Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Ir. Tatti Suwarti, Berjuang untuk Sekolah

21 April 2021   17:24 Diperbarui: 21 April 2021   17:36 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Ir. Tatti Suwarti. Dokumentasi Pribadi.

Pada tahun 2005 saya menemui nasabah saya Ir. Tatti Suwarti di ruang kerjanya, di lingkungan Museum Geologi Bandung. Seusai saya membantu beliau mengisi aplikasi pengajuan kartu kredit, saya memancing beliau untuk menceritakan riwayatnya dari awal hingga menjadi tenaga ahli di lembaga ini. Saya sangat takjub melihat sepak terjang beliau di situ.

Bu Tatti lalu menuturkan,sebagai ahli geologi yang di akhir tahun 1970-an masih langka, sebetulnya sangat mudah untuk beliau menghasilkan banyak uang. Tetapi beliau meninggalkan peluang itu. Beliau memilih menjadi pegawai negri sipil dengan gaji pertama tidak sampai sepersepuluh gajinya waktu bekerja di perusahaan swasta.

Tatkala banyak orang semakin hedonis (memuja kenikmatan dunia), sosok bersahaja seperti beliau semakin langka. Kesederhanaannya dalam menyikapi hidup malah membuatnya tampak istimewa.

Padahal sangat mudah untuk beliau mencari materi dan masuk ke golongan the have.

"Saya berpikir, saya sudah begitu mudah bersekolah. Jalan saya serba enak. Saatnya saya harus mengabdi." begitu alasan beliau.

Beliau menjadi peneliti (sudah seniir waktu itu) di Museum Geologi Bandung. Seluruh hidupnya dicurahkan habis-habisan untuk pekerjaannya. Mencari data, menambah data, sampai menulis penemuan-penemuan di bidang sejarah. Kelengkapan museum yang membanggakan kota Bandung itu tidak terlepas dari peran Bu Tatti. Tetapi beliau selalu merendah untuk andilnya ini.

"Saya seperti dokter umum. Semua ditangani. Kalau saya sudah tahu jenisnya, saya berikan kepada spesialisnya. Di museum ini kan banyak koleksinya. Saya coba menambahkan data." ungkap beliau.

Banyak panel koleksi museum geologi hasil karyanya.

"Tapi di belakang saya juga banyak teman-teman yang mendukung. Saya hanya punya ide, terus teman-teman membantu."

Ir. Tatti Suwarti menekuni bidang mikroskopik batu, meneliti kandungan-kandungan aoa yang ada di batuan.

Gelar Bu Tatti tidak ada apa-apanya dibanding berbagai gelar keilmuan rekan-rekan sekerjanya, beliau hanya insinyur.

Tetapi yang mengenal beliau sangat tahu sepak terjangnya. Tidak adanya dana penelitian bukan halangan baginya. Beliau tidak ragu mengeluarkan uangnya sendiri untuk membiayai penelitian yang hasilnya kelak dipersembahkan untuk negara.

" Nggak ada maksud apa-apa. Saya tuh suka gemes kalau ada penelitian yang nggak bisa dilanjutkan karena nggak ada dana. Biar deh orang nggak mau mengerjakan proyek yang nggak ada duitnya. Tspi bagi saya semua penemuan dan penelitian itu penting."

Bu Tatti memasuki gedung besejarah ini saat museum itu direnovasi. Sejak itu beliau tidak pernah meninggalkan pekerjaannya di situ. Kalau beliau tidak ada di kantor, berarti sedang mengerjakan penelitian di lapangan yang menghabiskan waktu berhari-hari sampai hitungan bulan.

"Museum ini rumah pertama saya. Bahkan anak saya sendiri sempat tidak mendapat perhatian karena saya selalu menomorsatukan pekerjaan saya. Tapi untung saya cepat sadar, saya juga harus memikirkan kepentingan anak saya."

Beliau pernah meninggalkan gedung yang dicintainya selama 4 tahun, untuk mendampingi ahli geologi teman sekantornya yang juga suaminya ke Australia. Mengambil cuti di luar tanggungan negara. Beliau memberi kesempatan bagi suaminya untuk menambah ilmu.

Berasal dari keluarga miskin, Bu Tatti benar-benar berjuang untuk dapat bersekolah. Ayahnya, Pak Soengkono, pensiunan pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api (sekarang PT KAI) golongan II. Saat beliau remaja , ayahnya yang menikah di usia tua, sudah tidak memiliki biaya untuk sekolah anaknya. Bu Tatti membantu bekerja memasang kancing dan renda untuk baju bayi. Beliau anak ke 4 dari 5 bersaudara, tidak segan-segan jualan pisang goreng untuk membantu keuangan keluarga.

"Bahkan biar bisa menghemat, ibu saya selalu berbelanja di sore hari pada saat harga sayur sudah lebih murah."

Saat itu umumnya teman-teman beliau berbekal uang saku seringgit. Beliau hanya mendapat jatah setalen.

"Kalau mau beli permen ya cuma permen. Atau mau kerupuk ya hanya bisa  kerupuk satu, nggak ada tambahan lain. Saya pernah ingin membeli permen cap "Rabbit", permen yang bungkusnya bisa dimakan. Tapi nggak kebeli. Harganya seperak. Untuk merasakan enaknya permen itu, saya harus mengumpulkan uang beberapa hari." kenang beliau.

Tinggal di Jl. Setiabudi Bandung yang relatif dekat dengan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), menumbuhkan minatnya untuk menjadi insinyur. Awalnya karena nilai matematikanya selalu bagus, beliau ingin masuk jurusan matematika.

"Tapi lulusan jurusan matematika kan nggak jadi insinyur. Itu pikiran sederhana saya saat itu. Pengaruh lingkungan membuat saya akhirnya memilih jurusan geologi." tutur Bu Tatti.

Bu Tatti banyak belajar dari para mahasiswa ITB  yang tinggal di sekitar rumahnya, di antaranya para mahasiswa jurusan geologi. Tetapi pada waktu tiba ujian masuk, beliau tertegun sebab tidak punya uang sepeser pun untuk membeli formulir pendaftaran seharga Rp 2.500,00. Untung teman-temannya di Karang Taruna tidak tinggal diam melihat kecerdasan Bu Tatti harus terhenti di tengah jalan.

"Mereka mengumpulkan uang untuk membelikan saya formulir." kenang beliau terharu.

Keinginan Bu Tatti mengenyam pendidikan tinggi tidak terlalu mendapat dukungan orang tuanya. Ibunya malah berharap Bu Tatti tidak lulus test.

"Pikiran ibu saya sangat sederhana. Kalau nanti lulus, biaya kuliahnya bagaimana? Tetapi ternyata banyak yang sayang sama saya. Sampai-sampai dosen saya meminjamkan motor. Banyak yang membantu ikut membiayai kuliah saya." tutur beliau.

Kemudahan-kemudahan seperti itulah yang membuat beliau berpikir untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi kehidupan orang banyak.

Meskipun tidak punya koneksi Bu Tatti mendapat pekerjaan di perusahaan swasta yang bergerak di bidang pemetaan.

"Pada saat itulah saya ingin banyak uang. Bukan untuk apa-apa. Saya ingin membelikan ibu televisi. Selama ini ibu numpang nonton televisi di rumah tetangga."

Gaji beliau besar, sehingga keinginannya untuk membelikan ibunya televisi dan kulkas bisa langsung dipenuhi saat beliau menerima gaji pertamanya.

"Tetapi ibu saya tetap nonton televisi di rumah tetangga, karena yang saya belikan tekevisi hitam putih ha...ha...ha..."

Beberapa waktu kemudian saat adik bungsunya yang sama-sama kuliah di geologi ITB juga lulus, beliau menitipkan sejumlah uang untuk membelikan ibu mereka  televisi berwarna.

"Aduh yang namanya orang sekampung tahu karena ibu dengan bangga menceritakan kalau anak lelakinya mampu membelikan televisi berwarna. Tidak mengapa yang penting ibu saya senang."

Beliau meninggalkan pekerjaan bergaji besar itu tanpa ragu. Beliau memilih jalan yang mungkin di mata kaum hedonis (pemuja kenikmatan dunia) adalah pilihan bodoh.

"Hidup saya enak kok, saya nggak harus menunggu kaya untuk membawakan makanan buat teman-teman sekantor. Juga nggak harus menunggu kaya untuk membantu mereka yang butuh pengobatan atau biaya sekolah.

Bersama suaminya diam-diam beliau sering menolong orang yang membutuhkan pertolongan, yang dibacanya di koran. Padahal hidup beliau sederhana.

Bekerja di dunia yang didominasi laki-laki tidak membuat beliau risih. 

"Di rumah, saya juga satu-satunya anak perempuan. Waktu kuliah, di antara tiga angkatan, 71, 72 angkatan saya, dan 73, saya juga satu-satunya perempuan. Sekarang orang menjuluki saya man blood ( berdarah laki-laki)."

Namun beliau sempat terbentur pada beberapa halangan masalah gender. Seperti pada saat penggalian sumur (Wellsite), keberadaannya hampir ditolak. Waktu itu beliau mengerjakan proyek dengan salah seorang supervisornya dari Jepang.

Menurut kepercayaan di Jepang dalam lingkungan pengeboran tidak seorang perempuan pun boleh berada di sekitar lokasi. Karena Bu Tatti tenaga ahli, beliau dibutuhkan di sekitar tempat itu. Akhirnya beliau diperkenankan berada di sekitar sumur dengan syarat berpakaian laki-laki.

"Saya kan bandel, saya ajak juga sekretaris perempuan saya, biar ada temen kalau jalan-jalan ke luar kantor. Eh ada kejadian mata bor patah. Tapi melihat kenyataan, saya pikir mungkin logikanya begini, pekerja laki-laki yang berhari-hari di lapangan buyar konsentrasinya sebab melihat ada cewek ha...ha...ha...!"

Pada waktu saya temui Bu Tatti berusia 53 tahun, tubuh beliau digerogoti penyakit diabetes. Di bulan lalunya beliau hampir sebulan tidak ke kantor.

" Tapi ke lapangan saya masih kuat kok.Kalau ke luar saya pakai sepatu, kalau kaki mulai bengkak ya saya ganti pakai sendal." kilah beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun