Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Karhutla dan ke Mana Perginya Rasa Takut Kepada Tuhan ?

19 September 2019   11:54 Diperbarui: 19 September 2019   16:00 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) seperti penyakit tahunan yang menggerogoti wibawa presiden sejak jamannya Soeharto sampai Jokowi. Karhutla bukan semata-mata fenomena alam terkait musim kemarau namun karena ulah sekelompok orang yang tidak peduli pentingnya menjaga bumi atau lingkungan dan hutan.

Saat hujan mulai malas untuk turun membasahi sebagian Sumatera dan Kalimantan, para pelaku pembakaran hutan biasanya mulai bergerak membakar lahan. Mereka bukan para peladang berpindah. Mereka orang-orang yang keluar masuk hutan bukan untuk mencari makan secukupnya.

Mereka adalah bagian dari sekelompok orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Mencari gampang dalam urusan memenuhi kebutuhan perut. Orientasi makan mereka, tidak pada pemahaman bahwa makan untuk hidup tetapi hidup untuk makan.

Perhatian hidupnya hanya diarahkan pada perut. Semua yang dicari dan ditimbun mengarah pada nafsu untuk memuaskan berbagai  keinginan yang tiada habisnya. Memuaskan segala nafsu yang berpusat di sekitar perut. Mengonsumsi tiada akhir termasuk mengeksploitasi alam dengan membabi buta.

(foto:tribun)
(foto:tribun)
Jauh dari kesadaran untuk melestarikan, menjaga alam. Menanam atau memproduksi guna menjaga keberlangsungan hidup dengan mempertahankan, memperbaiki dan merawat demi kebermanfaatan secara berkelanjutan.

Pelaku dan penggagas pembakaran lahan dan hutan adalah orang-orang yang memutus rantai kehidupan di alam. Memutus keseimbangan yang selama ini terjaga dengan baik. Dengan mudah mereka menghindari tudingan sebagai perusak ekosistem hutan walau apa yang dilakukan sudah sangat destruktif.

Mereka tidak hanya merusak alam Kalimantan tetapi juga alam global, mengurangi luas paru-paru dunia. Pohon semakin jarang, ditambah dengan asap yang menutupi sebagian bumi khatulistiwa sehingga dapat meningkatkan efek rumah kaca atau pemanasan global.

Bagus Widagdo laki-laki asal Kulonprogo, Yogyakarta hafal dengan perilaku kelompok penebang dan pembakar hutan serta ladang. Walau baru dua tahun dirinya keluar masuk hutan di Kalimantan, untuk survei pembangunan dan pengembangan infrastruktur jalan di Kalimantan. Bagus mudah menghafali pola-pola mereka.

(foto:authgram)
(foto:authgram)
Awal bulan Agustus, pelaku pembakaran hutan dan lahan melakukan aksinya secara sporadis. Titik - titik api sudah ada namun belum kelihatan, asap juga masih malu-malu menampakkan diri maka tidak heran jika belum begitu banyak mendapat perhatian. Tapi bagi Bagus hal itu nampak jelas di matanya.

"Kalau masih ada hujan, sebagian lahan gambut masih ada air. Tinggi setumit kaki orang dewasa. Saat musim hujan mereka gak berani. Air di hutan, berwarna hitam setinggi pinggang. Belum lagi baunya," jelas bagus sambil mengernyitkan dahi dan menggerakkan hidungnya, seolah ingin menunjukkan kepada saya bagaimana baunya air dilahan gambut.

"Pelaku pembakaran hutan itu ada otaknya," jawab Bagus saat saya mengucapkan dua kata "kebakaran hutan" di sebuah warung di Yogya yang cukup terik siang itu (17/9/2019) mengawali obrolan tentang hutan dan lingkungan.

(foto:kompas/setpres)
(foto:kompas/setpres)
Sebagaimana Presiden Jokowi menduga jika kebakaran hutan dan lahan tersebut dilakukan secara terorganisasi karena luas karhutla di sejumlah desa terlihat sangat luas dan besar. Hal itu disampaikan Presiden saat meninjau lokasi karhutla di desa Merbau, Bunut, kabupaten Pelalawan, kota Pekanbaru. (Tempo,18/9/2019)

Demikian pula Kapolri Tito Karnavian, menduga ada unsur kesengajaan dalam kebakaran hutan dan lahan di Riau. Maka tidak heran jika Kapolri mengisyaratkan kemarahan pada jajarannya, jika sampai Kapolda tidak mampu mengatasi kebakaran lahan maka akan dicopot jabatannya. (Tribunnews, 16/9/2019)

Asap dari karhutla mengancam kesehatan dan keselamatan manusia wajar jika sebagian warga yang memiliki balita mengungsi. Menjauhi kepungan asap yang cukup pekat dan berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia khususnya paru-paru, saluran pernafasan dan mata.

(foto:daily mail)
(foto:daily mail)
Masalah karhutla yang tidak segera teratasi  juga membuat geram Mendagri, Tjahjo Kumolo sehingga mengeluarkan pernyataan keras agar pemerintah daerah tidak menghalangi, jangan melindungi atau kongkalikong dengan perusahaan. Saat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyegel 10 lahan milik perusahaan yang diduga menjadi penyebab  meluasnya asap akibat karhutla.

Apalagi mengetahui gubernur Riau, Syamsuar malah pergi ke Thailand dengan alasan dinas padahal rakyat yang dipimpinnya sedang berjuang hidup di tengah pekatnya asap. Sebagaimana Tempo (18/9/2019) melaporkan, Syamsuar ternyata juga tidak hadir dalam rapat koordinasi Satgas Karhutla di landasan udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru.

Mendagri menegaskan kepala daerah dan jajarannya harus lah melakukan tugas utama yakni melindungi masyarakat dari bencana daripada berpihak pada perusahaan pemilik lahan yang terindikasi sebagai penyebab bencana karhutla.

Tjahjo sendiri sempat menyindir Gubernur Riau Syamsuar yang pergi dinas ke Thailand saat masyarakat Riau tengah tercekik pekatnya asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Bahkan Syamsuar juga diketahui tak hadir dalam rapat koordinasi Satgas (Satuan Tugas) Karhutla di Landasan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru.

(foto:Republika/antara)
(foto:Republika/antara)
Jika seorang pemimpin kurang peduli pada rakyat dan lingkungannya maka siap-siaplah tata kehidupan dan lingkungan hidup akan rusak. Menjadi tidak layak sebagai tempat tinggal dan kemudian diikuti kerusakan tatanan sosial. Muncul aksi kekerasan dan tindak kejahatan karena setiap orang berusaha mencari selamat sendiri. Sehingga semakin memperparah situasi dan kondisi.

Saya jadi teringat kisah Nuh yang diperintahkan Tuhan untuk membuat kapal besar atau bahtera karena akan ada hujan deras tidak ada hentinya selama empat puluh hari, empat puluh malam. Kemudian pada hari ketujuh belas terbelah segala mata air sehingga mengeluarkan banyak air dan menjadi air bah yang menutupi seluruh permukaan bumi.

Mengapa dalam kisah tersebut Tuhan begitu murka kepada manusia? Kenapa Dalam kisah itu Tuhan memutuskan untuk mengakhiri hidup segala mahluk dengan air bah ? Karena bumi telah rusak dan manusia menjalani hidup dengan kekerasan kecuali Nuh dengan keluarganya.

(foto:deteam/micetimes)
(foto:deteam/micetimes)
Bukankah hutan merupakan bagian dari ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara, sebagai tempat tinggal mahluk hidup lainnya dan generasi mendatang? Kemana rasa takut kita kepada Tuhan jika ciptaanNya pun kita rusak. Mengapa kita begitu congkak ?

Mengapa sebagian dari kita tega  membunuh mahluk hidup yang tinggal di hutan secara keji, mengeksploitasi hutan dan isi bumi secara berlebihan? 

Dengan alasan demi kebutuhan perut yang terlalu dilebih-lebihkan. Demi sebuah alasan agar memiliki tempat tinggal yang nyaman menurut ukurannya sendiri, sehingga harus membuka hutan dan mengusir secara paksa yang sudah terlebih dahulu tinggal disana.

Saya jadi teringat cerita Bagus, laki-laki paruh baya yang begitu senang setiap kali ditugaskan kembali masuk hutan. Dari hutan, dia belajar tentang arti kecil di mata Tuhan. Mulanya saat pertama kali sendirian berada dalam hutan dirinya takut, hilang rasa percaya diri, kesepian, tidak berdaya di tengah gelap dan luasnya hutan.

(foto: alpha coders)
(foto: alpha coders)
Kedigdayaannya yang pernah menjadi debt colector, keahliannya dalam menggunakan teknik beladiri dan senjata api legal yang selalu terselip di pinggangnya. Menjadi tidak ada artinya manakala bertemu dengan "kesunyian" di hutan.  

Pengalaman dan pengamatan selama di hutan Kalimantan, membuat Bagus menebak praktek karhutla akan berhenti setelah tanggal 20 September, karena musim hujan tidak lama lagi akan tiba.

Tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan para penghuni hutan. Sepi, desiran angin diantara ranting yang letaknya tinggi di atas pohon. Demikian pula suara hewan liar di kejauhan jelas terdengar di telinga. Itu semua menyadarkan Bagus jika dirinya sangat kecil di mata Tuhan. Sekaligus menyadarkan untuk rendah hati dan takut kepada Tuhan.

(foto: pixabay)
(foto: pixabay)
Tidakkah kita takut jika kita ditenggelamkan kembali akibat rusaknya tatanan lingkungan hidup sebagaimana orang-orang di jaman Nuh, yang merusak bumi atau alam, yang gemar melakukan kekerasan terhadap sesama?

Apakah kita sudah tuli sehingga tidak mampu mendengar rintihan kesakitan mahluk hidup yang mati pelan-pelan akibat tidak bisa bernafas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun