Mohon tunggu...
Khoerul Latif
Khoerul Latif Mohon Tunggu... Bidan - Filsuf

Ubermensch

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Berada Menuju Maut: Sebuah Refleksi Atas Kematian

12 Agustus 2023   22:59 Diperbarui: 13 Agustus 2023   01:56 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah umur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda

mahluk kecil... kembalilah dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu'' Soe Hok Gie

Bait diatas merupakan penggalan dari puisi dalam buku Catatan Seoorang Demonstran(1983) yang sebelumnya merupakan catatan harian seorang aktivis bernama  Soe Hok Gie (1942-1969) seorang yang menjadi simbol pergerakan revolusioner serta perlawanan dari kaum minoritas yang termarjinal-kan. Yang meninggal dalam dekapan puncak Mahameru  tepat sehari sebelum perayaan ulang tahunnya sesuai dengan apa yang ditulisnya di usinya yang baru akan menginjak 27 tahun ia mati muda. 

Bicara soal kematian memang menjadi topik yang cukup intimidatif, kenapa dibilang intimidatif? karena kita sendiri masilah hidup, tapi dengan merenungi kematian kita sendiri bisa lebih merefleksikan tentang arti dari kehidupan, bahkan lebih jauh lagi kita bisa menjalani hidup dengan baik. Kita haruslah lebih sering berbicara tentang kematian karena ia begitu dekat dengan keseharian. 

Berita tentang kematian selalu mengguncang jiwa, misalnya saja disebuah televisi menampilkan seorang bapak yang meninggal ketika tengah mengendarai motor, ia terjatuh sehingga terlindas tronton dengan mayat yang berceceran. 


Seorang yang dikenal baik, sholeh dan menjadi tulang punggung keluarga harus tewas dalam kondisi mengenaskan. Untuk sejenak kita tentu pastilah terenyuh waktu terasa berhenti. 

Kematian orang lain membuat kita memikirkan kematian kita sendiri. Namun sayangnya, hal tersebut tidaklah berlangsung lama ada banyak kesibukan yang akan kita lakukan, kita selalu larut akan keseharian, kesibukan terhadap pekerjaan, berkumpul dengan keluarga,rekan atau kolega, keberlarutan manusia terhadap keseharian lah yang menjauhkan kita dari perasaan dan renungan akan kematian. 

Padahal dengan merenungi kematian kita jadi lebih memaknai hal-hal yang bersifat ontologis mengenai keberadaan manusia di dunia, keterikatan manusia dengan ruang dan waktu hingga kematian itu sendiri, dengan begitu kita akan menjalani hidup dengan lebih baik, lebih berguna dan juga bermanfaat bagi orang lain. 

Hampir semua manusia pada satu titik akan mulai dihadapi dengan pertanyaan eksistensialis mengenai keberadaan dirinya, tentang mengapa saya hidup?Bagaimana jika saya tidak pernah lahir? dan bagaimana kehidupan setelah kematian itu? 

Tentu hal tersebut sudah dijawab oleh agama-agama yang kita anut, dengan bersandar pada iman pertanyaan -- pertanyaan ontologis sebenarnya dapat terjawab dengan mudah, kehidupan tidak dipandang menjadi sesuatu yang absrud melainkan bermakna. 

Agama menawarkan jaminan serta ketegasan akan hidup dan hal -- hal eskatologi tentang surga dan neraka misalnya, namun apakah jawaban-jawaban dari agama membuat hidup manusia menjadi lebih baik? Tentu hal tersebut perlu kita renungkan dengan lebih mendalam lagi. 

Belum tentu agama membuat kita lebih positif dalam memandang kehidupan, tentunya masih segar diingatan kita akan maraknya kasus terrorisme; dari Bom Bali hingga Bom Sarinah di jalan MH Thamrin sudah cukup merefer ingatan kita tentang bagaimana agama yang seharusnya merupakan tuntunan moral dengan asumsi cinta kasih terhadap sesama, menyayangi orang lain justru malah menjadi malapetaka bagi orang lain, seseorang begitu dengan mudahnya berjalan menuju kematian, menjadi pelaku bom bunuh diri. Atas dasar tuntutan kesalehan dapat dengan mudah menjadi pembunuh masal dan dengan keyakinan penuh akan janji-janji surga serta jaminan hari akhir. 

Kematian merupakan proses alami dalam mekanisme alam yang menandai akhir dari suatu organisme, sebenarnya merupakan hal yang lumrah karena manusia sendiri merupakan bagian dari alam. Namun kemampuan manusia dalam mengidentifikasi diri sebagai satu-satunya mahluk yang berkesadaran, mengembangkan bahasa serta berbudayalah, membuat manusia menjadi satu-satunya spesies yang unik dalam memberi definisi kematian. 

Manusia tidak bisa hidup dengan fakta saja  natural environment  manusia butuh sesuatu yang  sering disebut meaning atau Noopshere, dan tentu saja itu merupakan hasil dari olah imajinasi dari daya pikir manusia namun itulah yang seringkali lebih dominan dalam menentukan tindakan seseorang. 

Pengalaman personal masing-masing individu yang berbeda-beda menjadikan gambaran kematian sangatlah orisinil, autentis serta memiliki ke-khas'annya sendiri. Sebagian dari kita begitu mendambakan kematian entah karena sebab-sebab dari tuntunan keshalehan dalam praktek keber-agaman tertentu, depresi ditinggal orang -- orang yang kita sayangi, putus dari pacar ditinggal istri/suami dan mungkin untuk alasan-alasan filosofis tersendiri. 

Namun sebagian dari kita yang lain sangat ketakutan menghadapi kematian, ketakutan hilangnya eksistensi yang membawa kita pada kegalau-an akan ketidakpastian tentang apa yang terjadi pasca kematian. Kematian digambarkan sebagai terror suatu hal mencengkam yang menghantui kita kapan saja, dan dimana saja.

Pada abad pra-modern atau seringkali diistilahkan sebagai dark age dimana saat itu segala macam bentuk discoursues lekat dan bersandar pada otoritas keagaman terkhususnya dari doktrin-doktrin gereja khatolik membentuk stuktur masyarakat lebih komunal berbudaya atas dasar kesamaan spirtualitas kematian dianggap sebagai bentuk ritualitas penuh akan kebermaknaan sebagai simbol -- simbol sastra, serta dalam karya lukisan yang menngambarkan romantisme manusia dengan kematian, bahkan frasa latin paling terkenal saat itu adalah ''memento mori '' yang mengambarkan kemelekatan manusia akan kematian. 

Baru semenjak Rennesaince meletus di Florance, Italia tengah hingga beberapa abad setelahnya melahirkan cara pandang sciene serta kedokteran yang lebih mapan. 

Kematian dianggap sebagai suatu hal yang tabu untuk dibicarakan bahkan melebih pornografi, bayangan kematian terasa mengerikan sehingga manusia berlomba-lomba berusaha menaklukan kematian  atau setidaknya menunda agar kematian datang lebih lama, namun nampaknya usaha tersebut belumlah menemui hasil, sebagai mahluk hidup manusia pastilah mati, kematian klinis yang ditandai dengan melumpuhnya seluruh sistem saraf dan fungi tubuh pastilah terjadi 

Lantas haruskah kita takut akan kematian? dan bagaimana kita mempersiakan kematian dengan lebih matang?

Sadar atau tidak pada tataran yang dangkal, orang-orang dengan berbagai macam rutintas dan kesibukannya tidak bisa sepenuhnya abai dari terror akan kematian, dengan menumpuuk harta benda serta kekayaan ia memvalidasi bahwa bila kematian datang tidak masalah toh ia sudah memiliki legacy berupa keturunan, serta warisan untuk anak-anaknya kelak. 

Namun banyaknya materi yang dihasilkan seringkali menjadi hasrat buta yang terkadang kebutaan tersebut menutup mata kita akan kesadaran kematian, kita baru akan disadarkan kembali ketika terjadi peristiwa fatal dalam hidup kita seperti: vonis kanker, kematian orang terdekat atau mungkin bencana alam yang meluluhkan seluruh harta benda serta sanak saudara kita. Sebab-sebab tersebutlah yang membuat kita mengalami perubahan secara radikal dalam memandang hidup. 

Sebenarnya kita tidak perlu menunggu saat-saat kritis untuk dapat lebih memaknai kehidupan  kita haruslah menatap kematian dengan utuh dan mata terbuka, manusia pernah tiada selama 1,3 miliyar tahun yang lalu tentulah akan sangat rasional jika kita kembali dari tiada ke tiada. 

Kematian bukanlah hal yang patut ditakuti, tapi tidak juga dengan doktrin fanatisme buta yang pada satu titik akan merugikan orang lain. Kematian yang bisa datang karena sebab-sebab random: kecelakaan, jatuh atau bahkan bencana alam, haruslah lebih membuat kita menyadari serta menghargai waktu dan setiap momen dalam hidup, kebersamaan kita dengan orang lain akan dinikmati penuh penghayatan serta rasa syukur. 

Dengan mengafirmasi kemungkinan binasa sewaktu-waktu, seseorang akan lebih waspada dan lebih menjalani hari hari yang (masih) dimiliki dengan kesadaran penuh tanggung jawab, dalam artian kita tidak akan melewatkan moment begitu saja karena terlalu lekat keberlarutan kita dengan keseharian. 

Dan akhir kata, pada akhirnya kita tidak bisa benar-benar mendefinisikan kematian dalam dirinya sendiri An Sich oleh sebab itulah pengalaman kematian bernuansa personal, kita hanya dapat memahami kematian sebagai impersonalisasi atas yang personal. Kita hanya mendapatkan pengetahuan tentang kematian dari kematian orang-orang disekitar kita yang telah lebih dahulu tiada. 

Proses peniadaan manusia membuat orang-orang dilingkungan sekita berefeklesi akan kematian, keberadaan seseorang yang telah mati melebur menjadi khazanah untuk orang-orang yang ditinggalkan dan dimasa yang akan datang. Orangnya sendiri telah tiada namun berbagai hal tentangnya masilah utuh dalam ingatan-ingatan seseorang. 

Kematian secara An sich berada diluar dunia manusia. Kematian melampaui batas-batas bahasa sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Wittgenstein (1889) there are indeed, things that cannot be put into words, they make themselves manifest. They are what is mystical. 

Kematian bukan hal yang faktual terjadi melainkan berupa keniscayaan yang akan terjadi future tense yang membuat kita  sadar pentingnya berefeleksi atas makna hidup. Yang pastinya akan membentuk pribadi yang lebih positif dan bersahaja, pemahaman akan kontrasnya ambang batas antara kematian dengan kehidupan memberi meaning pada kehidupan manusia itu sendiri terutama pada fase -- fase nihilistik dan krisis akan eksistensi diri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun