Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Maaf Politik" vs "Politik Maaf"

21 September 2025   06:17 Diperbarui: 21 September 2025   06:17 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maaf dari Istana Usai Ratusan Siswa Masih Jadi Korban Keracunan MBG 

Polanya kerap berulang. Setiap kali persoalan mencuat, yang muncul bukan pengakuan jujur, melainkan klarifikasi yang dibungkus eufemisme lengkap dengan konferensi pers:

"Itu bukan maksud saya."

"Konteksnya berbeda."

"Ada kesalahpahaman."

Modus-modus redaksi permintaan maaf seperti itu lebih menyerupai strategi menghindar daripada upaya tulus memperbaiki kesalahan. Kata maaf digunakan bukan untuk mengakui kekeliruan, melainkan untuk menenangkan kemarahan publik, meredam kritik, dan mempertahankan jabatan. Akibatnya, makna moral maaf merosot menjadi sekadar formalitas.

Sesungguhnya, masyarakat tidak menolak fakta bahwa setiap manusia bisa keliru. Publik menyadari bahwa kekhilafan merupakan bagian dari kodrat kemanusiaan. Namun, yang diharapkan dari seorang pemimpin adalah keberanian untuk jujur mengakui kesalahan, tanpa bersembunyi di balik retorika yang menyesatkan.

Lebih dari itu, publik menuntut adanya akuntabilitas---bukti konkret bahwa kata maaf tidak berhenti sebagai janji kosong, melainkan diwujudkan melalui tanggung jawab nyata yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Di titik inilah peran masyarakat menjadi penting. Membedakan antara ''Maaf Politik'' dan "Politik Maaf" bukan hanya tugas elit, tetapi juga tanggung jawab publik. Masyarakat harus kritis menilai setiap permintaan maaf yang disampaikan: apakah ia disertai langkah nyata memperbaiki keadaan, atau sekadar retorika untuk meredakan emosi sesaat?

Kesadaran kritis ini akan mencegah publik terus-menerus terjebak dalam permainan kata yang menyamarkan kesalahan.

Media, akademisi, dan masyarakat sipil juga perlu mengambil peran sebagai pengawal moral. Sebab, maaf tanpa konsekuensi hanyalah kamuflase untuk lari dari tanggung jawab. Dengan sikap kritis, publik dapat menagih akuntabilitas, mendorong transparansi, sekaligus menolak maaf yang dipakai sebagai perisai politik.

Karena pada akhirnya, hanya ada dua jalan: maaf yang tulus atau maaf yang dimanipulasi. Maaf yang tulus adalah jalan menuju pemulihan, sedangkan maaf yang dipelintir hanya akan memperkuat budaya impunitas. Masyarakat berhak menuntut agar kata "maaf" kembali ke makna sejatinya: pengakuan atas kesalahan, kesediaan memperbaiki keadaan, dan komitmen untuk berubah.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun