Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) seperti penyakit tahunan yang menggerogoti wibawa presiden sejak jamannya Soeharto sampai Jokowi. Karhutla bukan semata-mata fenomena alam terkait musim kemarau namun karena ulah sekelompok orang yang tidak peduli pentingnya menjaga bumi atau lingkungan dan hutan.
Saat hujan mulai malas untuk turun membasahi sebagian Sumatera dan Kalimantan, para pelaku pembakaran hutan biasanya mulai bergerak membakar lahan. Mereka bukan para peladang berpindah. Mereka orang-orang yang keluar masuk hutan bukan untuk mencari makan secukupnya.
Mereka adalah bagian dari sekelompok orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Mencari gampang dalam urusan memenuhi kebutuhan perut. Orientasi makan mereka, tidak pada pemahaman bahwa makan untuk hidup tetapi hidup untuk makan.
Perhatian hidupnya hanya diarahkan pada perut. Semua yang dicari dan ditimbun mengarah pada nafsu untuk memuaskan berbagai  keinginan yang tiada habisnya. Memuaskan segala nafsu yang berpusat di sekitar perut. Mengonsumsi tiada akhir termasuk mengeksploitasi alam dengan membabi buta.
Pelaku dan penggagas pembakaran lahan dan hutan adalah orang-orang yang memutus rantai kehidupan di alam. Memutus keseimbangan yang selama ini terjaga dengan baik. Dengan mudah mereka menghindari tudingan sebagai perusak ekosistem hutan walau apa yang dilakukan sudah sangat destruktif.
Mereka tidak hanya merusak alam Kalimantan tetapi juga alam global, mengurangi luas paru-paru dunia. Pohon semakin jarang, ditambah dengan asap yang menutupi sebagian bumi khatulistiwa sehingga dapat meningkatkan efek rumah kaca atau pemanasan global.
Bagus Widagdo laki-laki asal Kulonprogo, Yogyakarta hafal dengan perilaku kelompok penebang dan pembakar hutan serta ladang. Walau baru dua tahun dirinya keluar masuk hutan di Kalimantan, untuk survei pembangunan dan pengembangan infrastruktur jalan di Kalimantan. Bagus mudah menghafali pola-pola mereka.
"Kalau masih ada hujan, sebagian lahan gambut masih ada air. Tinggi setumit kaki orang dewasa. Saat musim hujan mereka gak berani. Air di hutan, berwarna hitam setinggi pinggang. Belum lagi baunya," jelas bagus sambil mengernyitkan dahi dan menggerakkan hidungnya, seolah ingin menunjukkan kepada saya bagaimana baunya air dilahan gambut.
"Pelaku pembakaran hutan itu ada otaknya," jawab Bagus saat saya mengucapkan dua kata "kebakaran hutan" di sebuah warung di Yogya yang cukup terik siang itu (17/9/2019) mengawali obrolan tentang hutan dan lingkungan.
Demikian pula Kapolri Tito Karnavian, menduga ada unsur kesengajaan dalam kebakaran hutan dan lahan di Riau. Maka tidak heran jika Kapolri mengisyaratkan kemarahan pada jajarannya, jika sampai Kapolda tidak mampu mengatasi kebakaran lahan maka akan dicopot jabatannya. (Tribunnews, 16/9/2019)
Asap dari karhutla mengancam kesehatan dan keselamatan manusia wajar jika sebagian warga yang memiliki balita mengungsi. Menjauhi kepungan asap yang cukup pekat dan berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia khususnya paru-paru, saluran pernafasan dan mata.
Apalagi mengetahui gubernur Riau, Syamsuar malah pergi ke Thailand dengan alasan dinas padahal rakyat yang dipimpinnya sedang berjuang hidup di tengah pekatnya asap. Sebagaimana Tempo (18/9/2019) melaporkan, Syamsuar ternyata juga tidak hadir dalam rapat koordinasi Satgas Karhutla di landasan udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru.
Mendagri menegaskan kepala daerah dan jajarannya harus lah melakukan tugas utama yakni melindungi masyarakat dari bencana daripada berpihak pada perusahaan pemilik lahan yang terindikasi sebagai penyebab bencana karhutla.
Tjahjo sendiri sempat menyindir Gubernur Riau Syamsuar yang pergi dinas ke Thailand saat masyarakat Riau tengah tercekik pekatnya asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Bahkan Syamsuar juga diketahui tak hadir dalam rapat koordinasi Satgas (Satuan Tugas) Karhutla di Landasan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru.
Saya jadi teringat kisah Nuh yang diperintahkan Tuhan untuk membuat kapal besar atau bahtera karena akan ada hujan deras tidak ada hentinya selama empat puluh hari, empat puluh malam. Kemudian pada hari ketujuh belas terbelah segala mata air sehingga mengeluarkan banyak air dan menjadi air bah yang menutupi seluruh permukaan bumi.
Mengapa dalam kisah tersebut Tuhan begitu murka kepada manusia? Kenapa Dalam kisah itu Tuhan memutuskan untuk mengakhiri hidup segala mahluk dengan air bah ? Karena bumi telah rusak dan manusia menjalani hidup dengan kekerasan kecuali Nuh dengan keluarganya.
Mengapa sebagian dari kita tega  membunuh mahluk hidup yang tinggal di hutan secara keji, mengeksploitasi hutan dan isi bumi secara berlebihan?Â
Dengan alasan demi kebutuhan perut yang terlalu dilebih-lebihkan. Demi sebuah alasan agar memiliki tempat tinggal yang nyaman menurut ukurannya sendiri, sehingga harus membuka hutan dan mengusir secara paksa yang sudah terlebih dahulu tinggal disana.
Saya jadi teringat cerita Bagus, laki-laki paruh baya yang begitu senang setiap kali ditugaskan kembali masuk hutan. Dari hutan, dia belajar tentang arti kecil di mata Tuhan. Mulanya saat pertama kali sendirian berada dalam hutan dirinya takut, hilang rasa percaya diri, kesepian, tidak berdaya di tengah gelap dan luasnya hutan.
Pengalaman dan pengamatan selama di hutan Kalimantan, membuat Bagus menebak praktek karhutla akan berhenti setelah tanggal 20 September, karena musim hujan tidak lama lagi akan tiba.
Tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan para penghuni hutan. Sepi, desiran angin diantara ranting yang letaknya tinggi di atas pohon. Demikian pula suara hewan liar di kejauhan jelas terdengar di telinga. Itu semua menyadarkan Bagus jika dirinya sangat kecil di mata Tuhan. Sekaligus menyadarkan untuk rendah hati dan takut kepada Tuhan.
Apakah kita sudah tuli sehingga tidak mampu mendengar rintihan kesakitan mahluk hidup yang mati pelan-pelan akibat tidak bisa bernafas?