Perspektif Filsafat
Dari perspektif filsafat, kita dapat memandang kekalahan Kamala Harris sebagai suatu kegagalan dalam memenuhi kontrak sosial yang dijanjikan kepada rakyat. Konsep ini, yang dikembangkan oleh pemikir seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau, menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk memperbaiki kehidupan rakyat dan jika gagal, rakyat berhak menarik dukungan mereka.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Biden, terutama dalam aspek perubahan sosial dan ekonomi, memperburuk ketidaktegasan dalam keputusan politik yang diterima masyarakat. Hal ini menciptakan ruang bagi oposisi untuk memanfaatkan ketidakpastian tersebut. Filsuf Michel Foucault, dalam teorinya mengenai kekuasaan, menunjukkan bagaimana kekuasaan dalam politik tidak hanya terletak pada posisi jabatan formal, tetapi juga pada pengaruh yang dibangun melalui persepsi publik.
Dalam hal ini, sikap Harris yang dianggap lebih moderat dalam mendukung Israel justru mengurangi dukungan dari kelompok-kelompok berpengaruh, terutama komunitas Yahudi yang memiliki pengaruh signifikan dalam dunia finansial dan politik.
Perspektif Teori Ekonomi dan Sosial
Teori ekonomi politik juga memberikan wawasan mengenai bagaimana kekalahan Harris dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan ekonomi. Konsep pluralisme yang dikemukakan oleh Robert Dahl menekankan bahwa dalam demokrasi, kekuasaan terdistribusi di antara berbagai kelompok kepentingan.
Dalam konteks ini, kekurangan dukungan dari komunitas Yahudi, yang memiliki pengaruh besar dalam dunia finansial Amerika, menjadi salah satu faktor kunci kekalahan Harris.
Teori elitisme yang dikembangkan oleh C. Wright Mills lebih lanjut menjelaskan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan segelintir elit yang mengontrol sumber daya utama---baik itu finansial maupun politik.
Ketegangan ini tercermin dalam kurangnya dukungan finansial yang seharusnya mengalir ke kampanye Kamala Harris, yang menjadi semakin terbatas akibat ketidakmampuannya untuk merangkul kelompok-kelompok elit tersebut.
Kesimpulan
Kekalahan Kamala Harris dalam Pemilu 2024 merupakan hasil dari berbagai faktor yang saling berkaitan---mulai dari ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah, ketegangan dalam hubungan luar negeri, hingga dinamika kekuasaan yang lebih kompleks.