KABAR HUKUM - Di tengah gelombang demonstrasi yang berlangsung di berbagai titik kota, mengemuka pertanyaan mendasar tentang makna keadilan. Ribuan warga yang menyuarakan aspirasi di ruang publik tidak semata menuntut perubahan kebijakan, melainkan juga mempertanyakan sejauh mana sistem hukum yang ada mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
Profesor Satjipto Rahardjo, seorang pemikir hukum progresif asal Indonesia, pernah mengajukan gagasan inovatif bahwa esensi hukum adalah untuk melayani manusia. Dalam karya-karyanya yang berpengaruh, beliau menegaskan bahwa sistem hukum tidak seharusnya menjadi alat birokrasi yang menyulitkan masyarakat, tetapi harus berfungsij sebagai jembatan menuju kesejahteraan bersama. Konsep ini terasa sangat relevan ketika kita melihat gelombang demonstrasi yang terus menerus terjadi. Para demonstran sebenarnya sedang menyuarakan kekecewaan terhadap hukum yang terkesan kaku, terlalu administratif, dan sering kali terpisah dari realitas kehidupan sehari-hari orang-orang biasa.
Fenomena protes ini menggarisbawahi persoalan mendasar di bidang hukum untuk mencari keseimbangan antara kepastian peraturan dan keadilan. Hukum memang memerlukan prosedur yang jelas dan dapat diprediksi, tetapi penerapan yang terlalu kaku sering kali menghasilkan keputusan yang secara teknis benar, namun dianggap tidak adil oleh publik. Keberadaan demonstrasi di tempat umum mencerminkan sejauh mana hukum mampu memenuhi rasa keadilan bersama. Ketika masyarakat merasa suara mereka tidak terwakili melalui saluran resmi, berunjuk rasa di jalan sering menjadi pilihan untuk menyampaikan pendapat.
Demonstrasi dan Legitimasi Konstitusional
Aksi unjuk rasa atau demonstrasi bukan yang tindakan melanggar hukum di negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Undang-Undang Dasar kita dengan jelas mengakui hal tersebut melalui Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang memberikan perlindungan dasar terhadap hak untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat. Ketentuan ini menegaskan bahwa unjuk rasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hak-hak sipil yang harus dijunjung tinggi. Masalah menjadi rumit ketika hak yang dijamin konstitusi tersebut bertemu dengan peraturan pelaksanaan yang lebih mengutamakan keamanan dan ketertiban. Contohnya, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, mengatur berbagai syarat prosedural seperti kewajiban untuk memberitahu pihak berwenang sebelum melakukan unjuk rasa, larangan membawa barang-barang berbahaya, serta hak aparat untuk membubarkan aksi jika dianggap mengancam stabilitas publik.
Pada titik pertemuan ini, sering kali muncul ketegangan. Masyarakat yang ingin mengekspresikan keprihatinan mereka mendapati birokrasi yang lebih mementingkan aspek administratif. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendalam yang sulit untuk dijawab: sampai sejauh mana hukum harus bergantung pada kepatuhan prosedural, dan kapan ia seharusnya memberi ruang bagi kepentingan keadilan yang lebih mendalam?
Aliran Positivisme: Keteraturan Lebih Utama
Dalam pembahasan filsafat hukum, aliran positivisme yang diprakarsai oleh Hans Kelsen menyajikan perspektif yang menarik. Kelsen mengembangkan teori yang menyatakan bahwa hukum merupakan kumpulan norma yang tersusun secara hierarkis, di mana setiap peraturan mendapatkan legitimasi dari aturan yang lebih tinggi, sampai pada norma yang paling mendasar. Pendekatan positivis ini memberikan kejelasan: hukum adalah apa yang ditulis dalam ketentuan, tanpa pengecualian. Tidak ada ruang untuk tafsiran subjektif mengenai keadilan atau moral. Bagi penganut positivisme, demonstrasi diperbolehkan asalkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Namun, jika terjadi pelanggaran prosedur, tindakan pembubaran oleh aparat dianggap sah secara hukum.
Kekuatan utama dari pendekatan ini terletak pada kemampuannya untuk memprediksi. Masyarakat bisa dengan jelas memahami batasan-batasan yang ada, sehingga menciptakan rasa aman serta keteraturan dalam bermasyarakat. Namun, ada kelemahan yang tak bisa diabaikan, yakni kurangnya kemampuan untuk menanggapi dinamika sosial yang rumit. Kritikan terhadap positivisme muncul ketika aturan-aturan formal menghasilkan efek yang tidak adil bagi rakyat. Aksi demonstrasi yang muncul dari kepedulian mendalam terhadap ketidakadilan sosial bisa dianggap melanggar hukum hanya karena tidak memenuhi persyaratan administratif tertentu. Dalam situasi ini, hukum kehilangan sisi kemanusiaannya dan berubah menjadi mekanisme teknis yang tidak menyentuh nilai-nilai moral. Tidak mengherankan jika kritik muncul menyatakan bahwa sistem hukum positivistik cenderung menjadikan penegak hukum sebagai pelaksana otomatis dari isi undang-undang, alih-alih sebagai pelindung nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Hukum Progresif: Membuka Ruang Bagi Keadilan Substantif
Sebagai antitesis dari positivisme, Satjipto Rahardjo melahirkan gagasan hukum progresif. Teori ini lahir dari keresahan terhadap praktik hukum yang terlalu legalistik. Menurut Satjipto, hukum tidak boleh berhenti pada teks, tetapi harus bergerak dinamis mengikuti perubahan sosial. "Hukum progresif gelisah terhadap hukum yang hanya menjadi teks mati, hukum harus berani keluar dari kebekuan demi menolong masyarakat" (Satjipto Rahardjo, 2009). Pendekatan progresif ini memerlukan penegak hukum untuk meningkatkan kesadaran sosial yang tajam. Mereka tidak seharusnya hanya terfokus pada penafsiran literal dari regulasi yang ada, tetapi harus dapat menangkap semangat keadilan yang tersembunyi di balik setiap ketentuan hukum. Satjipto menegaskan bahwa hukum progresif menolak kepatuhan yang membatu dan rutinitas yang membuat hukum kehilangan keterkaitannya dengan realitas sosial. Sebaliknya, hukum harus senantiasa bersiap untuk memenuhi kepentingan kemanusiaan yang lebih luas.