Dan tentang berbagai jenis pelarian itu, apakah ada pelarian yang benar-benar membangun hidup manusia? Ketika patah, ia bukan harus tumbuh, tetapi harus terus tersirami oleh air supaya ranting-ranting dalam bangunan pohon yang kekeringan ini dapat berdaun kembali. Gambarannya; "Manusia adalah pohon bagi dirinya sendiri yang perlu tumbuh sehat dan waras menanggapi semua bentuk ranting dalam pikirannya yang semakin hari semakin tumbuh cabang-cabang itu untuk menemukan ruangnya" .
Memang Prio sendiri juga masih bingung dalam menjadi manusia, mengapa ia selalu dihadapkan pada kondisi hidup yang sangat paradoks sebagai manusia? Terkadang didalam lamunannya sendiri, ia seperti tengah menjadi gila, ia akan selalu gila memandang hidupnya sendiri. Oleh karena itu hanya orang yang sama-sama gila yang mau berteman dengan orang gila seperti Prio dalam memandang hidup yang sangat kontradiktif.
Untuk itu mendapatkan teman yang gila saja susah bagi Prio, apa lagi mendapat pacar "wanita" yang sama "gila" sehingga  dapat dipacari bahkan dinikahi. Mungkinkah orang yang "waras" tapi gila akan bertemu dengan karakter orang demikian? Memandang hidupnya yang gila dalam kewarasaanya tersebut?
Rokok yang ingin dihisap oleh Prio, atau dengan Bir disana yang membuat sarafnya agak sedikit terbang bersama lamunannya, apakah itu merupakan pelarian yang baik untuk dijalankan menelanjangi hari-hari? Karena untuk membeli Bir atau Rokok sendiri begitu mahal kini, dimana untuk dapat membeli semua itu, upah satu hari bekerja harus habis tidak tersisa, bahkan untuk memulihkan tenaga dengan makananya yang harus mereka beli merekapun tidak punya nilai uang lebih dari kerjanya tersebut.
Tidak ada kedamaian seperti menikmati tidur pulas, namun bagimana ketika tidur itu sudah tidak lagi dapat dinikmati karena bayang-bayang realitas sendiri menghantuinya? Kekhawatiran dan kegelisahan pada sesuatu yang belum terjadi dan hanya ada ditatar pikiran, untuk menjadi waras memang tidak mudah, menjadi gila apalagi, justru semakin tidak mudah karena lingkungan sosial akan mengisolasinya.
Sesulit apapun Prio menjadi dirinya sendiri, ketikan-ketikan suara hatinya yang harus terketik pada akhirnya menjadi bentuk terapi, apakah ini derita bagi orang-orang yang berada dalam kesendirian dan cenderung menemukan dirinya dengan menulis? Ungkapan yang abstrak, mental yang begitu saja dapat berubah-ubah, terkdang ia dapat berbahagia, tetapi kekalutan pikirannya, yang justru dirinya terperosok pada lubang pikiran yang membuat derita sebagai dirinya.
Prio menyadari, mendambakan suatu kesempurnaan dalam hidup memang konyol, bau dupa saja yang sedikit dapat membuat terapi, bila dibakar, ia bukan saja akan membuat dada sesak bila terus dihirup, tetapi hidung untuk menghirup itu, rasanya tinggal setengah, karena setengahnya  dari hidung adalah asap yang terbakar dengan tajam menusuk paru-paru yang bersih tanpa asap rokok. Sebab merokok diabad ke-21 bukan masalah kesehatan yang diperkaran Prio, hanya saja harga yang mahal membuat rokok haruslah menjadi barang sampah yang tidak patut untuk dibeli.
Mata yang masih sayup dirasakan Prio pagi ini, terus saja ia menulis untuk membuat suasana hatinya menjadi lebih baik dan semakin baik lagi untuk bereaksi terhadap hidupnya. Apakah benar seorang penulis itu rawan dengan menidap gangguan mental? Ataukah mungkin gangguan mental itu sudah di-idap penulis sebelum ia menulis? Dan gangguan mental itu menjadi ringan bebannya ketika ia mulai menulis?
Tetapi kecenderungan lari terhadap menulis, apakah itu juga suatu kehendak alamiah manusia untuk mengobati rasa ketidakwarasaanya sendiri dalam kejiwaannya? Mungkinkah kelainan pada jiwa yang membuat gila sendiri dialami semua manusia yang katanya waras itu dalam aktivitas sehari-hari mereka?
Haruskah hidup semua manusia digantungkan dengan keberadaan yang melampaui dirinya untuk berpasrah bahwa; "hidup dalam apapun kondisinya harus tetap dinikmati dan dijalani"? Apakah dengan konsep kenikmatan yang tergambar jelas dirasakan orang lain, mungkinkah itu benar-benar idealnya kebahagiaan terhadap diri kita sendiri? Prio terus bertanya dalam sesuguhan ketikannya di pagi yang menyebalkan ini, hari libur yang justru tidak bersahabat, Â ia "Prio" ingin terus melajutkan narasi teks novelnya yang banyak ia kisahkan dari kontradiksi hidup dirinya sendiri.
Musik instrumental yang harus dimainkan, pagi buta yang cerah Prio sudah didepan laptopnya, karena tiada hiburan lagi, ia akan kemana saat pagi? Dengan siapa? Apakah ada yang ingin berteman dengannya? Mengapa wanita itu, ia selalu dapat tersenyum menyembunyikan kegundahan hati dan hidupnnya? Walapun hanya diimajinasinya saja, mungkin benar keindahan wanita adalah seni dari mahakarya tuhan, dimana mereka tidak ada habis-habisnya untuk terus ditafsirkan.