OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit Lokapala mengeras bagai besi panas. Tujuh bulan tanpa hujan menjadikan tanah retak, daun-daun mengering, dan air telaga menyusut tinggal lumpur.
Sungai-sungai tak lagi bernyanyi. Penduduk menggigil bukan karena dingin, melainkan ketakutan akan masa depan yang kian meranggas.
Di tengah tanah kering itu, seorang lelaki tua bernama Ketut Tantra berdiri di depan ladangnya yang mati. Di tangannya, sebatang pohon jambu kecil, ia gali lubang di tanah keras dengan tangan gemetar. Anaknya sudah lama pindah ke kota, cucunya tak mau pulang.
"Untuk siapa kau tanam pohon itu?" tanya seorang pemuda yang lewat.
"Untukmu. Untuk anakmu. Untuk siapa pun yang nanti ingin bernapas."
Pemuda itu terdiam. Ia baru saja menjual tanah warisan kakeknya kepada pengembang. Uangnya digunakan untuk beli motor dan ponsel baru.
Orang-orang berkumpul di balai banjar. Percakapan mengalir seperti sungai yang dulu: deras, panas, dan jujur.
"Ini semua karena keserakahan kita," kata Ketut Tantra pelan. "Hutan habis, tanah dijual, sungai dicemari. Apa yang kita tinggalkan selain debu?"
"Dulu kami menebang kayu tanpa menanam lagi," gumam Gede Pastika. "Kami pikir bumi akan selalu memaafkan."