Sementara pada malam hari, para remaja beraktivitas bersama kelompoknya dan anak-anak muda biasanya kongkow beramai-ramai. Jika bulan sedang purnama, maka itu waktu yang terbaik untuk bermain di badan jalan. Misalnya, bermain gobak sodor.
Namun beberapa tahun kemudian, pada malam hari, terdengar bunyi sesuatu. Suara mangkok berbenturan dengan sendok. Sumbernya berasal dari gerobak yang didorong.
Jreng! Tampaklah mas-mas asal Jawa sedang menjajakan bakso. Kami sempat takjub dan mengenalinya bakso yang dijual itu, bukanlah bakwan. Jika bakwan berkuah cenderung bening, maka bakso ini berkuah kehitaman---gara-gara kecap manis.
Saya masih mengingatnya, bakso-bakso tersebut ditawarkan berdasarkan jumlah butir yang dikehendaki. Ukurannya, lebih kecil bila dibandingnya dengan bakso yang lazim kita temui di masa kini. Sebagai "teman" bakso dalam mangkok, si mas menggunakan laksa.
Seraya menanti dihidangkan, saya mendengar percakapan. Si mas menjelaskan bahwa ia berasal dari pulau Jawa. Tiba di Sulawesi melalui jalur transmigrasi.
Sejak malam itu di Donggala, akhirnya hadir pedagang keliling yang mengambil segmen jam malam. Ada kehidupan lain yang berlangsung kota masa kecil saya itu.
Begitulah, para warga yang gemar menyantap bakso, bisa mengakhiri malam dengan perut lebih kenyang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI