Berbeda dari Kucing hutan yang liar, insting tajam sebagai hewan jalanan menyala dalam logikannya. Jika tanda bahaya itu memaksanya, antara dua hal luluh dan melarikan diri, di sanalah kemerdekaan Kucing hutan yang liar.
Semua keputusan ada dalam dirinya sendiri. Meskipun harus hidup pada ketidakpastian makan yang harus mereka jalani. Tetapi apapun itu, tentu metafora Kucing juga dapat dijadikan makluk lain seperti Kambing bahkan satu contoh manusia.
Ada kalanya banyak rasa mengerus hati, meski keluaran tidak terus sejalan dengan kepastian hasil namun sudahlah. Perbedaan manusia dengan hewan itu harus ada, dan disadari dari dasar diri manusia yang bijaksana.
Jika hewan tidak bisa menulis atau melukis logikanya, kebisaan manusia dalam hal itu harus menyadarkan. Meski ia bisa, yang lain-pun dapat, mungkin karna pilihan yang memilih seseorang.
Bayangkan pada satu Box Redaksi Koran Harian, naskah banyak sekali memenuhi Box itu. Di sisi lain setiap hari hanya satu artikel yang dimuat di dalam badan Koran hariannnya. Sayangnya sebagus apapun tulisanmu, tanpa data engkau tidak akan dapat berkata-kata.
Meskipun permainan logikamu ciamik seperti Rene Descartes filsuf dari Prancis. Namun itu bukanlah jamianan dapat uang 200-300 Ribu Rupiah sekali engkau mengirim tulisan.
Mungkin kita para pengirim naskah haruslah bersabar bahkan mematikan harapan. Memang tanda bahagia adalah hobi yang dapat dibayar. Bukan materilasime, tetapi, manusia tidak mau, jika kau dapat dari apa yang kami buat, memakan keuntungannya sendiri tanpa kami, apa bedanya dengan kreatifitas logika yang tidak dihargai? Jika ia terus berlangsung, masikah anda sebagi pengirim naskah?
Kapitalisme muktahir memang sinis, merka memilih siapa-siapa orang yang pantas dijadikan obyek dalam akumuliasi modal kehidupan. Kerancuan ini memang seakan bertepi kemudian.
Meski dibayar dalam berkarya adalah suatu yang sulit, namun ketika bahagia ada dari menulis, lukislah ia dalam semseta pemikiran yang bebas. Kritik-lah mereka yang patas dikritik tanpa malu engaku telah dibayar.
Sekalipun dibayar, sebagai pemikir yang bebas. Tanda dari banyaknya rupiah yang telah engkau terima pun haruslah sebagai tombak untuk menelanjangi kebohongan dan ketidakadilan dari diri-diri curang pada kehidupan. Ilusi yang terperangah jauh, janglah ini sebagai keyakinan tapi sebagai permainan.
Bahwa bermain logika tidak-lah tetap. Hanya semesta rangsangan berpikir kita sebagai manusia yang eksis dalam pemikiran-pemikiran kritis ala filsuf muktahir yang selalu ditungggu keberadaannya.