Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Revolusi Peradaban, Menghidupkan Kembali Perpustakaan yang "Nyaris Mati" dengan Filsafat "Urip"

17 September 2025   17:56 Diperbarui: 17 September 2025   18:26 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by kam/ai

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Dalam gegap gempita era digital, nasib perpustakaan tradisional bagai terperangkap dalam sebuah paradoks yang pahit. Di satu sisi, ia adalah benteng terakhir yang menyimpan khazanah pengetahuan umat manusia yang tak ternilai. Namun di sisi lain, ia sering kali dianggap sebagai ruang sunyi yang beku, sekadar gudang buku yang bisu dan nyaris mati---kehilangan relevansi, sepi pengunjung, dan terpinggirkan oleh gelombang informasi instan.

Untuk menghidupkan kembali sesuatu yang hampir mati, diperlukan lebih dari sekadar renovasi fisik atau penambahan teknologi. Penghidupnya harus memahami dengan sangat mendasar: apa esensi dari "hidup" itu sendiri? Di sinilah kita perlu melampaui solusi teknis dan menyelami ranah kebijaksanaan kultural yang dalam. Jawaban atas krisis eksistensi perpustakaan ini mungkin justru terletak pada filsafat lokal yang abadi: filsafat "Urip" (Jw).

Bahwa tepat sekali upaya menghidupkan perpustakaan justru dengan mengimplementasikan sebuah filsafat tentang hidup. Sebab, hanya dengan memahami hakikat "hidup" secara mendalam, kita dapat mentransformasi sebuah ruang yang mati suri menjadi organisme budaya yang benar-benar bernyawa.

Filsafat "Urip" (hidup) dalam konteks Jawa menawarkan kerangka kerja yang holistik dan spiritual, bukan sekadar pedoman teknis. Ia adalah sebuah kosmologi yang mendalam tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu "hidup"---bernafas, bergerak, bermakna, dan memberi manfaat.

Dengan mengadopsi prinsip-prinsipnya, perpustakaan tidak hanya sekadar "diaktifkan", tetapi benar-benar dihidupkan, ditransformasi dari sebuah institusi yang statis menjadi sebuah ekosistem budaya yang dinamis, berdenyut, dan menjadi jantung peradaban komunitasnya.

Prinsip Pertama: 'Urip' adalah Perjalanan Kolektif Menuju Penyatuan (Gathuk, Nglumpuk, Nyawiji)

Filsafat Jawa memandang hidup sebagai sebuah proses dinamis: dari gathuk (bertemu), nglumpuk (berkumpul), hingga akhirnya nyawiji (menyatu, melebur menjadi satu kesatuan yang harmonis). Perpustakaan tradisional mungkin sudah mencapai tahap nglumpuk---mengumpulkan buku---namun sering kali gagal menciptakan gathuk yang bermakna dan mencapai puncaknya, yaitu nyawiji dengan komunitasnya. Inilah sebabnya ia terasa "sepi" dan "mati".

Implementasi Mewah: Dari Rak Buku ke Ruang Pertemuan Ide

Sebuah perpustakaan yang "urip" harus menjadi agen katalisator bagi pertemuan-pertemuan bermakna.

  1. Salon Filosofi dan Sastra: Alih-alih sekadar bedah buku, ciptakan sebuah pengalaman seperti salon era Pencerahan. Undang penulis, pemikir, seniman, dan masyarakat untuk terlibat dalam "Dialog Srawung: Ngobrol Ngitung & Ngopi". Ruangannya didesain dengan akustik yang nyaman, pencahayaan yang hangat, dan fasilitas audio-visual minimalis untuk mendukung diskusi yang intim dan mendalam.
  2. Laboratorium Kolaborasi Kreatif: Sediakan "Ruang Swawisesa" (ruang berkarya mandiri) yang bukan hanya co-working space biasa, tetapi sebuah ekosistem kreatif. Ruang ini dilengkapi dengan papan tulis interaktif, peralatan prototipe sederhana, studio podcast mini, dan area baca yang nyaman, dirancang untuk memfasilitasi kolaborasi antara akademisi, freelancer, seniman, dan pengusaha muda.
  3. Kediaman bagi Komunitas: Jadikan perpustakaan sebagai tuan rumah bagi berbagai komunitas. Ruang-ruang pertemuan yang elegan dapat menjadi markas bagi klub film, kelompok penulis, komunitas sejarah, atau pegiat lingkungan. Perpustakaan tidak hanya menyediakan ruang, tetapi juga menjadi kurator yang menghubungkan komunitas-komunitas ini untuk menciptakan proyek kolaboratif yang besar.

Prinsip Kedua: 'Urip' adalah Kerendahan Hati yang Memberi Pelayanan (Andhap Asor lan Becik marang Sesama)

Filosofi "Ha disuku, Ra diwulu, Pa ing pangkon" mengajarkan sikap andhap asor (rendah hati), alus lembuting bebuden (kelembutan dalam bertindak), dan keberanian untuk madhep (menghadapi/melakukan) sesuatu untuk menciptakan "karya enak tyasing sesama" (kenyamanan hati sesama). Sikap inilah yang mampu mengikis kesan kaku dan birokratis yang sering membuat masyarakat menjauh dari perpustakaan.

Implementasi Mewah: The Concierge of Knowledge

Layanan perpustakaan harus naik kelas dari sekadar administratif menjadi pelayanan yang personal, penuh hormat, dan antisipatif.

  1. Kurator Pengetahuan Pribadi: Staf perpustakaan dilatih menjadi "Pamong Wicaksana" (pemandu bijaksana), bukan petugas sirkulasi. Mereka akan secara proaktif mendampingi pengunjung, memahami minat dan kebutuhannya, lalu menawarkan rekomendasi bacaan, sumber digital, atau bahkan memperkenalkan mereka pada komunitas yang relevan---seperti seorang concierge di hotel mewah yang memahami keinginan tamunya.
  2. Inklusivitas yang Elegan: Sebuah perpustakaan yang "urip" melayani semua kalangan dengan fasilitas dan program yang setara. Ini berarti memiliki "Pojok Lintang" yang nyaman dan stimulatif untuk anak-anak, "Serambi Sepuh" dengan koleksi font besar, kursi ergonomis, dan program mendokumentasikan kearifan lokal para lansia, serta aksesibilitas penuh untuk penyandang disabilitas, mungkin dengan teknologi pembaca teks atau braille.
  3. Pusat Solusi Masyarakatakat: Perpustakaan menjadi tempat masyarakat menemukan jawaban atas masalah harian. Gelar "Sinau Warga" berupa lokakarya yang elegan dan praktis tentang literasi keuangan, parenting, berkebun urban, hingga kesehatan mental, yang dibawakan oleh para ahli yang peduli pada komunitas.

Prinsip Ketiga: 'Urip' Harus 'Urup' (Menyala dan Menerangi)

Pepatah "Urip iku urup" (Hidup itu harus menyala) adalah inti dari segala tindakan. Sebuah kehidupan yang tidak memberikan cahaya dan kehangatan bagi sekitarnya dianggap sia-sia, atau bahkan "urik" (merusak). Inilah prinsip yang mengubah perpustakaan dari pihak yang pasif menunggu, menjadi kekuatan aktif yang secara proaktif menerangi dan memberdayakan masyarakat.

Implementasi Mewah: The Lighthouse of Inspiration

  1. Akalademi (akal + akademi) Pengembangan Diri: Kembangkan perpustakaan menjadi "Sanggar Kawruh" (sanggar ilmu) yang menawarkan kurasi program pemberdayaan. Dari kelas public speaking dan penulisan kreatif yang diajarkan oleh praktisi ternama, hingga workshop digital literacy yang memutus mata rantai ketertinggalan teknologi.
  2. Galeri Ekspresi dan Inovasi: Sediakan "Puri Kreasi"---ruang eksklusif yang didesain untuk memicu kreativitas. Di sini, pengunjung dapat mengakses alat musik, kanvas dan cat, peralatan fotografi, atau printer 3D untuk mewujudkan ide-ide mereka. Ruang ini menjadi tempat di mana inspirasi dari buku dapat langsung diubah menjadi karya nyata.
  3. Jaringan 'Sang Penerang' (Kang Gawe Urup): Perpustakaan membangun jaringan dengan para profesional, seniman, ilmuwan, dan pemimpin lokal untuk berpartisipasi dalam program "Darma Wicara" atau sumbangsih ilmu. Ini adalah ekosistem di dimana setiap orang yang telah "tersinari" terdorong untuk menjadi "penerang" bagi yang lain.

Penutup: Meniupkan Nyawa ke Dalam Kembali

Mengimplementasikan filsafat "Urip" Jawa adalah jawaban yang tepat untuk kebangkitan perpustakaan. Ini bukan tentang dekorasi atau program insidental, melainkan sebuah revolusi paradigma yang menyeluruh untuk meniupkan nyawa kembali. Ini tentang merangkul makna hidup yang sebenarnya: menjadi ruang pertemuan yang hidup (gathuklan nglumpuk), menjadi pelayan masyarakat yang rendah hati (andhap asor), dan menjadi mercusuar yang aktif menerangi (urip kudu urup).

Pada akhirnya, perpustakaan yang sejati bukanlah tentang buku yang ditumpuk, tetapi tentang bagaimana setiap jiwanya---dari pengunjung, pustakawan, hingga setiap huruf dalam koleksinya---benar-benar hidup: bernafas, bersinergi, dan bersama-sama menyala terang, membimbing masyarakat menuju kehidupan yang lebih bijaksana dan bermartabat. Inilah wujud sesungguhnya dari sebuah kebangkitan, dari yang "nyaris mati" menjadi benar-benar URIP.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun