Interpretasi
Chairil Anwar merupakan salah satu sastrawan angkatan 45 yang lahir di Medan pada tanggal 26 Juli 1922. Karawang-Bekasi menjadi salah satu puisi terkenal yang ia ciptakan pada tahun 1948. Puisi Karawang-Bekasi menceritakan tentang perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. "Karawang-Bekasi" yang merupakan judul dari puisi ini merujuk pada daerah yang berada di Jawa Barat, Indonesia. Lokasi tersebut menjadi saksi bisu yang melatarbelakangi kelahiran Puisi Karawang-Bekasi.
Analisis
Tragedi Rawagede merupakan peristiwa yang melatarbelakangi kelahiran Puisi Karawang-Bekasi. Tragedi ini bermula ketika Tentara Belanda kembali menginjakkan kaki di Indonesia bersama Tentara Sekutu. Hal tersebut memicu Tentara Indonesia untuk membuat markas di daerah pedesaan agar dapat mempertahankan diri dari serangan Tentara Belanda. Salah satu markas tersebut berada di Desa Rawagede, Kelurahan Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Markas ini kemudian diketahui oleh Tentara Belanda melalui mata-mata yang mereka kirimkan. Tentara Belanda berencana untuk menyerbu markas tersebut pada tanggal 9 Desember 1948 setelah mendengar kabar bahwa Kapten Lukas Kustaryo yang dicap sebagai Begundal Karawang berada di sana. Saukim yang mengetahui hal tersebut langsung memberikan peringatan kepada seluruh penduduk agar meninggalkan Desa Rawagede. Akan tetapi, sebagian besar penduduk mengalami kesulitan dalam meninggalkan desa akibat hujan lebat. Pada tanggal 9 Desember 1948, Tentara Belanda telah mengepung Desa Rawagede. Mereka mulai memasuki desa untuk mencari para pejuang. Para laki-laki dewasa maupun laki-laki remaja akan diperintahkan ke luar dengan tangan di atas kepala. Mereka dikumpulkan di lapangan dengan berbaris menghadap ke belakang kemudian ditanyai tentang keberadaan para pejuang. Akan tetapi, mereka tidak memberi tahu keberadaan para pejuang. Gerakan tutup mulut tersebut membuat Tentara Belanda kesal sehingga mereka ditembaki satu per satu. Tentara Belanda juga membakar rumah penduduk jika menemukan simbol-simbol dari badan kelaskaran. Tragedi ini berakhir pada tanggal 10 Desember 1948. Ratap tangis dan jerit histeris memecah keheningan pagi. Jenazah berhamburan di mana-mana, di halaman, di jalan, di sungai. Para perempuan berusaha menguburkan jenazah-jenazah menggunakan peralatan seadanya. Jumlah korban dalam tragedi ini mencapai 431 orang, termasuk orang-orang yang tidak diketahui identitasnya.
Puisi Karawang-Bekasi lahir setelah Indonesia merdeka, tetapi belum benar-benar merdeka. Saat ini bangsa Indonesia memang tidak lagi dijajah oleh bangsa lain, tetapi bagaimana dengan bangsa kita sendiri? Di luar sana, tidak sedikit bangsa Indonesia yang dijajah bahkan oleh orang yang mereka pilih sendiri. Mereka yang menjajah terus memakan hak-hak yang bukan milik mereka sedangkan mereka yang dijajah tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa bungkam. Selain itu, tidak sedikit bangsa Indonesia yang berusaha keras untuk saling menjatuhkan, saling mengintimidasi, atau bahkan saling membunuh sehingga memecah belah keutuhan dan kesatuan bangsa Indonesia. Inikah yang dinamakan kemerdekaan? Apakah Indonesia "benar-benar" sudah merdeka? Mungkin, permasalahan di atas menjelaskan maksud kutipan berikut: /Kami sudah coba apa yang kami bisa/ Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa/. Kutipan di atas mengandung makna bahwa kita masih perlu memperjuangkan banyak hal untuk bangsa kita. Perjuangan ini bisa dikatakan lebih mudah sekaligus lebih sulit. Perjuangan ini lebih mudah karena kita tidak perlu berdarah-darah untuk berjuang melawan penjajah. Akan tetapi, perjuangan ini juga lebih sulit karena kita berjuang melawan bangsa kita sendiri.
Evaluasi
Puisi Karawang-Bekasi mengajak para pembaca untuk mengenang perjuangan para pahlawan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Puisi Karawang-Bekasi juga berusaha mengajak para pembaca untuk meneruskan perjuangan para pahlawan melalui kutipan berikut: /Kami sudah coba apa yang kami bisa/ Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa/. Chairil Anwar berhasil mempresentasikan suasana batin para pahlawan menggunakan bahasa simbolis tanpa mengandalkan detail dalam sejarah. Akan tetapi, penggunaan bahasa simbolis dalam puisi ini akan membingungkan pembaca yang kurang mengetahui sejarah. Selain itu, entah mengapa puisi bertema perjuangan ini diciptakan dengan nada dan suasana yang mencekam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI