OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pada 8 September 2025, Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle kedua Kabinet Merah Putih dengan mengganti lima menteri. Perubahan di posisi strategis seperti Keuangan, dimana Sri Mulyani digantikan Purbaya Yudhi Sadewa, serta Koperasi dan Perlindungan Pekerja Migran, menyita perhatian utama. Tak lama berselang, pergantian juga menyentuh kursi Menko Polkam (Djamari Chaniago) serta Erick Thohir yang kembali duduk sebagai Menpora.
Seperti biasa, sebagian besar publik, media, dan kalangan pengamat menyambut dengan spekulasi dan harapan baru. Namun, di balik gegap gempita itu, pertanyaan mendasar tetap bergema: apakah reshuffle ini benar-benar melahirkan pemimpin yang adil? Atau hanya pergantian wajah yang mempercantik panggung, sementara nilai-nilai kepemimpinan tetap sama?
Mitos Ratu Adil: Cermin Moral Kepemimpinan yang Abadi
Dalam mitologi Jawa, Ratu Adil digambarkan sebagai sosok cacat fisik—tanpa mata, tanpa telinga, tanpa hidung. Simbol ini bukan kelemahan, melainkan pengingat profund bahwa pemimpin sejati tidak silau oleh gemerlap dunia (mata), tidak hanyut oleh bisikan kepentingan (telinga), dan tidak terjebak pada kenikmatan indrawi (hidung). Kekurangannya justru ditutupi oleh lingkar penasihat yang arif. Dari situ kita belajar bahwa kepemimpinan sejati tak berdiri sendiri, melainkan hidup dalam ekosistem nilai, integritas, dan kebersamaan.
Mitos ini mengajarkan tiga gegaran (prinsip) utama yang relevan hingga kini:
Asih mring kawula dasih – kasih sayang kepada rakyat kecil, yang terwujud bukan sekadar program, melainkan keberanian memperjuangkan nasib mereka.
Prasaja – kesederhanaan, menjauhi pencitraan kosong, dan fokus pada substansi kerja, bukan kemewahan jabatan.
Ora rumangsa dadi wong nomer siji – tidak merasa sebagai penguasa tertinggi, melainkan pelayan yang ngayomi tanpa menguasai, memimpin tanpa mengendalikan.
Ratu Adil Palsu: Ancaman yang Selalu Mengintai
Namun, kisah rakyat juga memperingatkan adanya Ratu Adil palsu: tampak gagah di luar, tetapi rapuh di dalam. Ia merasa sebagai “wong nomer siji,” menindas rakyat, dan menjadikan kekuasaan sebagai alat memuaskan diri. Pertanyaannya: apakah reshuffle ini benar-benar mendatangkan pembaru dengan nurani, atau hanya menghadirkan figur elok di permukaan tetapi cacat moral di dalamnya?