Mohon tunggu...
Healthy

Apakah Bakteri Lebih Kuat daripada Kita?

25 Agustus 2017   02:31 Diperbarui: 25 Agustus 2017   02:57 1794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita sering tidak menyadari keberadaan makhluk-makhluk yang tak kasat mata yang hidup berdampingan dengan kita. Bukan, bukan hantu yang dimaksud di sini, tetapi makhluk hidup bersel tunggal yang menghuni hampir seluruh tempat di bumi ini. Berkisar dari daerah pegunungan, gurun, sumber mata air panas, sampai dasar laut yang dalam. Bahkan usus besar kita dihuni oleh organisme bernama E. coliyang juga merupakan salah satu jenis bakteri. Jika kita mendengar kata "bakteri" mungkin dua hal pertama yang terlintas di pikiran kita adalah tempat-tempat yang kotor dan juga penyakit yang disebabkannya. Beberapa jenis bakteri memang  dapat menimbulkan penyakit, mulai dari yang ringan seperti diare sampai yang mematikan seperti antraks. 

Hal ini tentu membuat kita berpikir bahwa mereka adalah makhluk kecil yang merugikan dan perlu dihilangkan dari lingkungan kita. Akan tetapi, sadarkah anda, bahwa sebenarnya kita memiliki satu persamaan dengan bakteri, yaitu tersusun dari sel. Perbedaannya adalah bakteri merupakan organisme prokariotik, sedangkan kita merupakan organisme eukariotik. Artikel ini akan membahas apakah sebenarnya sel prokariotik lebih "kuat" dari sel eukariotik dalam mempertahankan diri dari kepunahan.

Pertama, kita harus mengerti apa yang dimaksud dengan sel dan bagaimana munculnya sel prokariotik dan eukariotik. Pada mulanya, sel terbentuk dari kumpulan molekul-molekul organik yang bergabung membentuk struktur yang lebih besar. Kondisi bumi 4 miliar tahun yang lalu memungkinkan hal ini terjadi. Pada saat itu kondisi bumi belum stabil. Erupsi vulkanik , petir, dan hujan lebat terjadi hampir setiap saat. Yang lebih penting adalah, pada saat itu belum terbentuk lapisan ozon, sehingga sinar ultraviolet matahari bisa menembus lapisan atmosfer dan membantu menjaga atmosfer kaya akan molekul reaktif dan jauh dari keseimbangan kimia (chemical equilibrium). Percobaan menunjukkan bahwa campuran gas CO2, CH4, NH3, dan H2 yang dipanaskan dengan air dan diberi energi lewat aliran listrik atau paparan ultraviolet akhirnya akan membentuk molekul organik sederhana. Molekul organik sederhana seperti asam amino dan nukleotida bisa berikatan dan membentuk polimer yang akhirnya memjadi polipeptida dan polinukleotida yang akhirnya membentuk protein dan materi genetik yaitu DNA dan RNA.

Untuk memunculkan bentuk awal kehidupan dibutuhkan kemampuan khusus dari gabungan-gabungan molekul organik tersebut. Salah satunya adalah kemampuan untuk mengkatalisasi suatu reaksi yang pada akhirnya membentuk katalisator itu sendiri. Di dalam sel yang ada sekarang, polipeptida adalah katalisator yang paling serbabisa karena terdiri atas kumpulan asam amino yang bisa memunculkan bentuk 3 dimensi dengan situs reaktif yang berbeda-beda. Akan tetapi, polipeptida tidak bisa mereproduksi dirinya sendiri secara langsung. Hal inilah yang membuat diperlukannya kehadiran polinukleotida. Tidak seperti polipeptida, polinukleotida memiliki kemampuan yang lebih terbatas sebagai katalisator, tetapi memiliki kemampuan untuk mereplikasi dirinya sendiri secara langsung. Ada dugaan kuat bahwa antara 3,5 sampai 4 miliar tahun yang lalu, sistem replikasi RNA dan gabungan molekul organik lainnya, termasuk polipeptida, memulai proses yang kita sebut sebagai evolusi. Pada akhirnya, evolusi ini mengarah pada terbentuknya mekanisme sintesis protein yang dijumpai dalam semua sel hidup.

Salah satu peristiwa penting yang mengarah pada terbentuknya sel pertama adalah pembentukan membran luar. Kebutuhan akan wadah dipenuhi oleh molekul yang memiliki sifat amfipatik, yaitu memiliki bagian yang hidrofobik (tidak larut dalam air) sekaligus bagian lain yang hidrofilik (larut dalam air). Jika jenis molekul tersebut dimasukkan ke dalam air, struktur yang disebut bilayers akan terbentuk, yang menjadi struktur membran sel yang ada sampai saat ini.

Jadi, sel bisa diartikan sebagai sejumlah cairan dan kumpulan molekul organik yang terdapat di dalam suatu ruang bermembran yang memiliki kemampuan untuk melakukan metabolisme dan mengkatalisis suatu reaksi kimia.

Sekitar 1,5 miliar tahun yang lalu, terjadi peristiwa yang pada akhirnya mengarah pada terbentuknya 2 jalur evolusi berbeda dari sel, yaitu berkembangnya sel dengan struktur internal yang relatif sederhana (yang kita kenal sebagai sel prokariotik) menuju sel eukariotik yang jauh lebih kompleks.

Dalam kompetisi untuk memperoleh bahan organik dari molekul anorganik, keuntungan selektif dimiliki oleh organisme yang bisa memperoleh karbon dan nitrogen (dalam bentuk CO2 dan N2) langsung dari atmosfer. Meskipun jumlahnya berlimpah di atmosfer, tetapi diperlukan energi yang besar dan reaksi kimia yang kompleks untuk mengubahnya menjadi bentuk yang bisa digunakan, misalnya gula sederhana. Dalam kasus penggunaan CO2, sel melakukan fotosintesis untuk mengubah CO2dan H2O (air) menjadi material organik dan melepaskan O2dalam jumlah besar sebagai produk sampingan. Sampai sekarang, sel prokariotik yang masih melakukan fotosintesis adalah alga hijau-biru (cyanobacteria).

Proses fotosintesis sel prokariotik yang berlangsung selama jutaan tahun mengubah komposisi atmosfer yang awalnya tidak mengandung oksigen sama sekali menjadi terdapat oksigen sebanyak 21%. Oksigen adalah zat yang sangat reaktif yang bisa berinteraksi dengan komponen-komponen sitoplasma, menjadikannya beracun bagi organisme-organisme tertentu, misalnya bakteri anaerob yang kita jumpai sekarang. Akan tetapi, di sisi lain, oksigen juga bisa menguntungkan. Dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob), glukosa hanya bisa dipecah menjadi asam laktat atau etanol, sedangkan dalam kondisi lingkungan yang terdapat oksigen (aerob), glukosa dapat dipecah secara sempurna menjadi CO2 dan H2O. Dengan melakukan pemecahan sempurna, jumlah energi yang dilepaskan dari setiap gram glukosa menjadi jauh lebih besar dibandingkan dengan melakukan pemecahan tidak sempurna menjadi asam laktat atau etanol. Keuntungan inilah yang akhirnya diambil oleh organisme-organisme yang mengembangkan sistem respirasi seluler.

Seperti yang telah disebutkan di atas, akumulasi oksigen di atmosfer mengubah kehidupan makhluk hidup pada masa awal. Beberapa jenis organisme yang tidak bisa beradaptasi menjadi punah, beberapa lainnya mengembangkan kemampuan respirasi, atau menemukan relung dimana oksigen tidak ada, sehingga mereka bisa melanjutkan cara hidup anaerob, atau menjadi predator maupun parasit pada sel aerob. Akan tetapi, ada satu strategi adaptasi yang tampaknya mengarah pada terbentuknya tipe sel  eukariotik, yang menyusun banyak organisme yang hidup masa kini.

Kata eukariotik berasal dari kata "eu-" yang berarti "sejati" dan "karyo" yang berarti "inti". Jadi, sel eukariotik adalah sel yang memiliki inti sejati, dalam hal ini sudah bisa dibedakan dari sitoplasma secara jelas karena telah dibatasi oleh membran inti. Di dalam sel eukariotik terdapat banyak organel dengan fungsi yang berbeda-beda. Dua diantaranya adalah mitokondria dan kloroplas. Mitokondria berperan untuk menghasilkan energi yang diperlukan dalam metabolisme, sedangkan kloroplas mengubah air dan karbon dioksida menjadi materi organik dengan bantuan sinar matahari. Bagi ahli biologi Lynn Margulis, kedua organel ini menunjukkan kemiripan dengan sel bakteri simbiotik. Penelitian yang dilakukan oleh dua tim yang masing-masing dipimpin oleh Carl Woese dan W. Ford Doolittle menunjukkan bahwa DNA yang terdapat dalam mitokondria memiliki persamaan dengan yang terdapat dalam proteobacteria penyebab penyakit tifus, sedangkan DNA yang terdapat dalam kloroplas memiliki persamaan dengan DNA dari cyanobacteria (alga hijau-biru). Hal ini semakin menguatkan pendapat bahwa mitokondria dan kloroplas memiliki hubungan evolusi dengan sel bakteri simbiotik.

Sekitar tahun 1970, ia mengemukakan sebuah teori tentang kemunculan sel eukariotik di muka bumi. Beliau berpendapat bahwa sel eukariotik terbentuk karena adanya asosiasi antara sel prokariotik yang anaerob dengan sel prokariotik yang besifat aerob. Asosiasi ini membentuk suatu hubungan simbiosis yang dikenal dengan nama endosimbiosis. Dalam bahasa Yunani, kata "endo-" berarti "berada di dalam", kata "syn" atau "sym" berarti "bersama", dan kata "bios" berarti "hidup". Hal ini menjelaskan pengertian endosimbiosis. Sel aerob yang lebih kecil ditelan (masuk) ke dalam sel anaerob yang lebih besar. 

Sel aerob memberikan suplai energi kepada sel anaerob dan sel anaerob memberikan perlindungan terhadap sel aerob karena ukurannya yang lebih besar. Jadi, dalam endosimbiosis, kedua jenis sel saling diuntungkan. Kedua jenis sel ini pada akhirnya memiliki ketergantungan satu sama lain, seperti yang terdapat pada sel eukariotik yang hidup sekarang. Dalam hal ini, sel aerob yang ditelan oleh sel anaerob akhirnya menjadi mitokondria dan kloroplas.

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sel eukariotik muncul dari 2 sel prokariotik yang melakukan simbiosis dan akhirnya hidup bersama.

Pada tahun 1990, Carl Woese mengemukakan suatu sistem klasifikasi yang membagi seluruh mahkluk hidup di bumi menjadi 3 kelompok besar (domain), yaitu domain eubacteria, archaebacteria, dan eukaryota, kita lebih sering menyebut eubacteria dan archaebacteria sebagai anggota kelompok prokariota.

Ada beberapa perbedaan dasar antara sel prokariotik dan eukariotik. Seperti yang sudah disebutkan di atas, sel eukariotik memeiliki membran inti, sedangkan sel prokariotik tidak. Sel eukariotik memiliki banyak organel-organel untuk menunjang metabolismenya. Organel-organel tersebut diantaranya adalah ribosom, retikulum endoplasma dan badan golgi yang berperan untuk sintesis dan transpor protein, mitokondria dan kloroplas yang berguna untuk menjalankan katabolisme dan anabolisme glukosa, vakuola yang berfungsi sebagai tempat menyimpan metabolit sekunder, dan masih banyak lagi. Di sisi lain, sel prokariotik hanya memiliki organel berupa struktur-serupa ribosom. Mekanisme pewarisan sifat sel prokariotik dan eukariotik sangatlah berbeda. Di sel eukariotik, kita mengenal istilah meiosis, sedangkan pada prokariotik tidak. Meiosis terjadi pada sel gamet, yaitu sel yang akan dipakai untuk perkembangbiakan, misalnya sel sperma dan sel telur. Meiosis berfungsi untuk mengurangi jumlah kromosom pada sel gamet menjadi separuh jumlah kromosom awal agar saat kedua sel gamet yang berbeda jenis berfusi (menyatu), sel anakan yang dihasilkan memiliki jumlah kromosom yang normal. Bakteri tidak mengalami meiosis, karena mereka tidak bisa membentuk sel gamet. Mereka juga lebih cenderung melakukan perkembangbiakan aseksual (membelah diri). Lalu bagaimana reproduksi seksual terjadi pada sel bakteri? Reproduksi seksual pada bakteri hanya sebatas pertukaran materi genetik, yang bisa dilakukan dengan 3 cara, yaitu:

  • Transformasi, sel mengambil DNA yang melayang bebas di lingkungannya
  • Transduksi, pertukaran materi genetik melalui virus yang menyerang bakteri (fag)
  • Konjugasi, pertukaran materi genetik antar sel melalui jembatan konjugasi (pili seks)

Kedua perbedaan mendasar inilah yang akan mempengaruhi kemampuan masing-masing tipe sel dalam mempertahankan diri dari kepunahan.

Agar suatu organisme tidak punah, apa yang harus dilakukannya? Herbert Spencer mengemukakan istilah "survival of the fittest" yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi "sintasan yang terbugar". Istilah ini dikemukakannya setelah membaca buku karangan Charles Darwin yang berjudul On the Origin of Species. Istilah itu memiliki arti bahwa makhluk hidup yang paling bugar atau fit adalah makhluk hidup yang paling bisa sintas (survive). Bagaimana suatu organisme bisa menjadi yang terbugar? Jawabannya adalah ia harus bisa menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidupnya/beradaptasi. Selama ribuan bahkan jutaan tahun, kondisi bumi telah mengalami banyak perubahan, baik perubahan besar (misalnya disebabkan karena berubahnya komposisi atmosfer bumi, seperti yang telah dijelaskan di paragraf awal) atau perubahan kecil yang hanya mempengaruhi suatu daerah tertentu saja, misalnya perubahan musim.

Apa yang membuat sel prokariotik lebih bisa beradaptasi terhadap perubahan lingkungan daripada sel eukariotik? Seperti yang telah dibahas di paragraf sebelumnya, ada 2 alasan utama, yaitu struktur sel prokariotik dan mekanisme reproduksi serta pewarisan sifatnya.

Sel prokariotik telah mengalami evolusi selama jutaan tahun, namun tetap bertahan dengan bentuk uniseluler mereka. Fokus evolusi mereka adalah cara untuk membuat metabolisme seluler menjadi lebih efektif dari masa ke masa. Sementara itu, evolusi sel eukariotik lebih berfokus pada peningkatan kompleksitas bentuk organisme untuk memperoleh makanan serta cara untuk meningkatkan kemampuan bergerak untuk menanggapi perubahan lingkungan. Mari kita ambil suatu contoh. Sebagian besar bakteri Gram-positif berevolusi dan mengembangkan struktur yang disebut dengan endospora yang terbentuk ketika berada dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Dalam kondisi kurang karbon dan nitrogen, bakteri-bakteri tersebut melakukan proses sporulasi. DNA direplikasi dan dinding yang disebut septum spora (spore septum) mulai terbentuk di antara DNA dan sisa isi dari sel.  Membran plasma kemudian mulai melepaskan diri dari dinding sel dan menyelubungi DNA. Bentuk ini disebut forespore. Kalsium dipikolinat kemudian dimasukkan ke dalamnya. 

Asam dipikolinat berfungsi untuk menstabilkan protein dan DNA dalam endospora. Selanjutnya terjadi pembentukan korteks dan dehidrasi endospora. Endospora matang kemudian dilepaskan dari sel induk. Endospora memiliki ketahanan terhadap panas, zat kimia, dan radiasi ultraviolet. Endospora mampu bertahan hidup di lingkungan bersuhu 40 C lebih tinggi daripada suhu lingkungan saat endospora belum terbentuk. Banyak zat kimia dapat menyebabkan kerusakan pada DNA. Endospora memiliki ketahanan terhadap beberapa zat kimia berbahaya seperti klorin dioksida (ClO2), zat hipoklorit, ozon, dan peroksinitrit. Radiasi ultraviolet bisa merusak DNA dan menyebabkan mutasi genetik. Pengikatan suatu jenis protein endospora tertentu ke DNA akan mencegah kerusakan DNA terjadi. Jadi, endospora dapat melindungi sel prokariotik dari perubahan lingkungan yang mendadak.

sporulation-599f206911962637a84a3ee2.png
sporulation-599f206911962637a84a3ee2.png
Contoh adaptasi sel eukariotik adalah terciptanya organisme-organisme multiseluler yang kita kenal sekarang beserta sistem pertahanan tubuhnya masing-masing, mulai dari protista sampai binatang tingkat tinggi. Menurut saya, kesintasan sel eukariotik yang hidup sekarang lebih cenderung disebabkan karena kemampuannya untuk membentuk kerjasama dengan sel lainnya (pengecualian untuk kingdom Protista). Misalnya saja, sel tumbuhan memiliki system respon hipersensitif (hypersensitive response) yang mematikan sel yang terinfeksi untuk mencegah penyebaran patogen lebih lanjut, sehingga menyelamatkan sel lain di sekitarnya. Demikian pula dengan sel hewan, sistem imunitas dari hewan tingkat tinggi merupakan hasil kerja sama dari sel-sel dengan fungsi yang berbeda.

Semakin kompleks suatu sistem, semakin mudah sistem tersebut mengalami kerusakan pada bagian-bagiannya. Mari kita bandingkan antara pesawat terbang dengan bis umum. Setiap sebelum keberangkatan, seluruh bagian pesawat perlu diinspeksi terlebih dahulu, karena kesalahan sedikit saja pada mesin pesawat bisa menyebabkan insiden yang fatal. Misalnya saja insiden maskapai Partnair penerbangan 394 pada tahun 1989. Investigasi menunjukkan bahwa baut yang digunakan untuk menyambung badan pesawat dengan stabilisator vertikal merupakan baut palsu dan tidak diproduksi dengan benar. 

Sementara itu, inspeksi keselamatan pada bis umum mungkin hanya dilakukan setengah tahun sekali atau lebih. Kecelakaan bis tunggal karena kesalahan mesin sangat jarang ditemukan. Sama halnya dengan sel dan sistem organ. Kerusakan pada salah satu dari sekian banyak organel atau komponen sistem organ organisme eukariotik bisa membunuh sel tersebut. Misalnya saja racun yang dikeluarkan bakteri Clostridium difficile menyebabkan turunnya potensial membran mitokondria dan rusaknya sitokrom C. Hal ini tentu berbahaya bagi sel. Contoh lainnya adalah gas CO (karbon monoksida) yang terhirup akan menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen dan bisa berakibat fatal bagi manusia. Akan tetapi, paparan CO pada bakteri selama beberapa menit mungkin tidak akan menjadi masalah.

Dari contoh di atas, bisa dikatakan bahwa sel eukariotik lebih rentan terhadap perubahan lingkungan karena kompleksnya bagian-bagian internal sel yang dimiliki. Perubahan lingkungan atau paparan racun sedikit saja bisa menyebabkan rusaknya seluruh bagian sel. Sel prokariotik lebih tahan terhadap perubahan lingkungan karena kompleksitas bagian internal sel yang rendah dan kemampuan khusus seperti membentuk endospora, sehingga kemungkinan sel prokariotik bertahan hidup dari paparan bermacam-macam zat asing lebih tinggi daripada sel eukariotik bertahan hidup.

Hal yang kedua adalah mekanisme reproduksi sel prokariotik dan mekanisme pewarisan sifatnya. Sel bakteri berkembang biak dengan sangat cepat. Dalam kondisi menguntungkan, sel bakteri bisa membelah diri setiap 20-30 menit, menyebabkan DNA juga harus direplikasi dalam waktu kurang dari 20 menit. Laju replikasi DNA prokariotik bisa mencapai 105nukleotida per menit. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya kesalahan saat replikasi DNA menjadi lebih tinggi. Kesalahan saat replikasi DNA akan berujung pada mutasi. 

Bukankah mutasi itu merugikan bagi sel? Mutasi tidak selalu merugikan, bahkan dalam kasus bakteri, mutasi lah yang menyebabkan keragaman genetik yang bisa membawa keuntungan dalam seleksi alam. Misalnya kita memiliki sebuah kultur bakteri yang berasal dari 1 bakteri tunggal. Jika kita beri suatu jenis antibiotik ke dalam kultur tersebut, belum tentu semua selnya akan mati. Bisa saja ada sel tertentu yang mengalami mutasi lalu menjadi kebal terhadap antibiotik tersebut. Lalu sel yang memiliki kekebalan tersebut akan berkembang biak dan menghasilkan keturunan yang semuanya kebal. 

Yang lebih penting adalah, sifat kekebalan ini bisa juga disalurkan pada sel lain melalui transduksi, transformasi, ataupun konjugasi. Ketiga proses tersebut, terutama transduksi, sangat mudah untuk terjadi dan menyebabkan insersi gen-gen baru ke dalam DNA bakteri yang sudah ada. Hal ini menyebabkan semakin banyak lagi sel yang memiliki sifat kekebalan. Hal ini akan berlanjut terus jika diberikan antibiotik dengan jenis yang berbeda. Pada akhirnya akan muncul jenis bakteri yang memiliki kekebalan terhadap banyak jenis antibiotik. Hal inilah yang kita kenal dengan resistensi. Resistensi inilah yang bisa memberikan keuntungan dalam seleksi alam. Resistensi pada bakteri tidak sebatas pada paparan antibiotik, tetapi juga pada kondisi-kondisi lain seperti suhu yang tinggi atau radiasi. Di sisi lain, sel eukariotik tidak bisa melakukan hal ini.

Sebenarnya, kita sudah bisa melihat keunggulan sel prokariotik dalam hal ini dari habitat yang ditinggali mereka sekarang. Seluruh anggota domain Archaebacteria tinggal di lingkungan dengan kondisi ekstrem, misalnya Halobacterium tinggal di lingkungan dengan kadar garam tinggi dan Sulfolobus tinggal di kawah-kawah gunung. Banyak anggota kelompok prokariotik juga  memiliki kemampuan khusus, seperti menjalani gaya hidup anaerob, menggunakan sumber energi dari sulfat atau mineral dan masih banyak lagi. Sementara itu, hanya sebagian kecil kelompok eukariotik yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal ini. Hal ini menunjukkan bahwa sel prokariotik sudah melangkah lebih jauh dalam hal penguasaan habitat di bumi ini. Pastilah jika ada perubahan lingkungan yang ekstrem, mereka memiliki peluang lebih besar untuk sintas.

Dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sel prokariotik memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih baik daripada sel eukariotik. Keunggulan ini didapatkan karena bagian internal sel prokariotik yang lebih sederhana, dimilikinya struktur adaptif khusus seperti endospora, dan mekanisme reproduksi dan pewarisan sifat yang sangat cepat dan lebih bebas daripada sel eukariotik.

Jadi, apakah bakteri lebih kuat dari kita? Dalam kompetisi bertahan dari kepunahan, ya, mereka unggul.

Dari artikel ini, saya harap anda tidak hanya mendapat pengetahuan baru mengenai bakteri, tetapi juga ide bahwa Sang Pencipta menciptakan kita dengan kemampuan yang berbeda-beda, yang kecil belum tentu lebih lemah daripada yang besar dan begitu juga sebaliknya. Marilah kita saling tolong-menolong satu sama lain karena bersama, kita bisa meraih hal yang lebih besar. AMDG!

Sumber referensi

Sumber gambar:

https://www.ted.com/topics/bacteria

https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=49633935

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun