Mengurai Konflik Organisasi di Sekolah: Mencari Solusi atas Ketidakterbukaan dan Kepentingan yang Bertabrakan
Penulis: Darman Eka Saputra, S.Pd.Gr. --- Guru SDN Sukaresmi Cikalongkulon, Mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan Universitas Pamulang
Konflik dalam organisasi pendidikan bukanlah hal yang asing. Bahkan, di sekolah dasar tempat saya mengabdi, konflik internal pernah muncul cukup tajam. Benturan kepentingan, ketidakterbukaan, dan tekanan struktural dari atas menjadi benang kusut yang sempat menghambat laju profesionalisme dan kerja sama antarguru.
Salah satu konflik paling nyata adalah terhambatnya komunikasi antarguru, yang disebabkan oleh adanya sebagian guru yang lebih banyak menghabiskan waktu pada kepentingan di luar tugas pokok dan fungsinya. Situasi ini tidak hanya membuat beban kerja tidak merata, tetapi juga menimbulkan kecemburuan dan ketidakharmonisan. Solusinya, kami mengadakan pertemuan rutin dengan pola komunikasi terbuka dan evaluatif, yang bertujuan menyamakan persepsi tentang komitmen profesionalisme.
Konflik kedua muncul dari pengelolaan keuangan sekolah yang tidak transparan. Banyak guru merasa tidak dilibatkan dalam rencana dan realisasi pembelanjaan ARKAS. Bahkan, kepala sekolah sendiri tidak leluasa mengambil keputusan karena harus mengikuti tekanan dari pejabat dinas pendidikan dengan kepentingan tertentu. Solusi awal yang kami upayakan adalah mendorong dibentuknya tim manajemen sekolah yang terdiri dari guru, komite, dan kepala sekolah, untuk memantau dan memberi masukan pada proses perencanaan anggaran.
Persoalan senioritas yang tidak sehat juga sempat memperkeruh suasana. Guru-guru senior merasa lebih berhak menentukan kebijakan internal, sering kali meremehkan ide-ide guru yang lebih muda. Konflik ini diredam dengan cara membentuk forum musyawarah guru yang menempatkan setiap suara memiliki bobot yang sama, tanpa memandang lama masa kerja. Pendekatan yang digunakan adalah prinsip inclusivity and equity dalam pengambilan keputusan.
Adapun kepala sekolah yang enggan melawan kebijakan atasan, terutama terkait pembelanjaan yang tidak sesuai kebutuhan sekolah, menjadi dilema tersendiri. Kami memahami posisi kepala sekolah yang berada dalam tekanan struktural, namun pendekatan dialog dengan prinsip keberanian etik (ethical courage) perlahan membuahkan hasil. Kepala sekolah mulai berani meminta klarifikasi dan menunda pembelanjaan yang tidak mendesak sambil melibatkan komite sekolah sebagai penyeimbang eksternal.
Yang paling kompleks adalah dominasi politik oleh pihak tertentu dari dinas pendidikan. Guru yang dianggap tidak "sehaluan" dengan kepentingan mereka kerap dipinggirkan. Untuk ini, kami mencoba menegakkan budaya organisasi yang berbasis profesionalisme dan meritokrasi. Meskipun belum sepenuhnya tuntas, semangat kolegialitas dan konsistensi dalam menjalankan peran kami sebagai pendidik menjadi benteng awal dalam menghadapi intervensi semacam itu.
Kesimpulan, konflik dalam organisasi sekolah memang tidak bisa dihindari, namun bukan tidak bisa diselesaikan. Diperlukan keberanian, keterbukaan, dan sistem kolektif yang sehat agar sekolah tetap menjadi institusi pendidikan, bukan panggung politik atau arena perebutan kekuasaan. Pendidikan yang baik lahir dari manajemen yang sehat --- dan itu dimulai dari keberanian para pendidik untuk berbicara dan bertindak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI