Menjadi superman, ternyata mudah dan murah. Cukup mengulurkan sejumlah uang bernilai tujuh ribu rupiah, maka keinginan ini akan terwujud melalui segelas ramuan bernama jamu. Harapan untuk perkasa pun menyeruak, menembus pori-pori rasa malu, cemas, dan minder.
Di Jamu Ginggang, kawasan Pakualaman, Yogyakarta, nama ramuan herbal tradisional ini tampil santun, "Sehat Pria". Bukan nama unik eksotik yang menerbitkan kepo. Namun demikian, posisinya menempati urutan pertama dalam daftar nama jejamuan yang siap dipesan.
Jika suguhan jejamuan dalam kategori "Jamu Biasa" ini dirasa kurang gagah, maka pada beberapa jamu dapat ditambahkan telur agar istimewa. Cukup menambah tiga ribu rupiah, jamu ini masuk dalam kategori "Jamu Telor" dan berubah nama menjadi "Sehat Pria Telor".
Jamu Keraton Pura Pakualaman
Jamu-jamu di sini diolah dari bahan-bahan segar, diproduksi sendiri, dan turun-temurun dari garis abdi dalem Keraton Pura Pakualaman. Kisah ini dimulai sekitar tahun 1925, saat Mbah Jaya diminta Sri Paduka Pakualam VII untuk mengabdi sebagai tabib di lingkungan Pakualaman.
Sejak itu tugas keseharian Mbah Jaya tidak jauh dari segala hal yang terkait dengan jamu. Mbah Jaya memanggul amanah meracik resep-resep tradisional yang berasal dari Sri Paduka Pakualam VII.
Ketika Mbah Jaya wafat, tanggung jawab yang dipanggulnya ini diteruskan oleh sang adik, Mbah Bilowo. Mbah Bilowo pun menjadi bagian dari perjalanan kesehatan Pakualam VII.
Pengetahuan berkenaan dengan resep-resep serta cara meracik jejamuan ini, terus berlanjut sepeninggal Mbah Bilowo. Generasi ketiga yang mewarisi kompetensi ini adalah Mbah Kasidah.
Mbah Kasidah adalah sosok yang meroketkan Jamu Ginggang sebagai entitas bisnis. Mbah Kasidah sepenuhnya mengelola tempat dan menjajakan jamu secara keliling di Pasar Gede dan Pasar Beringharjo.