Lembar hari terakhir itu, dibuka di Trafalgar Square. Di bawah naungan gelap langit distrik Westminster, pusat kota London. Beberapa orang berkelebat di lingkar frame, dalam siluet dan pendar cahaya.
Kamera mencari, mendapati, dan menyapa wajah Ethan Hunt. Pandangannya menebar, lalu terdiam. Matanya berbinar, raut wajahnya bergerak perlahan. Senyumnya mengembang, tipis.
Malam itu, Ethan tak banyak bergerak: berlari, mengejar, dan merangsek. Seperti dalam banyak menit yang dihabiskannya di belakang. Lelahnya berakhir, setidaknya pada malam di Trafalgar Square itu.
Di keramaian manusia yang tidak menyadari keberadaannya, sorot matanya terpaku sejenak. Di tengah dunia yang nyaris kikis, ia kemudian mendapati sosok-sosok yang teramat dikenalnya.
Satu dan satu, ditatapnya. Saling angguk. Salam paling sunyi di rentang jarak, antarsahabat yang beriring dalam deru napas dan perjudian nyawa. Lalu, memisahkan diri. Kamera pun menjauh dan pergi.
Berakhirnya "Reckoning", Terbukanya Pintu ke Jalan Lain
Itulah adegan penghabisan film Mission: Impossible---The Final Reckoning sebelum penonton beranjak dalam seribu bahasa diam. Saya melangkah turun dengan membawa serta rasa sesak keharuan.
Saya menonton film yang memainkan karakter Ethan Hunt (Tom Cruise) ini dalam pemutaran spesial akhir pekan lalu. CGV Pakuwonmall Yogyakarta memutarnya di gedung Starium.
Namun saat melangkah masuk, saya segera kecewa dan menyadari itu bukanlah gedung Starium, melainkan SphereX. Bahkan sebelumnya, saya sudah berkhayal dapat menontonnya di layar ScreenX atau setidaknya IMAX atau 4DX.
Apalagi bila di ScreenX, kita akan dipuaskan dengan panorama ikonik. Ethan Hunt, dengan kemeja putih berlumuran darah, berlari kencang melintas panjang. Sementara menara jam Big Ben, jadi saksi bisu.
Scene tersebut, malam perpisahan di Trafalgar Square, adalah adegan spesial. Seolah dibuat menjadi semacam "pesta" perpisahan. Ringkas, menggunakan bahasa tubuh. Melalui tatapan jarak jauh.