendewakannya, pun tidak usah juga terlalu sinis dalam menyikapinya. Warisan budaya seharusnya dihargai tanpa perlu nyinyir. Ini bukan masalah melawan agama atau ilmu pengetahuan.

Warisan budaya hanyalah bukti dan catatan mengenai perilaku manusia dalam menjalani hidup pada zamannya sendiri. Tidak lebih, tidak kurang!

Referensi: 1 2

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun