Mohon tunggu...
Khoerul Latif
Khoerul Latif Mohon Tunggu... Bidan - Filsuf

Ubermensch

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Berada Menuju Maut: Sebuah Refleksi Atas Kematian

12 Agustus 2023   22:59 Diperbarui: 13 Agustus 2023   01:56 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Namun banyaknya materi yang dihasilkan seringkali menjadi hasrat buta yang terkadang kebutaan tersebut menutup mata kita akan kesadaran kematian, kita baru akan disadarkan kembali ketika terjadi peristiwa fatal dalam hidup kita seperti: vonis kanker, kematian orang terdekat atau mungkin bencana alam yang meluluhkan seluruh harta benda serta sanak saudara kita. Sebab-sebab tersebutlah yang membuat kita mengalami perubahan secara radikal dalam memandang hidup. 

Sebenarnya kita tidak perlu menunggu saat-saat kritis untuk dapat lebih memaknai kehidupan  kita haruslah menatap kematian dengan utuh dan mata terbuka, manusia pernah tiada selama 1,3 miliyar tahun yang lalu tentulah akan sangat rasional jika kita kembali dari tiada ke tiada. 

Kematian bukanlah hal yang patut ditakuti, tapi tidak juga dengan doktrin fanatisme buta yang pada satu titik akan merugikan orang lain. Kematian yang bisa datang karena sebab-sebab random: kecelakaan, jatuh atau bahkan bencana alam, haruslah lebih membuat kita menyadari serta menghargai waktu dan setiap momen dalam hidup, kebersamaan kita dengan orang lain akan dinikmati penuh penghayatan serta rasa syukur. 

Dengan mengafirmasi kemungkinan binasa sewaktu-waktu, seseorang akan lebih waspada dan lebih menjalani hari hari yang (masih) dimiliki dengan kesadaran penuh tanggung jawab, dalam artian kita tidak akan melewatkan moment begitu saja karena terlalu lekat keberlarutan kita dengan keseharian. 

Dan akhir kata, pada akhirnya kita tidak bisa benar-benar mendefinisikan kematian dalam dirinya sendiri An Sich oleh sebab itulah pengalaman kematian bernuansa personal, kita hanya dapat memahami kematian sebagai impersonalisasi atas yang personal. Kita hanya mendapatkan pengetahuan tentang kematian dari kematian orang-orang disekitar kita yang telah lebih dahulu tiada. 

Proses peniadaan manusia membuat orang-orang dilingkungan sekita berefeklesi akan kematian, keberadaan seseorang yang telah mati melebur menjadi khazanah untuk orang-orang yang ditinggalkan dan dimasa yang akan datang. Orangnya sendiri telah tiada namun berbagai hal tentangnya masilah utuh dalam ingatan-ingatan seseorang. 

Kematian secara An sich berada diluar dunia manusia. Kematian melampaui batas-batas bahasa sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Wittgenstein (1889) there are indeed, things that cannot be put into words, they make themselves manifest. They are what is mystical. 

Kematian bukan hal yang faktual terjadi melainkan berupa keniscayaan yang akan terjadi future tense yang membuat kita  sadar pentingnya berefeleksi atas makna hidup. Yang pastinya akan membentuk pribadi yang lebih positif dan bersahaja, pemahaman akan kontrasnya ambang batas antara kematian dengan kehidupan memberi meaning pada kehidupan manusia itu sendiri terutama pada fase -- fase nihilistik dan krisis akan eksistensi diri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun