Mungkin sama kasusnya dengan ajaran-ajaran kebijakan. Bila itu tidak dilakukan dengan praktik dan pembuktian secara nalar sebagai orang bijak dan praktiknya tidak mengandung kerugian bagi orang lain, ajaran itu dapat dibenarkan sebagai kebijaksanaan pribadi manusia.
Perlunya Waspada
Untuk itu perlunya waspada untuk menagkis hal-hal yang merugikan diri sendiri atas nama kepercayan harus terus di rasionalisasikan. Apa lagi itu sesama manusia yang katanya tidak sempurna.
Bawasannya sebagai makluk yang tidak sempurna seperti manusia itu memiliki sikap curang, jahat, kejam dan lain sebagainya yang negative dibalik sikap positifnya. Â
Tidak di bidang manapun, waspada supaya diri tidak terjebak dalam hal yang merugikan sangat perlu dan berpikir rasional akan tindakan itu.
Kasus pencabulan yang menyeret anak kiai, pengasuh pondok pesanteren Shiddiqiyyah Desa Losari, Ploso, Jombang, Jawa Timur sebagai cermin bahwa seseorang yang dipercaya itu dapat menjadi seseorang yang merugikan karena ketidaksempurnaannya sebagai manusia.
Maka dari itu waspadalah, waspadalah siapapun dapat berubah tidak sesaui dengan pikiran apa yang dipercaya sebelumnya.
Kelayakan bagai kebenaran, dielu-elukan dan diidealkan tidak selamanya secara praktik kehidupannya sesuai yang diharapkan.Â
Sebab yang berhubungan dengan manusia tidak ada yang sempurna sebagai sebuah kesempurnaan.
Mereka bisa salah, begitupun bisa demikian benar, akan tetapi berjalan dengan praktik dan tingkah laku yang benar itu adalah kelayakan moral.Â
Bagaimana orang menerapkan moral terlebih dahulu merepresentasikan pengetahuannya. Begitupaun ilmu "metafakta" Â diajarkan Moch Subchi Azal Tsani belum berkontribusi apa-apa yang seharunya jangan asal dipercaya.