Mengapa sebagian dari kita tega  membunuh mahluk hidup yang tinggal di hutan secara keji, mengeksploitasi hutan dan isi bumi secara berlebihan?Â
Dengan alasan demi kebutuhan perut yang terlalu dilebih-lebihkan. Demi sebuah alasan agar memiliki tempat tinggal yang nyaman menurut ukurannya sendiri, sehingga harus membuka hutan dan mengusir secara paksa yang sudah terlebih dahulu tinggal disana.
Saya jadi teringat cerita Bagus, laki-laki paruh baya yang begitu senang setiap kali ditugaskan kembali masuk hutan. Dari hutan, dia belajar tentang arti kecil di mata Tuhan. Mulanya saat pertama kali sendirian berada dalam hutan dirinya takut, hilang rasa percaya diri, kesepian, tidak berdaya di tengah gelap dan luasnya hutan.
Pengalaman dan pengamatan selama di hutan Kalimantan, membuat Bagus menebak praktek karhutla akan berhenti setelah tanggal 20 September, karena musim hujan tidak lama lagi akan tiba.
Tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan para penghuni hutan. Sepi, desiran angin diantara ranting yang letaknya tinggi di atas pohon. Demikian pula suara hewan liar di kejauhan jelas terdengar di telinga. Itu semua menyadarkan Bagus jika dirinya sangat kecil di mata Tuhan. Sekaligus menyadarkan untuk rendah hati dan takut kepada Tuhan.
Apakah kita sudah tuli sehingga tidak mampu mendengar rintihan kesakitan mahluk hidup yang mati pelan-pelan akibat tidak bisa bernafas?