Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Maaf Politik" vs "Politik Maaf"

21 September 2025   06:17 Diperbarui: 21 September 2025   06:17 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maaf dari Istana Usai Ratusan Siswa Masih Jadi Korban Keracunan MBG 

Kata maaf sejatinya merupakan bahasa nurani yang melambangkan kerendahan hati dan tanggung jawab moral, serta melampaui batas agama, sosial, maupun budaya. Namun, dalam praktik politik Indonesia, kata ini kerap kehilangan maknanya, berubah menjadi strategi komunikasi untuk meredam kritik dan menyelamatkan kekuasaan. Di sinilah publik ditantang untuk membedakan antara "Maaf Politik" yang tulus dan "Politik Maaf" yang manipulatif.

 

Tidak ada manusia yang benar-benar terbebas dari kesalahan. Sejak awal, manusia diciptakan dengan keterbatasan yang membuatnya rentan tergelincir dalam kekhilafan. Karena itu, permintaan maaf hadir sebagai sarana moral untuk mengakui kelemahan, sekaligus tanda kerendahan hati dalam memperbaiki diri.

Namun, ketika kata "maaf" masuk ke ruang politik, maknanya kerap bergeser. Nilai luhur yang semestinya terkandung di dalamnya sering berubah menjadi sesuatu yang dangkal. Dari sudut pandang Semantik Kognitif, pergeseran makna ini dapat dipahami sebagai bentuk Framing.

Kata 'maaf' yang seharusnya bermakna pengakuan kesalahan dan kesiapan memperbaiki diri, diposisikan ulang dalam ruang politik sebagai alat retoris untuk mengendalikan persepsi publik. Dengan demikian, maaf dalam politik lebih sering berfungsi sebagai simbol kekuasaan ketimbang ekspresi moralitas.

Dunia politik Indonesia berkali-kali menunjukkan fenomena pejabat publik yang menyampaikan permintaan maaf setelah melakukan kesalahan besar yang mencederai kepentingan rakyat. Contoh terbaru permintaan maaf pemerintah atas banyaknya siswa yang menjadi korban keracunan masal usai  mereka mengkonsumsi Makanan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai tanah air.

Meski permintaan maaf itu terdengar penting dan seolah wajib disampaikan, publik tetap mempertanyakan ketulusannya: apakah maaf dari Mensesneg terkait banyaknya siswa yag keracunan MBG itu lahir dari kesadaran moral, atau sekadar strategi untuk meredam kemarahan masyarakat?

Pertanyaan semacam ini membuka jalan untuk membedakan dua konsep penting: ''Maaf Politik'' dan "Politik Maaf". ''Maaf Politik'' adalah maaf yang tulus, berangkat dari kesadaran bahwa jabatan publik adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, baik di hadapan rakyat maupun Tuhan.

Maaf ini tidak berhenti pada pengakuan, melainkan diikuti langkah nyata memperbaiki kesalahan, memastikan tragedi serupa tak terulang, serta berupaya membangun kembali kepercayaan.

Sebaliknya, "Politik Maaf" justru mereduksi makna sejati dari kata maaf. Ia diperlakukan hanya sebagai instrumen: kadang jadi tameng, kadang jadi senjata untuk melindungi kekuasaan, menenangkan kritik, sekaligus mengamankan posisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun