Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Melarang Anak Bergawai? Parents, Ngaca Dulu, Ya!

31 Mei 2020   07:19 Diperbarui: 31 Mei 2020   07:33 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak dan Gawai. Sumber: dailymail.co.uk

Dengan kenyataan ini, dapat disimpulkan bahwa 1 diantara 2 orang penduduk dunia adalah pengguna gawai pintar, dan mereka semua adalah calon penderita Nomophobia.

Nah bagaimana mengetahui jika kita sudah masuk ke dalam kategori Nomophobia?

Berdasarkan kajian digital dari GFK Asia, rata-rata jumlah waktu yang digunakan oleh pengguna ponsel Indonesia adalah sebesar 5.5 jam per hari, dengan perincian:

Mengecek ponsel sebanyak 80 kali per hari, meng"klik" sebanyak 2617 kali setiap hari, dan mengunjungi sekitar 46 situs dan aplikasi dalam sehari.

Nah, mari kita berhitung (atau lebih tepatnya mengira-gira), apakah penggunaan ponsel berserta rincian aktivitasnya telah melebihi angka-angka tersebut?

Jika iya, maka kita adalah penderita Nomophobia.

Jika masih bingung, tidak perlu berargumen lagi, yang jelas, kita sudah mulai terbiasa (atau tidak sadar) mengecek ponsel ditengah-tengah obrolan, pada waktu makan, atau pada saat sedang berkumpul bersama keluarga. Dan semua ini ternyata adalah gejala Nomophobia.

Pertanyaan berikut, jika semua pengguna ponsel pintar adalah penderita Nomophobia, apakah hal ini bisa dimaklumi? Karena toh manusia tidak bisa bekerja tanpa gawai bukan?

Penulis yang juga termasuk Nomophobia, mempunyai sebuah kisah menarik. Pada tahun 2019, Indonesia pernah merasakan dunia tanpa internet. Hal ini diakui pemerintah, demi keamanan negara untuk menghentikan penyebaran berita palsu (hoax) pada saat demonstari besar terjadi di Ibu Kota.

Sebenarnya, jengkel juga sih, karena banyak pekerjaan yang seharusnya bisa diselesaikan, akhirnya terhenti. Namun demikian penulis juga merasakan enaknya hidup tanpa akses internet.

Kerisauan yang muncul akibat Nomophobia hilang begitu saja karena penulis menyadari, bahwa dunia tanpa internet yang terjadi, tidak dialami sendiri. Hidup tetap berjalan normal, disaat tidak ada pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun