Arman merasa sedikit terganggu, namun rasa ingin tahu membawanya untuk menghentikan langkahnya. "Apa maksud Anda, Pak Tua?"
Pria itu tersenyum. "Kamu seperti pohon yang tumbuh tinggi, cabang-cabangnya merentang luas, tetapi kamu lupa bahwa pohon yang besar memerlukan akar yang kuat untuk bertahan. Tanpa akar yang kokoh, pohon itu akan tumbang."
Arman tersenyum sinis. "Apa hubungannya pohon dengan saya? Saya sudah sukses, Pak Tua."
Pria itu tidak langsung menjawab, namun tangannya menunjuk ke sebuah pohon besar di dekat mereka. Pohon itu terlihat kokoh, tetapi beberapa cabangnya mulai rapuh, seperti sudah tidak mampu menopang berat tubuh pohon itu.Â
Lalu, pria itu menambahkan, "Lihat itu. Cabangnya bisa saja rapuh, tetapi akar yang kuat tetap akan menjaga pohon itu agar tidak tumbang. Namun, jika akar pohon itu rusak, meskipun pohon itu terlihat besar dan kuat, ia akan jatuh pada waktunya."
Arman terdiam. Ia mulai merasa ada yang salah dalam dirinya. Apa yang dimaksud dengan akar itu?
Pria itu kemudian melanjutkan, "Akar kesombongan adalah ego yang berlebihan. Sebuah ego yang menuntut pengakuan dari orang lain, tanpa menyadari bahwa kebanggaan sejati datang dari dalam diri, bukan dari bagaimana orang lain melihat kita. Jika kamu terus membiarkan egomu menguasai dirimu, kamu akan jatuh, seperti pohon yang tak memiliki akar."
Arman mulai merasa tersentuh. Ada sesuatu yang dalam dalam perkataan pria itu. Ia sadar, ia sudah jauh terjebak dalam egonya sendiri, hingga ia tidak lagi melihat orang-orang yang peduli padanya. Ia hanya ingin dipuji, dihormati, dan diakui.
Pria itu berdiri dan memberikan sebuah kata terakhir sebelum pergi, "Kebanggaan sejati datang ketika kita memahami bahwa kita tidak lebih dari yang lain, dan tidak lebih rendah dari siapapun. Hargai setiap perjalanan, dan jangan biarkan ego membuatmu lupa bahwa kehidupan ini adalah tentang memberi, bukan hanya tentang menerima."
Arman merasa seperti terbangun dari tidur panjang yang penuh dengan ilusi. Ia menyadari bahwa kebanggaan yang ia rasakan selama ini bukanlah kebahagiaan sejati, melainkan sebuah jebakan yang membawanya jauh dari kedamaian.
Keesokan harinya, Arman datang ke rumah Reza, untuk meminta maaf. Ia tahu, untuk kembali pada jalan yang benar, ia harus melepaskan egonya dan belajar untuk lebih rendah hati.