Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Demokrasi Kongkalikong" Memicu Praktik "Korupsi Berjamaah"

4 April 2023   04:47 Diperbarui: 4 April 2023   04:50 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia bersepakat menganut trias politica dalam pembagian sistem kekuasaan dan praktek ketatanegaraan dengan pemisahan kekuasaan negara. Sistem pemerintahan Indonesia dibagi menjadi 3 yaitu eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif (pengawas pelaksana undang-undang). Dalam praktik pengawasannya memang "seperti api dalam sekam" ketika pimpinan lembaga yudikatif ditunjuk langsung oleh Presiden sebagai pelaksana Eksekutif sesuai aturan yang berlaku.

Fenomena politik ini memang sedang menjadi sorotan bahkan perdebatkan dikalangan pemerhati politik, praktisi dan akademisi terkait praktik demokrasi di Indonesia, karena fungsi pengawasan dinilai lemah dan cenderung tidak independen karena pengaruh mobilisasi politik eksekutif. Akibatnya, dugaan terjadi "praktik kongkalikong politik kekuasaan" tidak terhindarkan. Meskipun, ada upaya merevisi UU.No.16/2004 (Kejaksaan Republik Indonesia) mengenai usulan pentingnya pengaturan jabatan Jaksa Agung menggunakan mekanisme pemilihan melalui panitia seleksi termasuk mengatur prosedur dan persyaratannya.

Metode dan prosedur pemilihan, kriteria dan asal-usul calon, kapasitas calon, dan penegasan kepastian profesionalitas kerja Jaksa Agung yang berbeda dengan langkah kerja Menteri, meskipun sama-sama ditunjuk/dipilih oleh Presiden. Harapannya agar sosok Jaksa Agung bisa menjaga marwah penegakan hukum di Indonesia secara independen, terbebas dari kepentingan siapapun, dengan harapan calon Jaksa Agung bisa berasal dari pejabat atau pengacara/advokat karier yang steril dari unsur perwakilan Partai Politik.

Relevansinya dengan fenomena politik kontemporer saat ini, setidaknya rakyat baru saja melihat pertarungan akal sehat yang tergelar di gedung terhormat wakil rakyat antara Menkopolhukan-Ketua PPATK dengan Komisi III DPR/RI dengan berbagai jurus pembenarnya masing-masing. Tontonan drama politik itu, setidaknya bisa mencerahkan dan mencerdaskan rakyat, atau justru membuat bingung rakyat mengenai adanya dugaan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp 349 triliun itu. Padahal kasus ini, sejatinya sudah terendus sejak tahun 2017 dan cilakanya baru tersampaikan kepada public bulan Maret 2023.

Menarik untuk dicermati dari dugaan TPPU ini, karena ada silang pendapat antara Menkopolhukan dengan saudara Johan Budi anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mantan jubir KPK terkait kasus yang dibahas, apakah masuk "delik Korupsi atau delik Tindak Pidana Pencusian Uang (TPPU)" yang tentu tunduk pada aturan hukum yang berbeda dalam proses pengusutan/penyidikan hingga penerapan sanksi hukum yang ditetapkan hakim kepada para pelakunya.

Relevansi tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan Korupsi itu, pada prinsipnya bisa dilihat dari "perkara asal" yang melatarinya. Tafsirnya bahwa barang siapa dengan niatan tertentu ingin memperkaya diri sendiri yang kemudian berupaya menyembunyikan atau mengalihkan pendapatan secara illegal cara dan atau modus tertentu, sehingga tidak masuk atau memenuhi ketentuan delik pidana korupsi.

Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok, mencuri, maling. Menurut kamus Oxford, pengertian korupsi adalah perilaku tidak jujur atau ilegal, terutama dilakukan orang yang berwenang. Sementara menurut hukum di Indonesia, pengertian korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain, baik perorangan maupun korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara.

Sedangkan berdasarkan UU.No.31/1999 juncto UU.No.20/2001, ada 30 delik tindak pidana korupsi yang dikategorikan menjadi 7 (tujuh) jenis, yaitu kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi. Dalam arti luas, pengertian korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.

Implikasinya dengan peluang dimungkinkannya terjadi "praktik kongkalikong politik kekuasaan" itu, setidaknya akan relative mudah untuk memprediksi terbukanya kesempatan dan peluang bagi oknum pejabat negara melakukan tindak pidana korupsi, apabila menggunakan simulasi narasi dua kata "Jika -- Maka" untuk memudahkan logika berfikir bagi kalangan public secara luas dengan level kecerdasan dan pengetahuan paling rendah sekalipun. Simpulan simulasinya, jika fungsi pengawasan (DPR, BPK, Internal Kementerian, lembaga negara tertentu/komisioner) tidak dilakukan/berjalan dengan "sungguh-sungguh dan konsisten tanpa kompromi" maka siapapun akan mencoba melakukan pelanggran.

Jika Presiden sebagai pelaksana Eksekutif mampu memobilisasi pimpinan lembaga yudikatif ditunjuknya, hingga legislatif (pembuat undang-undang) menyelipkan ketentuan pasal titipan yang ada kepentingan bisnis usaha yang dikelola oknum elite penguasa dan oknum politisi, maka peluang terjadinya tindak pidana korupsi bisa terjadi, yang untuk mengelabuhinya bisa menggunakan modus scenario pencucian uang. Melihat kemungkinan fenomena ini, tentu peluang terbukanya unsur kesengajaan eselon dibawah Menteri menahan informasi/laporan atas temuan dugaan masalah/kasus dari lembaga negara tertentu yang tidak punya kewenangan membuka/menyampaikan hasil temuannya kepada publik sangat dimungkinkan bisa terjadi.

Pada akhirnya, "gimmick politis seolah tidak bisa lepas" dari panggung drama para elit birokrat dan politisi dalam waktu sesaat itu. Mengapa? andai para aktor elit birokrat dan politisi itu benar-benar bekerja karena kewajibannya yang telah dibayar negara atas pajak rakyat, mengapa harus menunggu waktu relative lama hingga beberapa tahun lamanya dan jumlahnya mencapai Rp 349 triliun baru diungkap/terungkap? Itupun belum tentu/masih diragukan ada tindak lanjut ada penindakan secara hukum hingga vonis putusan hakim untuk semua temuannya. Jika ada, siapa yang akan menggaransi dan yang mengawal prosesnya hingga tuntas?

Pertanyaan politisnya? Siapa pihak paling tepat untuk disalahkan? Apakah simpulannya mengarah dugaan "konspirasi politik secara masif dan sistemik" antara representasi elite birokrat (eksekutif) dengan oknum politisi (legislative) karena diduga sengaja ada pembiaran dari representasi lembaga penegak hukum (yudikatif)? Meski sudah bisa dibayangkan jika semuanya harus diungkap, akan butuh waktu lama karena diduga ada ratusan pegawai Kemenkeu terlibat dugaan TPPU atau megakorupsi itu.

Siapapun status mereka, dan apapun tindakan yang mereka lakukan dengan perannya masing-masing, fenomena tontonan perdebatan antara Menkopolhukan-Ketua PPATK dengan Komisi III DPR/RI itu seolah seperti "gelaran konser penelanjangan politik secara dadakan". Siapa menyerang siapa, siapa menggaransi siapa, dan siapa melakukan untuk apa, semunya membuat rakyat menjadi galau untuk bersikap dan harus melakukan apa, karena yang terlibat adalah para elite penguasa yang kadung mendapat kepercayaan rakyat mengelola negara-bangsa ini demi tercapainya kesejahteraan dan keadilan yang rakyat dambakan setiap saat.

Sebagai warga bangsa yang cinta tanah air, apa yang harus dilakukan dengan fenomena prilaku oknum para elite penguasa ini? Sejujurnya, sebagai rakyat kecil hanya bisa pasrah menerima dampaknya saja tanpa mampu memahami apa yang terjadi sesungguhnya. Mereka hanya akan mengikuti komando para pihak yang mampu "meyakinkan dan memobilisasi" untuk bertindak sesuatu.

Rakyat Indonesia sepertinya sudah terbiasa dibohongi/ditipu para junjungan politisi dari masing-masing Parpol yang dipilihnya, para presiden yang dipilihnya, para Gubernur-Walikota-Bupati yang dipilihnya, bahkan oleh Kepala Desa sekalipun. Karena terlalu sering dibohongi/ditipu, nalar rakyat menjadi kebal bahkan "merasa tidak pernah ditipu/dibohongi".

Karena nalar rakyat sudah kebal dan terbiasa ditipu/dibohongi, sedangkan para oknum elite penguasa dan oknum politisi yang menipu/membohongi beserta keluarganya juga "sudah tidak punya rasa malu lagi", maka rakyat hanya pasrah bagaimana caranya bisa tetap bertahan hidup (survival) dengan doa dan keyakinannya. Dan yang menguatkan nasionalisme rakyat Indonesia saat ini, masih terhibur dengan mimpi-mimpi dan percaya bahwa "pada saatnya akan ada sosok RATU ADIL" yang bisa menyelamatkan kehidupannya dan negara-bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun