Gelar Bu Tatti tidak ada apa-apanya dibanding berbagai gelar keilmuan rekan-rekan sekerjanya, beliau hanya insinyur.
Tetapi yang mengenal beliau sangat tahu sepak terjangnya. Tidak adanya dana penelitian bukan halangan baginya. Beliau tidak ragu mengeluarkan uangnya sendiri untuk membiayai penelitian yang hasilnya kelak dipersembahkan untuk negara.
" Nggak ada maksud apa-apa. Saya tuh suka gemes kalau ada penelitian yang nggak bisa dilanjutkan karena nggak ada dana. Biar deh orang nggak mau mengerjakan proyek yang nggak ada duitnya. Tspi bagi saya semua penemuan dan penelitian itu penting."
Bu Tatti memasuki gedung besejarah ini saat museum itu direnovasi. Sejak itu beliau tidak pernah meninggalkan pekerjaannya di situ. Kalau beliau tidak ada di kantor, berarti sedang mengerjakan penelitian di lapangan yang menghabiskan waktu berhari-hari sampai hitungan bulan.
"Museum ini rumah pertama saya. Bahkan anak saya sendiri sempat tidak mendapat perhatian karena saya selalu menomorsatukan pekerjaan saya. Tapi untung saya cepat sadar, saya juga harus memikirkan kepentingan anak saya."
Beliau pernah meninggalkan gedung yang dicintainya selama 4 tahun, untuk mendampingi ahli geologi teman sekantornya yang juga suaminya ke Australia. Mengambil cuti di luar tanggungan negara. Beliau memberi kesempatan bagi suaminya untuk menambah ilmu.
Berasal dari keluarga miskin, Bu Tatti benar-benar berjuang untuk dapat bersekolah. Ayahnya, Pak Soengkono, pensiunan pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api (sekarang PT KAI) golongan II. Saat beliau remaja , ayahnya yang menikah di usia tua, sudah tidak memiliki biaya untuk sekolah anaknya. Bu Tatti membantu bekerja memasang kancing dan renda untuk baju bayi. Beliau anak ke 4 dari 5 bersaudara, tidak segan-segan jualan pisang goreng untuk membantu keuangan keluarga.
"Bahkan biar bisa menghemat, ibu saya selalu berbelanja di sore hari pada saat harga sayur sudah lebih murah."
Saat itu umumnya teman-teman beliau berbekal uang saku seringgit. Beliau hanya mendapat jatah setalen.
"Kalau mau beli permen ya cuma permen. Atau mau kerupuk ya hanya bisa  kerupuk satu, nggak ada tambahan lain. Saya pernah ingin membeli permen cap "Rabbit", permen yang bungkusnya bisa dimakan. Tapi nggak kebeli. Harganya seperak. Untuk merasakan enaknya permen itu, saya harus mengumpulkan uang beberapa hari." kenang beliau.
Tinggal di Jl. Setiabudi Bandung yang relatif dekat dengan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), menumbuhkan minatnya untuk menjadi insinyur. Awalnya karena nilai matematikanya selalu bagus, beliau ingin masuk jurusan matematika.