Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontemplasi Politis Soal Demokrasi dan Keadilan Menuju Indonesia Emas 2045

21 Februari 2024   23:34 Diperbarui: 7 Mei 2024   02:46 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Situasi politik menjelang kontestasi pesta demokrasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024 relatif rusuh. Ruang public dikotori berbagai prilaku social yang mengabaikan netralitas politis, hingga kesantunan social dalam menjaga demokrasi dan keadilan secara takzim. Public mempertontontan prilaku saling menegasikan, mengolok-olok, merendahkan martabat personal, hingga saling melecehkan para calon pemimpin negara sesuai mekanisme legal-formal berdasar aturan konstitusi.

Ada lima indikator untuk mengukur demokrasi tetap eksis, yakni terselenggaranya proses pemilihan umum dan pluralisme, kebebasan sipil, berfungsinya pemerintahan dan partisipasi politik, serta budaya politik. Apakah kelima indicator itu masih berlangsung di Indonesia saat ini?

Pro-kontra soal penilaian salah satu calon wakil presiden (Cawapres) cacat politis, menempuh cara tidak etis, kecurigaan independensi-profesionalitas Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), setidaknya potret krusial politik kebangsaan ini telah mempengaruhi keyakinan public dengan mempersepsikan demokrasi dan keadilan di Indonesia sedang dilemahkan secara sistematis oleh rezim penguasa.

Luapan kemarahan public menjadi tidak terelakkan, menilai putusan MK cacat etik karena kepentingan politik rezim penguasa dengan melibatkan unsur keluarga. Fenomena krisis kepercayaan public semakin sempurna, ketika ada sikap resistensi public terhadap lembaga penyelenggara Pemilu, yang dimanivestasikan melalui gugatan kepada KPU, hingga Bawaslu mengeluarkan keputusan memberi "sanksi berat terakhir" kepada ketua KPU.

Sebagai warga bangsa yang taat dan patuh konstitusi, tentu tidak punya pilihan lain selain menjalankan dan menghormati aturan hukum yang berlaku. Kebenaran dan kesalahan menjadi tidak absolut lagi, karena pembuat dan pelaksana aturan hukum (legislative dan eksekutif) berada pada subyek pelaku dengan agenda politik kekuasaannya, hasil pilihan rakyat melalui mekanime pemilihan umum (pilleg dan pilpres).    

Meski public kecewa dan situasi politik relative tidak kondusif, semuanya sirna dan tidak ada lagi pengaruh politiknya, ketika proses penyelenggaraan negara harus tetap berjalan sesuai mekanisme dan jadwal yang sudah ditetapkan. Mengapa? karena tujuan utama pesta demokrasi 2024 adalah memilih pemimpin nasional (eksekutif) dan wakil rakyat (legislatif), untuk melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai mandat konstitusi.

Chauvinisme Versus Nasionalisme

Kekecewaan public seakan terwakili melalui statemen pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra soal "cacat hukum serius" atas putusan Mahkamah Konstitusi, yang mengabulkan sebagian batas usia capres dan cawapres. Statemen itu menjadi pemantik munculnya sikap yang mendekati semangat Chauvinisme para pendukung Capres-Cawapres.


Chauvinisme merupakan bentuk kesetiaan yang ekstrem dan digunakan suatu pihak tanpa ada upaya mempertimbangkan atas pandangan dari pihak yang lain. Pencirian dari sikap dan prilaku kesetian ekstrem inilah yang diterjemahkan dengan semangat membela dan melakukan pembelaan dari para pendukung Paslon Capres-Cawapres dengan berbagai cara dan kreasi politiknya.

Mengolok, menghina, memfitnah, mendeskriditkan, lewat metsos dan atau melalui media tertentu kepada para calon pemimpin bangsa yang sedang berkontestasi, menjadi kebanggan dan kebiasaan baru atas nama demokrasi. Para pelakunya seolah menjadi pahlawan karena telah menjaga marwah demokrasi. Prilaku social ini sejatinya jauh dari adab dan tata krama bangsa Indonesia. Kesantunan dan semangat saling bergotong royong merupakan nilai luhur yang sampai hari ini merawat dan menjaga ke-Bhineka Tunggal Ika-an bangsa Indonesia.

Akibat dari Chauvinisme ini memunculkan ragam prilaku militan, dengan berbagai cara dan sikap politisnya, bisa dalam bentuk dukungan secara mambabi-buta Capres-Cawapres pilihannya, hingga mengabaikan esensi pesta demokrasi itu sendiri.

Menjadi tidak penting lagi soal pandangan Hakim Konstitusi yang memutus perkara dengan komposisi tiga hakim setuju, dua hakim concurring opinion (setuju dengan putusan hanya saja beda pendapat), dan empat hakim disenting opinion (pendapat berbeda atau tidak setuju dengan putusan) dengan pikiran jernih. Putusan hakim MK adalah bersifat final dan mengikat (final and binding). Karena posisi lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi adalah tertinggi dan terakhir, sehingga putusan MK tidak dapat diubah, dan tidak bisa diajukan upaya hukum.

Secara politik, sikap Chauvinisme ini pada situasi dan kondisi tertentu mamang dibutuhkan, selama tidak mempengaruhi soal nasionalisme terhadap masa depan dan kedaulatan bangsa negaranya. Sedangkan nasionalisme, sebagaimana definisinya adalah "Perasaan kebangsaan atau cinta terhadap bangsanya yang sangat tinggi dan berlebihan sehingga memandang rendah terhadap bangsa lain". Nasionalisme dalam arti luas adalah "Perasaan cinta yang tinggi atau bangga terhadap tanah air dan tidak memandang rendah bangsa lain".

Kontribusi politik untuk menyatakan cinta dan bangga terhadap negara-bangsa, bisa ditunjukkan dengan sikap kritis terhadap prilaku para elite birokrat penyelenggara pemerintahan, maupun politisi parlemen sebagai pengontrol kinerja eksekutif. Jika ada Tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang berpotensi merusak tatanan demokrasi dan keadilan, maka wajib bagi warga dan komponen bangsa melawan secara kritis dan militan.

Akan tetapi, jika krisis kepercayaan terhadap pemerintah penguasa dilakukan secara berlebihan dengan cara maupun tindakan yang mengabaikan aturan dan mekanisme hukum yang berlaku, juga tanpa disertai dengan praktik prilaku diri yang tidak demokratis berikut keteladanannya, maka sikap politik public ini secara politis bisa dinilai sebagai tindakan yang berkontribusi menghancurkan negara-bangsanya sendiri. 

Merawat Demokrasi dan Keadilan

Kata merawat itu punya konsekwensi menjaga dan meningkatkan. Mengupayakan secara serius dan konsisten untuk menempatkan nilai demokrasi ditempat seharus dan sebenarnya. Jika menelisik dinamika proses dialog menuju keputusan final tertentu yang bisa diterima secara nalar itu, maka akar budaya tentang musyawarah dan mufakat itu sejatinya manivestasi dari bagian dari proses demokrasi itu sendiri. Indonesia menamakannya menjadi demokrasi Pancasila sebagai ciri khasnya.

Abraham Lincoln (12 Februari 1809 -- 15 April 1865) merupakan figure pemimpin bangsa yang menjaga demokrasi. Seorang Presiden Amerika Seikat ke-16 yang berhasil memimpin bangsanya keluar dari perang saudara Amerika, mempertahankan persatuan bangsa dan menghapuskan perbudakan, meski pada akhirnya harus menghadapi pembunuhan terhadap dirinya.

Demokrasi menurutnya dimaknai dengan suatu sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dari pengertian demokrasi tersebut bisa disimpulkan bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan negara.

Perspektif politik kontemporer yang terjadi dalam praktik demokrasi di Indonesia, berdasarkan tafsir dari kalimat "rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan negara" itu, representasi politiknya telah diwakilkan kepada para anggota Legislatif dan Presiden beserta wakilnya yang dipilih melalui mekanisme pemilu Pilleg dan Pilpres.

Relevansinya dari simpulan di atas, setidaknya relevan dengan pernyataan "International Commissionof Journalist" yang menyebutkan bahwa "demokrasi merupakan suatu bentuk sistem pemerintahan dimana warga negara memiliki hak untuk ikut membuat keputusan-keputusan politik melalui wakil-wakil rakyat yang mereka pilih dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui sebuah pemilihan yang bebas tanpa paksaan".

Tantangan untuk menjaga demokrasi tidak boleh pesimis. Semangat optimisme harus dikobarkan setiap saat dan harus percaya pada peran penting demokrasi itu sendiri. John Jeffries Martin, profesor sejarah dari Duke University, dalam artikelnya yang ditulis di Washington Post, pada 21 Mei 2019 lalu dia memberi judul "Why Study History? Because It Can Save Us from Democratic Collapse".

Jika orang mau belajar sejarah demokrasi, khususnya sejarah gagasan demokrasi dari para Founding Fathers, orang akan mendapatkan bekal kuat dalam menghadapi berbagai tantangan demokrasi yang memang selalu ada di dalamnya. Statemen John Jeffries Martin tegas bahwa "setiap manusia adalah pembuat sejarah, terlepas dari status sosial, ras, atau gender. Setiap manusia punya kemampuan secara individu maupun kolektif menjaga kebebasan dirinya dan kebebasan manusia lain yang menjadi landasan demokrasi".

Formula demokrasi melahirkan mekanisme checks and balances yang memunculkan keseimbangan, tidak lahir dari angan-angan kosong. Bahkan seorang humanis Nicolo Machiavelli (awal abad 16), setelah mempelajari jatuh bangunnya kekuasaan republik yang pernah ada di Roma, menyimpulkan bahwa kestabilan kekuasaan republik hanya akan terjadi jika kekuasaan tidak dikonsentrasikan pada satu lembaga saja.

Salah satu seruan Machiavelli dalam tulisannya berjudul "Discourses on the First Ten Decades of Livy" adalah pentingnya mengawasi bentuk-bentuk kekuasaan klasik seperti monarki, aristokrasi, dan teokrasi. Jika salah satu dari ketiganya menjadi terlalu kuat, hal itu adalah jalan munculnya tirani.

Kebrutalan para politisi,  elite parpol dan elite birokrat bertindak demi kekuasaan yang ingin selamanya digenggamnya, bahkan telah menyeret paksa elemen civitas akademisi berpolitik praktis. Fenomena situasi politik yang berhasil memprovokasi para Guru Besar akademisi, purnawirawan TNI-Polri, Asosiasi Kades, dan para mantan aktivis pro-demokrasi itu, bersuara yang sama dalam sikap politiknya dengan mendalihkan ada kemunduran bahkan suatu upaya mematikan demokrasi secara sistemik. Kemasan narasi-narasi sarkasme dengan mudahnya terlontar, seakan demokrasi di Indonesia sudah benar-benar hancur.

Apabila benar ada pernyataan bahwa demokrasi dan keadilan sudah hacur, sejatinya siapa paling bertanggung jawab atas kehancurannya? Untuk memastikan demokrasi bisa berjalan ideal, ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Mayoritas rakyatnya sudah cerdas, kritis dan berpendidikan cukup. Sadar dan paham soal hak dan kewajibannya secara hukum-politik, relative kecil jumlah warga yang berstatus dibawah sejahtera.

Untuk konteks transparansi dan akuntabilitas, harus juga memastikan para pengusaha menjalankan bisnisnya dengan benar dan bersih, dan aparat ASN sadar tupoksinya dan tidak korupsi. Peran dan posisi Parpol menjalankan tanggung jawabnya melakukan pendidikan politik rakyat, proses peradilan berjalan adil dan tegas, hingga keberadaan para Hakim Agung dan Hakim Konstitusi tidak diangkat oleh Presiden (Eksekutif) tetapi hasil keputusan lembaga Legislatif. 

Jika ada masalah soal budaya politik terkait pola perilaku masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, norma kebiasaan masyarakat) yang terciderai, maka subyek pelakunya akan mengkerucut pada Presiden beserta para pembantunya dan para politisi Parpol secara berjamaah. Sedangkan yang memilih presiden beserta wakilnya dan para politisi yang duduk diparlemen adalah warga negara melalui mekanisme pesta demokrasi pemilu Legislatif lima tahunan.

Pertanyaannya kemudian? sejauh mana komitmen dan kesadaran kritis-politis mayoritas warga bangsa menjaga demokrasi dan keadilan saat berlangsungnya pemilihan umum (Pileg dan Pilpres) dengan (1) berani menolak praktik politik uang, (2) komitmen para pihak/petugas pemilu menolak bersekongkol melakukan kecurangan, dan (3) komitmen anggota Timses mengedukasi warga pemilih? Jika ketiga hal ini tidak terpenuhi, maka rusaknya demokrasi Indonesia menjadi sempurna karena prilaku warga bangsa itu sendiri.

Menjaga demokrasi dalam konteks penegakan hukum secara adil juga sangat penting untuk menjaga wibawa pemerintah penguasa. Pertanyaannya, apakah para praktisi dan penegak hukum sudah mempratikkan azas "Fiat Justitia Ruat Caelum" secara konsisten? Fenomena yang ada belum sepenuhnya terjadi, mereka justru bersembunyi dibelakangnya dan menggunakannya sebagai palu untuk melindungi para pemilik modal besar. Mereka tidak tertarik pada hukum dan integritasnya, tetapi hanya ambisi untuk memuaskan diri demi nominal dan kekuasaan, hingga membuat frustasi bagi para pencari keadilan.

Kemarahan public karena mendapat informasi salah dari berbagai media yang ada, bahkan mendalihkan demokrasi sedang teraniaya dan sedang menuju kehancurannya itu, setidaknya fenomena situasi politik ini merupakan potret politik bangsa Indonesia kekinian. Realitas ini harusnya menjadi tanggung jawab bersama bagi politisi dan Parpol beserta pemerintah penguasa melalui Kementerian maupun komisioner yang relevan.

Jika dalih demokrasi dijadikan alasan untuk bebas bicara dan bebas berkehendak memenuhi Hasrat politik setiap individu maupun kelompoknya, maka cara penyelesaiannya harus berdasar aturan hukum menurut tatanan demokrasi itu sendiri. Sebagai misal, sebuah keputusan hukum harus dilawan dengan keputusan hukum yang baru, tidak dengan menghalalkan segala cara. Jika perlawanannya dengan menghalalkan segala cara, maka para pelakunya justru tidak/belum memahami esensi demokrasi yang sesungguhnya.

Apabila ada putusan hukum dari para hakim kemudian dianggap salah dan/atau berpihak, maka keputusan itu harus dilawan dengan keputusan hukum baru/tandingan melalui prosedur yang ada. Jika ada penilaian hakimnya tidak adil dan berpihak, maka bisa diadukan/dilaporkan kepada internal institusi maupun institusi eksternal yang punya kewenangan melakukan evaluasi atau pengawasan terhadap kinerja para Hakim.

Keteladanan Para Pemimpin

Untuk merawat dan menjaga demokrasi, harus dimulai dengan keteladanan. Keteladanan yang dipraktikan mulai dari kehidupan keseharian orang tua kepada anak dan keluarganya melalui budaya dialektika, menyuruh tanpa paksaan karena ada alasan dan argumentasinya, hingga keteladanan cara memimpin dan dipimpin dilingkungan kerja, keteladanan cara berprilaku selama berinteraksi social, dan keteladanan mengkritik dan menyuarakan aspirasi secara benar dan santun tanpa ada pretensi menjatuhkan karakter terkait status maupun posisi subyek hukumnya.

Sebagai introspeksi diri yang mengaku penjaga dan pengawal demokrasi dan keadilan indonesia, apakah dalam kesehariannya sudah memberi contoh keteladanan berdemokrasi ketika berinteraksi sosialnya? Sebagai orang tua, apakah sudah mengajarkan dan mempraktikkan kehidupan demokrasi pada keluarga inti dan lingkungan tetangga sekitarnya secara santun dan beradab?

Jika belum, maka menjadi tidak adil bila secara reaktif mengkritisi bahkan menstigmatisasi pemerintah dengan tuduhan merusak hingga mematikan demokrasi dan keadilan Indonesia. Jangan bermimpi demokrasi dan keadilan bisa berjalan secara ideal, apabila prilaku demokratis tidak pernah dibangun mulai dari hulu (kehidupan berkeluarga). Sesungguhnya rusaknya demokrasi dan keadilan bisa disebabkan karena prilaku warga bangsa maupun pemerintah penguasanya.

Keteladanan yang dicontohkan para pemimpin di setiap level, secara social-politik bisa berdampak positif-masif. Apakah para pemimpin dari level RT, Kades hingga Presiden yang mewakili lembaga Eksekutif, NGO, lembaga keagamaan, lembaga profesi, Ormas, hingga pimpinan lembaga Legislatif dan Yudikatif sudah memberi contoh yang patut untuk diteladani? Jawaban ini sangat penting dan menentukan, sekaligus menjadi kritik dan kaca politis bagi setiap pemimpin dimanapun posisi dan keberadaannya.   

Jika masih ada praktik secara masif oknum Kades tidak menyalurkan program Bansos secara adil dan transparan, penggunaan Anggaran Dana Desa (ADD) tidak transparan, akuntable tetapi dikorupsi secara berjamaah melibatkan perangkat Kadus, ketua RW, ketua RT tanpa ada keberanian melakukan kritik dan perlawanan warganya hingga mengupayakan dilakukan penindakan hukum, maka fenomena potret sosial politik tingkat tapak ini menjadi contributor yang menyebabkan demokrasi dan keadilan tidak berjalan sesuai rambu-rambu yang disyaratkan.

Kenapa indikator Kades dijadikan rujukan penilaian, karena dalam struktur pemerintahan paling bawah, Pemdes menanungi dan memerintah warga masyarakat tingkat tapak. Jika ada potret prilaku warga desa yang ternyata tidak patuh dan memusuhi Kadesnya karena tidak amanah sebagai pemimpin dalam kepemimpinannya, tentu karena banyak hal penyebabnya.

Selain itu, jika masih ada warga masyarakat mau menerima politik uang dalam proses pemilihan kepala desa, dalam pesta demokrasi pemilu Pilleg dan Pilpres, melakukan tindakan suap untuk pengurusan perihal tertentu, mengklaim diri maupun kelompoknya sebagai pihak paling benar, ingin tetap berkuasa dengan cara memanipulasi kebenaran subyektifnya, melakukan praktik kolusi dan nepotisme dalam proses pemilihan pengurus sebuah kelembagaan tertentu, maka akan sangat sulit demokrasi dan keadilan bisa ditegakkan di bumi Indonesia tercinta ini.

Pertanyaan kritis-logisnya? apakah ada relevansinya antara demokrasi Indonesia dengan situasi yang terjadi pada masyarakat tingkat tapak (lingkungan keluarga, dan wilayah desa)? Jika ada kausalitas secara signifikan, maka relative sulit menegakkan demokrasi dan keadilan, apalagi untuk memilih seorang pemimpin yang bisa menjadi teladan atas keteladanannya. Konsekwensi politisnya, sangat berat melahirkan para pemimpin yang berkwalitas, amanah, adil, mengayomi dan melindungi rakyatnya.

Simpulan

Orientasi sistem pendidikan formal tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi yang cenderung hanya untuk kepentingan bisnis semata, patut dicurigai menjadi penyebab sekaligus kontributor terbentuknya kwalitas SDM yang miskin budi pekerti dan kesantunan sosialnya. Berbagai prilakunya sangat berpotensi menciderai semangat ke-bhineka-an dan nilai-nilai ke-gotong-royong-an bangsa Indonesia.

Konsekwensi logis ikutannya, tentu ada pengaruh soal keteladanan prilaku sosial-politik dari para pemimpin level RT, RW, Kades hingga Presiden beserta para pembantunya, pimpinan lembaga Yudikatif dan para politisi hingga pimpinan Parpol, yang pada ghalibnya menjadi kunci dalam menjaga dan menyelamatkan demokrasi dan keadilan di Indonesia.

Praktik dan prilaku keteladanan harus dilakukan secara natural, tanpa ada kepentingan tersembunyi dibalik prilaku sosial-politisnya. Pola kehidupan sosial yang disertai berbagai bentuk keteladanan dari para elite birokrat dan politisi dengan kesederhanaan dan kesantunannya, akan menjadi cermin politis warga bangsa.

Posisi dan tradisi pembelajaran pondok pesantren, pastoral, biksu, dan komunitas masyarakat adat, harus diposisikan menjadi lembaga pendidikan strategis-ideologis sebagai garda terakhir penjaga perdamaian menuju kesejahteraan social warga bangsa Indonesia. Misi dan oreientasi sistem pendidikan non-formal yang dikembangkan para pengasuh pondok-pondok pesantren di seluruh Indonesia selama ini, bisa dijadikan solusi merevitalisasi "Demokrasi Pancasila" khas bangsa Indonesia.

Melalui metode dan materi pengajarannya soal toleransi beragama, silaturahmi, mengayomi dan melindungi kelompok minoritas, permakluman, kewirausahaan, kesemuanya itu merupakan bagian dari materi dalam kitab-kitab yang dipelajari, bahkan dikoneksikan dengan istiqomahnya tidak merusak (sifat fasik) dalam memaknai kehidupan dunia yang relative singkat berikut konsekwensi hukum agama yang menyertainya kelak.

Untuk menjaga dan mengawal demokrasi dan keadilan berada dalam posisi sebenarnya dan yang seharusnya, maka dibutuhkan sebuah keberanian mengambil resiko bertindak atas dasar koreksi/kritik membangun terhadap prilaku/tindakan salah/menyimpang kepada para pimpinannya sesuai aturan hukum maupun adat/kebiasaan yang ada, sejatinya masih menjadi masalah laten disetiap level kepemimpinan.

Perasaan tidak enak, karena ada hubungan kekerabatan, karena ada hutang budi, setidaknya menjadi beban psikologis untuk berani melakukan kritik dan koreksinya. Berdasarkan fakta atas situasi dan kondisi sosial yang ada di segala tingkatan kelembagaan inilah yang berpotensi menjadi daya rusak sangat signifikan terhadap demokrasi dan keadilan di Indonesia saat ini.

Sementara itu, situasi politik global saat ini dan akan selamanya, telah memposisikan negara-negara kaya dan maju tehnologi akan terus berupaya menempatkan negara Indonesia pada 2 (dua) posisi sekaligus, yaitu sebagai "pasar potensial dunia" dengan kondisi "instabilitas politik dan perekonomian nasional", dengan orientasi mengupayakan dengan segala cara untuk selalu bergantung untuk memenuhi kebutuhan barang impor dari negara penyedia.

Oleh karenanya, nasionalisme warga bangsa menjadi kunci untuk menjaga dan menegakkan demokrasi dan keadilan dengan cara menggugat dan memperdebatkannya secara kritis agar tetap terjaga militansinya. Persaingan ekonomi dan perkembangan tehnologi saat ini, sangat ditentukan dengan ketersediaan bahan baku SDA yang dibutuhkan. Sedangkan Indonesia punya potensi SDA melimpah, yang secara gradual akan dikelola dengan kebijakan hilirisasi.

Menyiapkan dan menguatkan posisi tawar negara-bangsa Indonesia menjadi pelaku pasar-ekonomi global dengan kedaulatan penuh, hingga menjadi penentu tercipta dan tercapainya perdamaian dunia tanpa syarat, dengan menempatkan potensi kekayaan SDA sebagai alat negosiasi politik sesuai misi politik luar negeri pemerintahan Indonesia.

Salam Demokrasi dan Keadilan Menuju Indonesia Emas 2045

Bahan bacaan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun