Diajaklah 6 orang, termasuk saya dan si Richard menuju ke rumahnya yang sepi dan memutar film Por**. Hasilnya cukup bagus. Si Richard tersenyum senyum masam mendapatkan pencerahan untuk pertama kalinya sejak bertahun tahun membuka pabrik Sper**.
Mengantisipasi pertanyaan anak mengenai seks, memang perlu niatan khusus. Tidak usah takut, apalagi terkejut, karena belum tentu anak anak selugu apa yang dipikirkan. Bisa saja mereka telah mendapapatkan Pendidikan Seks dari teman sejawatnya.
Anak Abe (tokoh fiktif), berkumpul dengan kawan dan menceritakan bagaimana ibunya berteriak teriak di waktu malam dan membuatnya sedih.
Anak Budi (tokoh fiktif), berbisik kepada Anak Cherryl (tokoh fiktif), "Aku cium kamu ya, biar nanti kita bisa menjadi orang hebat kayak ayah-bundaku."
Ini belum termasuk informasi terselubung yang dapat dengan mudah diakses di setiap gawai para anak, seperti bisa hamil di kolam renang.
Saya sendiri belum pernah mendapatkan pertanyaan menjebak dari anak anak saya. Entah apa yang terjadi, namun sepertinya anak anak tumbuh dewasa tanpa adanya Pendidikan Seks yang memadai.
Namun hasilnya cukup memuaskan, di usia mereka yang sudah 20 tahun, perbincangan mengenai seks yang sopan terjadi begitu saja. Bukannya larangan, tapi lebih kepada moralitas hubungan dengan sang pacar.
Bule bule kampung di Amerika, malah lebih ekstrim. Malam pertama kehilangan keperawanan diceritakan secara gamblang kepada orangtua. Hasilnya, kondom pun dimasukkan ke dalam tas bekal sekolah. Â
Memang Pendidikan Seks dapat menjadi dua kutub yang berbeda. Tidak membicarakannya sama sekali, atau membahasnya secara terang-terangan.
Hasil Pendidikan seks tidak dapat menjadi tanggung jawab langsung terhadap moralitas syahwat seseorang.
Apakah para lelaki hidung belang, tidak mendapatkan Pendidikan Seks sejak dini? Atau sebaliknya, seberapa jauh Pendidikan seks bagi mereka yang hidup bermoral?