Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hindari "Curi" Kursi Orang Lain di Kabin, Akibatnya Fatal

13 Januari 2021   09:39 Diperbarui: 13 Januari 2021   20:54 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kabin pesawat Lion Air. | Credit: Dokumentasi Lion Air Group Kompas.com

Secara teori, tertib memang hanya terdiri dari enam karakter. Hanya saja, praktiknya yang tidak pernah mudah bagi masyrakat Indonesia.

Sekira medio 2019 lalu, saya mengambil jatah cuti tahunan guna berlibur ke Kota Gorontalo. Cukup lama memang, tetapi fenomena yang hendak saya paparkan masih sangat relevan sampai kapanpun.

Tatkala mengudara dari Bandara Juanda, Surabaya, tidak ada fenomena menarik hingga saya mendarat dengan selamat, baik ketika transit di Makassar maupun saat telah tiba di Gorontalo.

Setelah menghabiskan dua hari dan tiga malam di Serambi Madinah, saya pulang, masih dengan armada pesawat dan rute yang sama seperti saat berangkat.

Dari Bandara Jalaluddin Gorontalo, waktu boarding pesawat saya sekira pukul 10.00 WITA. Sekitar 1,5 jam berselang, pesawat saya mendarat selamat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar tanpa drama.

Tampak depan Bandara Jalaluddin Gorontalo. | Dokpri
Tampak depan Bandara Jalaluddin Gorontalo. | Dokpri
Usai menunggu di bandara beberapa saat karena adanya sedikit penundaan, lantas bersama dengan penumpang lain saya dipersilakan memasuki kabin pesawat.

Pada waktu sudah memasuki kabin, dari kejauhan saya melihat nomor kursi yang seharusnya saya tempati ternyata sudah ada yang menduduki. Benar saja, setelah berada di dekat kursi, sudah ada seorang wanita paruh baya yang tengah duduk.

Awalnya, saya sempat berpikir, apa saya yang salah lihat nomor boarding pass atau barangkali nomor kursi saya bukan yang tengah diduduki ibu itu. Namun, setelah saya cek ulang, ternyata memang benar kursi yang diduduki ibu itulah kursi saya sesuai dengan nomor yang tertera pada boarding pass milik saya.

Ketika itu saya sengaja berdiri saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun di lorong kabin dekat sang ibu, dengan harapan dia menyadari jika kursi yang ditempatinya itu bukan haknya. Saya mematung cukup lama hingga penumpang nyaris penuh.

Usaha saya dengan berpura-pura seolah patung Pancoran berakhir sia-sia. Saya bahkan lebih merasa sedang naik angkot dibanding naik pesawat. Akhirnya, saya memutuskan untuk berkomunikasi lagi dengan sang ibu.

Saya bertanya kepada beliau, apa benar kursi yang beliau tempati itu memang betul-betul nomor kursi yang tertera di boarding pass. Dengan nada ketus sang ibu malah meminta saya untuk duduk di kursi yang kosong, alih-alih pindah.

Beliau berdalih bahwa duduk di manapun sama saja. Sontak, celoteh beliau sukses membuat saya bingung dan teringat saat naik angkot, yang bebas duduk di mana saja asalkan datangnya paling awal. Mau di samping pilot boleh. Duduk di sebelah pramugari boleh banget. Fix! Ini angkot!

Saat itu saya sempat berpikir, "Kenapa emak-emak ini enggak duduk di kursi yang semestinya atau lesehan di bagasi pesawat kalau memang duduk di mana aja sama." Sayangnya, saya tak sampai hati berkata begitu. Takut kualat.

Saya sengaja memilih nomor 10-F yang letaknya dekat dengan jendela pesawat. Posisi itu pula yang kerap saya pilih kala bepergian mamakai pesawat sebab saya hobi menikmati pemandangan alam.

Sembari memperlihatkan boarding pass, saya berkata kepada sang ibu bahwa kursi yang beliau tempati itu adalah hak saya. Masih dengan nada ketus, sang ibu tetap bersikeras mendesak saya untuk duduk di kursi yang masih kosong yang posisinya di sisi lorong kabin.

Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. | Dokpri
Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. | Dokpri
Melihat perdebatan hangat saya dengan sang ibu, penumpang lain di belakangnya pun tertawa-tawa. Saya jadi malu sendiri karena selama ini belum pernah terlibat diskursus sengit di dalam kabin pesawat, apalagi sama emak-emak.

Saya yang terpukau karena tingkah dan celoteh beliau, lalu membuang tatapan kepada seorang pramugari yang ketika itu tengah sibuk menata koper, dengan niat untuk kenalan meminta bantuan.

Tatapan saya dibalas. Kita berdua saling menatap, kebingungan. Sambil menatap matanya dalam-dalam, saya pun sempat membatin, "Cakep juga, ya. Tinggi lagi." Imajinasi saya seketika buyar begitu saja saat ada penumpang lain yang meminta saya bergeser dari lorong kabin agar dia bisa melintas.

Sang pramugari tak kunjung membantu saya yang sedari awal masih mematung. Mungkin dia sadar betul jika yang akan dihadapi adalah emak-emak. Dia masih saja asik dengan memanjakan kopernya. Sementara saya masih setia menunggu.

Tidak lama berselang, sang pramugari menghampiri. Saya menjelaskan bahwa kursi saya diduduki orang lain. Lantas, dia meminta sang ibu untuk pindah ke kursi yang seharusnya, tapi perintah itu ditolaknya. Beliau masih terus bertahan dengan pendiriannya.

Sang pramugari pun akhirnya menyerah tanpa syarat, lantas meninggalkan saya yang masih gundah-gulana. Tidak ingin menyerah, saya masih membujuk beliau agar bersedia duduk sesuai nomor kursi masing-masing.

Ajaibnya, usaha saya tidak sia-sia. Sang ibu akhirnya bersedia untuk pindah dan menempati habitat yang semestinya, yakni di kursi bagian tengah. Ya, meski beliau masih memasang wajah masam.

Ternyata, drama tak berhenti sampai di sana. Saya yang ingin menuju ke kursi di dekat jendela, diminta untuk langsung melangkah. Pasalnya, dia tak berkenan untuk berdiri dan berpindah sejanak agar saya dapat menuju ke kursi saya.

Dengan mengucap permisi terlebih dulu, saya melangkahkan kaki dengan berhati-hati di ruang antar bangku yang sangat sempit agar tidak menginjak kaki sang ibu. Saat saya sudah mencapai kursi 10F, beliau lantas bersabdah, "Kamu enggak pengalaman naik pesawat. Lewat gitu aja susah, pake nyuruh berdiri segala."

Deg! Saya seketika terhenyak mendengar ceramah sang ibu, padahal maksud saya memintanya untuk berdiri adalah supaya tidak menginjak kaki atau menyenggol badan sang ibu. Barangkali beliau masih dongkol karena saya mengusik hatinya.

Ketika itu saya merasa beliau bukan ibu hamil, lanjut usia, sedang sakit, ataupun berkebutuhan khusus. Jika beliau salah satu dari klasifikasi itu, tentu saya akan merelakan kursi saya. Dalam perjalanan sebelumnya saya pernah diminta pindah karena kursi saya hendak ditempati ibu hamil, saya pun pindah saat itu juga.

Bagi saya, posisi tempat duduk ketika bepergian dengan pesawat adalah hal yang sangat penting untuk menjamin kenyamanan serta keselamatan dalam perjalanan, sekalipun jarak pendek.

Saya memang sengaja memilih nomor kursi 10-F. Selain karena dekat jendela, letaknya juga cukup dekat dengan sayap. Di mana posisi itu mempunyai peluang turbulensi (guncangan) yang lebih kecil dibanding posisi lain. Selain itu, cukup dekat pula dengan pintu keluar pesawat.

Jika saya terpaksa harus memilih posisi lain, pilihan saya akan jatuh di bagian posisi ekor pesawat. Pasalnya, menurut penelitian dari Popular Mechanics, para penumpang yang duduk di dekat bagian ekor pesawat memiliki kesempatan hidup 40 persen lebih tinggi saat kecelakaan dibanding yang duduk di bagian depan.

Tidak seorang pun yang menghendaki kecelakaan, tetapi kita bisa melakukan langkah antisipasi sejak dini, mulai dari hal kecil seperti memilih posisi duduk.

Kegigihan saya bukannya tanpa alasan. Nomor kursi dibuat bukan karena iseng belaka, melainkan ada tujuan yang amat krusial. Ketertiban duduk sesuai nomor kursi berkaitan dengan nyawa manusia.

Seluruh penumpang yang dicatat oleh otoritas aviasi terekam dalam manifes (manifest). Daftar tersebut menyangkut semua data penumpang, awak pesawat, dan berbagai barang muatan.

Informasi dalam manifes dikumpulkan pada waktu penumpang check in. Dalam situasi darurat seperti kecelakaan yang menimpa maskapai Sriwijaya Air SJ 182, manifes menjadi pijakan utama, baik bagi pihak aviasi, pemerintah, KNKT, maupun otoritas asuransi dalam mendata seluruh penumpang yang menjadi korban.

Jika kita tidak duduk di nomor kursi yang seharusnya ataupun tidak sesuai dengan nomor kursi yang tertera pada boarding pass, hal itu akhirnya akan menghambat proses identifikasi. Kita sendiri yang rugi.

Kebiasaan buruk itu akan meningkatkan peluang tertukarnya jenazah sehingga proses identifikasi membutuhkan waktu yang jauh lebih lama sebab harus disertai dengan tes DNA. Kita semua tentu tidak menghendaki hal-hal buruk terjadi pada diri kita. Semoga saja hal yang sama tak menimpa kita di kemudian hari.

Faktanya, fenomena yang saya alami itu juga dialami oleh banyak warganet lain di luar sana. Belum lama berlalu, unggahan mengenai insiden rebutan kursi sempat viral di jagat Twitter.

Tangkapan layar akun Twitter @BisKota_. | Dokpri
Tangkapan layar akun Twitter @BisKota_. | Dokpri
Sebuah kicauan yang diawali oleh akun @BisKota_  diikuti oleh 769 komentar dari para warganet yang sebagian besar mengaku pernah mengalami hal serupa di beragam moda transportasi umum.

Untuk menghindari kebiasaan buruk itu, kita dapat memanfaatkan fitur "check in online" pada situs-situs resmi maskapai penerbangan untuk memilih nomor kursi lebih awal sesuai dengan keinginan kita.

Melalui fitur tersebut, anda bisa memilih tempat duduk di manapun selama masih tersedia. Anda bisa duduk berdampingan dengan teman atau pasangan sehingga Anda tak perlu lagi merebut nomor kursi orang lain dan mengganggu ketertiban.

Budaya tertib belum menjadi gaya hidup sehari-hari bagi masyarakat Tanah Air. Sudah terlalu banyak hal-hal buruk yang bermula dari keengganan warga negara untuk menerapkan ketertiban baik kala menggunakan moda transportasi umum maupun saat berada di ruang publik.

Tidak menempati kursi sesuai boarding pass adalah protret kecil atas terjadinya krisis ketertiban dalam masyarakat kita. Fenomena serupa, faktanya, juga dapat ditemui pada transportasi umum lain.

Menjadi penting bagi kita untuk selalu menjaga ketertiban demi kenyamanan dan keselamatan bersama. Itu dimulai dari saya, anda, KITA!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun