Kemarin, saya dan istri memutuskan untuk menonton film bersama. Dengan syarat sederhana, ia berkata, "Mas, kali ini aku yang pilih filmnya, ya." Saya mengangguk, tanpa terlalu memikirkan pilihan filmnya. Akhirnya kami menonton film yang sedang banyak diperbincangkan: "SORE."
Sebelum film dimulai, istri saya memberi peringatan kecil, "Mas, nanti jangan tidur ya." Seakan-akan ia sudah tahu bahwa saya sering merasa bosan dengan film drama romantis. Namun siapa sangka, film ini justru membalik ekspektasi saya. SORE bukan sekadar kisah cinta biasa; ia adalah film yang menantang logika waktu, menohok perasaan, sekaligus menghadirkan pertanyaan filosofis yang jarang saya temui di film Indonesia.
1. Pembuka yang Provokatif: Cinta, Masa Depan, dan Misteri Waktu
Dari awal, film ini sudah memancing rasa ingin tahu. Karakter Sore muncul dengan pengakuan yang aneh namun menggugah: "Aku istrimu, Jonathan. Aku datang dari masa depan."
Bagaimana mungkin seseorang dari masa depan bisa hadir di masa sekarang? Apakah film ini berbicara secara literal tentang perjalanan waktu (time travel), ataukah ini hanya metafora?
Pertanyaan itu berputar di kepala saya sepanjang babak pertama film. Rasa bingung bercampur dengan rasa penasaran. Sejujurnya, di menit-menit awal, saya sempat kesal dengan karakter Sore yang terkesan terlalu to the point---mengaku istri dari Jonathan yang jelas-jelas sedang bersama pacarnya, Elsa. Tapi, di balik kekesalan itu, muncul rasa kagum karena karakter Sore digambarkan penuh keyakinan, seolah ia tahu semua jalan cerita yang akan terjadi.
Film ini, pada tahap awal, sudah memprovokasi penonton untuk bertanya:
Apakah cinta dapat melampaui dimensi waktu?
Jika seseorang tahu masa depan, apakah ia berhak mengubahnya?
2. Emosi yang Mengalir, Menyusup ke Ruang Paling Dalam
Semakin jauh cerita berjalan, saya merasa film ini berhasil memecah dinding antara logika dan emosi. Ada dua adegan yang benar-benar membuat saya tersentak dan merasa sesak.