Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki keunikan sekaligus tantangan tersendiri dalam hal pemerataan pembangunan. Dengan ribuan pulau dan masyarakat yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, mewujudkan keadilan pembangunan menjadi pekerjaan besar dan terus-menerus. Di satu sisi, wilayah seperti Jawa, Bali, dan sebagian Sumatra terus mengalami perkembangan pesat baik dalam aspek ekonomi, infrastruktur, pendidikan, maupun layanan kesehatan. Namun di sisi lain, wilayah timur Indonesia seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian Maluku masih bergelut dengan persoalan keterisolasian, minimnya fasilitas dasar, serta terbatasnya akses terhadap peluang ekonomi. Kondisi ini menciptakan kesenjangan yang cukup mencolok, yang pada akhirnya mengancam rasa keadilan dan persatuan nasional.
Dalam kerangka ini, Pancasila hadir bukan sekadar sebagai dasar negara yang bersifat normatif, melainkan sebagai ideologi yang semestinya menjadi pijakan dalam menyusun arah kebijakan pembangunan. Sila kelima, yakni "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia", sangat relevan untuk dijadikan titik tolak dalam menjawab persoalan ketimpangan pembangunan. Keadilan sosial tidak boleh dimaknai sebatas distribusi bantuan atau subsidi semata, tetapi mencakup jaminan hak-hak dasar masyarakat di seluruh pelosok negeri termasuk hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, serta infrastruktur yang memadai. Dalam hal ini, pembangunan seharusnya tidak berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga pada pemerataan hasil pembangunan yang adil dan merata.
Penerapan nilai keadilan sosial membutuhkan keberpihakan nyata terhadap daerah-daerah tertinggal dan terpinggirkan. Program Dana Otonomi Khusus Papua, Dana Desa, serta kebijakan membangun dari pinggiran sebagaimana dicanangkan dalam Nawacita menjadi langkah awal yang penting. Namun, keberhasilan program-program ini sangat ditentukan oleh konsistensi implementasi di lapangan, pengawasan yang ketat, serta pelibatan masyarakat lokal dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Pancasila menuntut bahwa keadilan tidak boleh menjadi privilese kelompok tertentu atau wilayah tertentu saja, tetapi harus dirasakan oleh setiap warga negara tanpa memandang latar belakang geografis atau sosial-budaya.
Sila ketiga, "Persatuan Indonesia", juga mengandung pesan penting bahwa pembangunan harus menyatukan, bukan memisahkan. Ketika ketimpangan terus dibiarkan, potensi disintegrasi dan konflik sosial menjadi semakin besar. Masyarakat yang merasa tertinggal atau diabaikan berpotensi kehilangan kepercayaan terhadap negara dan sistem yang ada. Oleh karena itu, pembangunan harus dimaknai sebagai sarana untuk memperkuat kohesi sosial dan nasionalisme, bukan hanya untuk mengejar indikator ekonomi. Upaya membuka keterisolasian daerah melalui pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan, bandara, dan konektivitas digital harus dibarengi dengan pendekatan kultural dan edukatif agar masyarakat merasa terlibat dalam arus pembangunan nasional.
Lebih jauh lagi, sila kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab", menuntut agar pembangunan tidak hanya mengejar angka statistik atau pertumbuhan ekonomi, melainkan juga menjunjung tinggi martabat manusia. Masyarakat di Papua, NTT, atau Maluku, sebagaimana masyarakat di Jakarta atau Bandung, berhak atas kehidupan yang layak dan bermartabat. Ketika pembangunan hanya terkonsentrasi di kota-kota besar dan pusat ekonomi, maka kelompok masyarakat di daerah tertinggal akan semakin termarjinalkan. Pancasila mengingatkan bahwa semua warga negara memiliki nilai dan hak yang sama untuk berkembang dan hidup dengan sejahtera. Oleh karena itu, dalam praktik pembangunan, negara wajib memperhatikan aspek kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak semata-mata teknokratik.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah peran sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", dalam menciptakan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Dalam konteks ketimpangan wilayah, musyawarah dan pelibatan masyarakat lokal menjadi krusial. Pembangunan tidak boleh bersifat top-down sepihak dari pusat, tetapi harus dibangun atas dasar kebutuhan riil masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan akan memastikan bahwa program-program yang dilaksanakan sesuai dengan karakteristik wilayah, adat istiadat, serta potensi lokal yang dimiliki oleh masyarakat.
Akhirnya, sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" menjadi pondasi spiritual yang mengingatkan para pengambil kebijakan untuk menempatkan moralitas dan etika sebagai dasar dalam menjalankan tugas negara. Dalam Islam, Kristen, Hindu, Buddha, maupun agama-agama lain, keadilan adalah nilai utama yang harus ditegakkan. Oleh karena itu, pembangunan yang berkeadilan adalah manifestasi dari iman dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia. Ketika pembangunan dilakukan dengan iktikad baik, kejujuran, dan tanggung jawab moral, maka hasilnya akan jauh lebih berkelanjutan dan dirasakan secara luas.
Secara keseluruhan, Pancasila bukan hanya simbol formal kenegaraan, melainkan solusi ideologis dan praktis dalam mengatasi ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia. Nilai-nilainya harus menjadi dasar dalam setiap kebijakan negara agar pembangunan tidak hanya dinikmati oleh segelintir kelompok atau wilayah, tetapi benar-benar menyentuh seluruh lapisan masyarakat dari pusat hingga ke pelosok negeri. Hanya dengan menempatkan Pancasila sebagai panduan utama, Indonesia dapat mewujudkan keadilan sosial, persatuan yang kokoh, dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyatnya.
Namun, keberhasilan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam mengatasi ketimpangan pembangunan sangat tergantung pada integritas penyelenggara negara. Sering kali, semangat keadilan sosial hanya dijadikan jargon kampanye atau narasi politis tanpa realisasi yang memadai di lapangan. Padahal, jika nilai-nilai Pancasila sungguh-sungguh dijadikan pedoman dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) maupun kebijakan sektoral, maka pendekatan pembangunan tidak akan bersifat eksklusif atau terpusat di kota-kota besar. Pemerintah daerah juga harus memperkuat komitmen untuk memetakan potensi wilayahnya masing-masing dan memastikan bahwa program pembangunan benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat setempat secara partisipatif dan transparan.
Selain itu, dalam mengatasi ketimpangan pembangunan, kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting. Pancasila, yang mengandung semangat gotong royong dan kebersamaan, menuntut semua pihak terlibat aktif dalam menciptakan perubahan. Misalnya, sektor swasta yang berinvestasi di daerah-daerah tertinggal perlu diimbau untuk tidak hanya mengejar keuntungan semata. Lembaga pendidikan dan LSM juga dapat berperan dalam memberdayakan masyarakat lokal agar lebih siap menghadapi tantangan pembangunan, termasuk melalui pendidikan vokasional, literasi digital, dan pelatihan kewirausahaan.
Akhirnya, penting untuk membangun budaya pembangunan yang berakar pada nilai-nilai Pancasila di tingkat akar rumput. Pendidikan Pancasila tidak boleh berhenti di ruang kelas, tetapi harus hidup dalam praktik sosial masyarakat, birokrasi pemerintahan, dan perilaku pejabat publik. Ketika nilai-nilai seperti keadilan, kemanusiaan, persatuan, dan musyawarah benar-benar diinternalisasi oleh seluruh komponen bangsa, maka pembangunan tidak lagi dilihat sebagai proyek elite, tetapi sebagai gerakan bersama untuk memajukan seluruh wilayah Indonesia secara berkeadilan. Dalam konteks inilah, Pancasila menjadi bukan hanya solusi, tetapi juga kompas moral dan arah kolektif menuju cita-cita nasional yang sesungguhnya yaitu Indonesia yang maju, adil, sejahtera, dan menyatu dalam keberagaman.