Mohon tunggu...
Faisal Khaqi
Faisal Khaqi Mohon Tunggu... Pencari Jalan

Penulis independen, pemerhati politik dan kebijakan publik. Tertarik pada dinamika kekuasaan, birokrasi, dan fenomena sosial di Indonesia. Menulis untuk memahami, berbagi untuk membuka ruang diskusi. Motto: “Tulisan adalah jejak pemikiran. Saya hanya sedang mencatat perjalanan saya.”

Selanjutnya

Tutup

Roman

Ketika Logika Tak Bedaya

24 September 2025   10:21 Diperbarui: 24 September 2025   10:21 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, mengapa rasa ini selalu datang tanpa bisa kucegah. Cemburu, sebuah rasa yang seperti api kecil, kadang redup, kadang menyala, tapi tak pernah benar-benar padam. Aku tahu, selama aku masih merasakannya, itu tanda bahwa hatiku masih hidup, bahwa peduliku masih ada, bahwa cintaku belum mati. Namun, di balik itu, ada getir yang tak bisa kualihkan.
Malam ini aku kembali terjebak dalam lingkaran yang sama. Mataku menangkap bayangan dirinya bersama laki-laki lain, dan seketika dadaku sesak. Logika berusaha menenangkan, berkata bahwa aku sudah tahu sejak awal siapa dirinya, bagaimana jalan yang ia tempuh, dan mengapa aku memilih tetap ada di sisinya. Tetapi hatiku menolak. Rasa ini selalu lebih keras daripada suara akal sehat.

Aku mencintai malam yang melekat padanya, senyum yang ia sisipkan di antara keletihan, pelukan yang seakan meruntuhkan tembok amarahku. Aku meyakinkan diriku bahwa ada sisi lain darinya yang hanya ia berikan padaku, sisi yang tak dimiliki orang lain. Namun, ketika aku sadar sisi itu juga bisa disentuh oleh orang lain, hatiku terbakar. Seperti langit malam yang dipenuhi kilat, indah sekaligus menakutkan.

Aku mencoba bersabar, memanjangkan nafasku, memeluk logika agar tetap waras. Tapi perasaan ini selalu menemukan celah untuk menyelinap. Ada saat aku begitu lelah, namun sekaligus tak kuasa melepaskannya. Sebab di balik semua luka yang ia tinggalkan, selalu ada kelembutan yang menenangkanku. Ia bisa meredam amarahku hanya dengan sebaris kata, bisa menyiram hatiku yang panas dengan tatapan yang sederhana.

Dan aku pun kembali kalah, bukan oleh dirinya, tapi oleh perasaanku sendiri. Aku memilih bertahan meski logika menertawakan. Aku memilih terluka meski ada jalan untuk pergi. Sebab bagiku, kata-katanya masih bergaung: bahwa aku berbeda. Dan entah bagaimana, aku ingin terus percaya pada itu, meski harus menanggung cemburu yang tak ada ujungnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun