OLEH: Khoeri Abdul Muid
Cahaya biru layar laptop menimpa wajah Wiradit. Jari-jarinya menggantung di atas keyboard, kaku.
"Buatkan esai tentang dampak AI pada pendidikan," bisiknya lirih.
Sekejap kemudian, kata-kata rapi mengalir. Argumen logis, kutipan meyakinkan, semua tersusun nyaris sempurna. Wiradit membaca dengan takjub, tapi hatinya kosong. Ia tahu, tulisan itu bukan miliknya. Ilmu yang sejati lahir dari keringat dan kejujuran, bukan sekadar hasil indah di atas kertas.
Ingatannya melayang pada seorang kakek di warung kopi.
"Dulu ke pasar harus hapal jalan. Belok di beringin, lurus sampai jembatan," kata kakek itu terkekeh. "Sekarang? Tinggal buka GPS. Kita lupa rasanya mencari."
Wiradit terdiam. Jalan pintas memang mempercepat langkah, tapi sering membuat kita lupa tujuan.
Di sisi lain, Ibu Nilam Sari menatap tumpukan esai mahasiswanya. Terlalu mulus, terlalu seragam.
"Indah, tapi tanpa jiwa," gumamnya. Ia sadar, teknologi hanyalah perpanjangan tangan manusia, bukan pengganti jiwanya.
Kegelisahan itu bergema dalam seminar. Menteri Pendidikan bersuara lantang:
"Teknologi mestinya mengasah, bukan mematikan. Jika kita tunduk, kita budak ciptaan kita sendiri."
Ibu Nilam Sari pun mengubah cara. Tugas bukan lagi esai kaku, melainkan proyek, wawancara, presentasi. "Gunakan AI untuk membantu," katanya di kelas, "tapi gagasan itu harus lahir dari kepalamu sendiri."
Kali ini Wiradit menuruti. Ia mendatangi seorang tokoh masyarakat, mewawancarai, mendengarkan, mencatat. Malamnya, ia menulis dengan tangannya sendiri. Kata-kata datang lebih lambat, lebih kasar, tapi jujur.
Saat laporan rampung, ia menutup laptop. Ada lelah yang anehnya menenangkan. Ada rasa memiliki yang tak pernah ia temui pada esai hasil salinan. Ia tersenyum kecil.
Mesin bisa menyalin kata, pikirnya, tapi tidak akan pernah menggantikan suara hati.