Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kekalahan Kamala Harris: Sebuah Fenomena Politik, Filosofis, dan Sosial

6 November 2024   20:16 Diperbarui: 6 November 2024   20:19 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Apa yang menyebabkan kekalahan Kamala Harris dalam Pemilu Presiden 2024?

Meskipun berbagai faktor dapat dijadikan alasan, dua isu utama yang muncul dalam analisis Profesor Hikmahanto Juwana adalah ketidakpuasan pemilih terhadap pemerintahan Joe Biden dan ketidaktegasan Kamala Harris terhadap isu-isu luar negeri, khususnya terkait Israel.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan dinamika politik saat ini, tetapi juga mengungkapkan ketegangan mendalam dalam kehidupan berpolitik, pemerintahan, dan hubungan internasional.

Perspektif Politik

Dalam politik, pemilu sering kali bukan hanya soal siapa yang menawarkan platform terbaik, tetapi juga soal siapa yang mampu mengatasi ketidakpuasan publik terhadap status quo.

Seperti yang diungkapkan oleh Profesor Hikmahanto, salah satu faktor utama kekalahan Kamala Harris adalah ketidakpuasan pemilih swing voter yang merasa tidak mendapatkan hasil yang mereka harapkan selama pemerintahan Biden.

Ini merupakan bentuk ketidakpuasan yang dikenal dalam teori politik sebagai alienation, di mana pemilih tidak merasa terwakili atau didengarkan oleh pemerintah yang ada. Ketidakpuasan ini membuka celah bagi lawan politik, seperti Donald Trump, yang berupaya menggiring pemilih yang kecewa dengan kebijakan dalam negeri yang dianggap stagnan.

Konsep realpolitik yang diperkenalkan oleh Carl Schmitt menjelaskan bahwa dalam politik, pragmatisme seringkali lebih menentukan daripada nilai-nilai idealis.

Bagi banyak pemilih, Trump menawarkan solusi yang lebih tegas dibandingkan dengan pendekatan Biden yang cenderung lamban dalam merespons berbagai masalah.

Perspektif Filsafat

Dari perspektif filsafat, kita dapat memandang kekalahan Kamala Harris sebagai suatu kegagalan dalam memenuhi kontrak sosial yang dijanjikan kepada rakyat. Konsep ini, yang dikembangkan oleh pemikir seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau, menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk memperbaiki kehidupan rakyat dan jika gagal, rakyat berhak menarik dukungan mereka.

Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Biden, terutama dalam aspek perubahan sosial dan ekonomi, memperburuk ketidaktegasan dalam keputusan politik yang diterima masyarakat. Hal ini menciptakan ruang bagi oposisi untuk memanfaatkan ketidakpastian tersebut. Filsuf Michel Foucault, dalam teorinya mengenai kekuasaan, menunjukkan bagaimana kekuasaan dalam politik tidak hanya terletak pada posisi jabatan formal, tetapi juga pada pengaruh yang dibangun melalui persepsi publik.

Dalam hal ini, sikap Harris yang dianggap lebih moderat dalam mendukung Israel justru mengurangi dukungan dari kelompok-kelompok berpengaruh, terutama komunitas Yahudi yang memiliki pengaruh signifikan dalam dunia finansial dan politik.

Perspektif Teori Ekonomi dan Sosial

Teori ekonomi politik juga memberikan wawasan mengenai bagaimana kekalahan Harris dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan ekonomi. Konsep pluralisme yang dikemukakan oleh Robert Dahl menekankan bahwa dalam demokrasi, kekuasaan terdistribusi di antara berbagai kelompok kepentingan.

Dalam konteks ini, kekurangan dukungan dari komunitas Yahudi, yang memiliki pengaruh besar dalam dunia finansial Amerika, menjadi salah satu faktor kunci kekalahan Harris.

Teori elitisme yang dikembangkan oleh C. Wright Mills lebih lanjut menjelaskan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan segelintir elit yang mengontrol sumber daya utama---baik itu finansial maupun politik.

Ketegangan ini tercermin dalam kurangnya dukungan finansial yang seharusnya mengalir ke kampanye Kamala Harris, yang menjadi semakin terbatas akibat ketidakmampuannya untuk merangkul kelompok-kelompok elit tersebut.

Kesimpulan

Kekalahan Kamala Harris dalam Pemilu 2024 merupakan hasil dari berbagai faktor yang saling berkaitan---mulai dari ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah, ketegangan dalam hubungan luar negeri, hingga dinamika kekuasaan yang lebih kompleks.

Melalui perspektif politik, filsafat, dan teori ekonomi, kita dapat memahami bagaimana kebijakan dalam negeri yang lamban, ketidaktegasan dalam sikap terhadap Israel, dan kegagalan dalam membangun koalisi yang kuat dapat mempengaruhi jalannya pemilu.

Bagi Kamala Harris, kekalahannya mencerminkan bahwa dalam politik, bukan hanya ideologi dan kebijakan yang menentukan, tetapi juga bagaimana sebuah pemimpin mampu mengelola harapan rakyat dan merangkul berbagai kelompok kepentingan untuk mendapatkan dukungan yang dibutuhkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun