Tak lama kemudian sejak kami menunggu sebuah kendaraan yang menuju arah sekolah, datanglah sebuah tremco kearah kami, tremco itu sedikit terlihat berdebu dan tak terawat. Di bagian depan terlihat sesosok Pak sopir yang tua, berbadan besar, wajahnya nampak kusam, rambutnya lusuh, bola matanya terfokus melihat kearah kami. "Rii yakin naik yang ini, kayanya ga aman deh, serem gitu lho penapilannya", kata Ucup kepadaku dengan khawatir.
"Iya ya? Yaudah deh nunggu yang laen aja, serem juga Cup." Jawabku setuju kepada Ucup untuk mengabaikannya. Mata Pak supir tua itu tetap memandangi kami, entah sambil menahan rasa apa, akhirnya Pak supir tua itu meninggalkan kami. Setelah beberapa menit kemudian, kami memutuskan berangkat menggunakan taksi untuk menghemat waktu dan mengejar keterlambatan.
***
Sesampainya kami di Sekolah, Ustadz mengomel kepada kami, Aku dan Ucup hanya bisa mendengarkan sampai selesai dan menunggu diberi izin untuk masuk ke kelas. Hari itu kelas berjalan seperti hari-hari biasa, riuh suara murid memenuhi ruang-ruang kelas, tak terlepas dari semangat para asaatidz yang dalam menyampaikan ilmu-ilmunya untuk setiap murid, angin yang perlahan berhembus menyelinap jendela kelas selalu berhasil merayu kedua mataku untuk terpejam dan menikmati indahnya alam mimpi saat itu. Tak terasa setiap jam pelajaran terlewatkan dengan cepat hingga di sambut oleh suara bel menandakan kegiatan belajar mengajar telah usai.
      Kriiiiing!
Suara bel memekakkan setiap telinga yang mendengarnya. Bersamaan para murid bahagia menayambutnya, suara derap kaki memenuhi lorong kelas, waktu yang dinanti-nanti telah tiba, pulang. "Ntar mau ke mahattah yang tadi lagi?" tanya Ucup yang tiba-tiba membersamaiku di halaman sekolah. "Iya kayanya Cup, belum tau lagi mana mahattah selain mahattah yang tadi, kalem elah." Jawabku sambil mencoba meyakinkan Ucup untuk tidak khawatir.
Tak lama menunggu, kami langsung mendapatkan tremco yang menuju ke mahattah attabah itu. Mahattah terlihat agak ramai, terlihat para pejalan kaki yang lalu lalang melintas di mahattah siang menjelang sore itu. Namun, entah mengapa perasaanku tetap khawatir dan memaksaku untuk selalu waspada.
Perjuangan menyusuri jalan-jalan sempit kembali menguji kami, kali ini dari arah sebaliknya kami mencoba mengingat-ingat petunjuk yang dimiliki. Cahaya semakin memudar ketika kami semakin berjalan ke dalam gang, bangunan-bangunan yang berhimpitan menghalangi terangnya sinar matahari yang hendak menerangi. "Ta'aala enta! hatruh fien ya walad!" tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara seseorang dibelakang, suara itu seakan mengancam, perasaan kami seketika menjadi tak terkendali, berbagai macam spekulasi terburuk hadir dipikiran.
Kami pun mencoba tak peduli dan melanjutkan perjalanan, sialnya kami malah salah membaca arah dan terjebak di sebuah pojok gang yang buntu. Tak disangka suara derap langkah terdengar menyusul ke arah kami. "Rii gimana nih, aduh?" Aku tak memedulikan Ucup, mataku hanya terfokus mencari sebuah benda yang bisa digunakan untuk menghindari segala kejadian yang tak diinginkan nanti.
Keadaan benar-benar menakutkan kami, bak seperti ustadz dadakan, segala dzikir dan doa tak henti kami rapalkan. Hanya berharap dengan iman dan tawakkal, juga segenggam balok kayu ditangan, kami bersiap menghadapi segala hal yang akan menimpa kami. Suara derap kaki itu semakin terdengar mendekat, terlihat sesosok bayangan hitam besar mendahului badannya, dan akhirnya sosok itu benar-benar muncul di hadapan kami, wajahnya kusam, rambutnya kusut, pakaiannya lusuh, badannya begitu besar dan kekar layaknya orang-orang arab lainnya. Belum lagi tangannya yang bersembunyi dibalik badannya, seperti menyembunyikan sesuatu yang ingin diarahkan kepada kami.
"Rii! itu bukannya Pak sopir tua yang tadi pagi!?" gertak Ucup membuyarkan konsentrasiku, "Apa!? Ternyata memang benar itu adalah Pak sopir tua tadi pagi! Mau apa dia?!" gumamku pada hati. Namun, tak peduli, aku hanya bersiap-siap mengancamnya dengan balok kayu ke arah kepalanya.