Mohon tunggu...
Khairul Anam
Khairul Anam Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Seorang pembelajar sejati
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hina ketika mencari, mulia ketika di cari

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Soal Vaksin Covid-19, Tinggal Warga Menyingsingkan Lengan Baju Bersama

23 Desember 2020   21:38 Diperbarui: 23 Desember 2020   21:53 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ini merupakan tulisan saya sendiri yang telah dimuat beberapa media nasional, dan saya bersumpah serta bertanggungjawab sepenuhnya terkait hak cipta dari tulisan ini seutuhnya.

Dulu, di zaman awal-awal internet memasuki kehidupan kita, manakala perlu waktu berjam-jam hanya untuk mengunduh sebuah gambar manusia utuh, saya berpikir alangkah nikmatnya bila semua warga punya akses cukup untuk menjangkau internet. Dan pasti, seiring waktu, kecepatan internet akan terus bertumbuh.  

Alangkah senangnya bisa membaca warta dari berbagai belahan dunia. Betapa senang mengetahui informasi kemajuan dari segala penjuru dengan cepat, dengan peluang untuk bisa melakukannya pada saat warga negara tempat warta itu dipublikasikan pun membacanya. 

Dunia menjadi mengecil hingga tinggal laiknya kampung sebagaimana kata filosof dan teorisi media Marshall McLuhan, tempat orang bisa saling tahu dan intip kebiasaan sesamanya di negeri lain. Dunia pun tak akan lagi punya batas, kata Kenichi Ohmae, seiring tak adanya lagi sekat-sekat pengetahuan antarbudaya-antarnegara.

Kala itu saya memimpikan bisa mengucapkan selamat tinggal era pada manakala orang Flores dan Yokohimo hanya bisa membaca surat kabar seminggu setelah tanggal penerbitannya!

Ketika itu saya yakin, pada saat itulah cakrawala pengetahuan semua warga negara akan nyaris sama. Mereka pada-pada tahu karena akses pengetahuan dan bacaan pun terbuka sama luasnya, satu sama lain. Kala itu saya optimistis, tak akan ada lagi peluang buat para penipu membodohi sesama dengan wacana ganjil yang akan terdengar rasional seiring keterbatasan komunikan yang memirsanya.

Ternyata, manakala saya sudah tiba pada era itu, pada saat ini, keyakinan saya ambrol seluruhnya.  Bangunan optimisme bahwa semua orang akan tercerahkan dan pandai, yang menutup rapat peluang saling membodohi itu pun ambyar berantakan.

Yang lebih membuat miris, kepercayaan kepada institusi-institusi kenegaraan, yang dulu kokoh kuat dan terhormat, kini kondisinya wajar membuat kita semua takut dan kuatir. Serbuan hoaks dan kabar bohong yang datang bergulung tak tanggung-tanggung, menggerogoti kepercayaan warga. Kepercayaan mereka kepada lembaga-lembaga sah dan terhormat. Bahkan kepercayaan antara warga, satu sama lainnya.

Saya menemukan itu pada momen ketika Presiden Joko Widodo mengatakan kepada publik bahwa dirinya akan menjadi orang pertama di negeri ini yang menggunakan vaksin Covid-19, dan untuk itu pula beliau akan menjadi orang pertama yang disuntik.

Saat itu, kepada para pedagang dan pelaku UMKM dalam rangka pembagian bantuan modal kerja (BMK) di Istana Kepresidenan, Bogor, Jumat (18/12), Presiden Jokowi bertanya, "Yang hadir di sini ada yang ingin divaksin? Ada yang ingin disuntik vaksin? Mau?" tanya Jokowi. Semua warga Indonesia bisa mengakses momen tersebut karena ditayangkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Mendengar pertanyaan Jokowi, tidak ada satu pun pedagang yang menjawab atau mengacungkan jari. Jokowi, dalam mimik yang tak mampu menyembunyikan keheranannya, mengulangi pertanyaannya. "Enggak ada yang mau? Gimana sih? Takut apa?" kata Jokowi.

Jokowi sangat-sangat wajar heran. Bagaimana mungkin, dalam ketakutan akan sergapan Covid yang telah menjadi pandemi sejak setahun lalu, yang telah merenggut nyawa puluhan ribu orang di Indonesia dan jutaan di dunia hingga hari ini, orang-orang justru takut manakala ditawari untuk divaksin? Kenapa yang ada bukan berebutan antusias untuk menjadi orang pertama yang disuntik dan akhirnya kebal dari ancaman Covid?

Lagi-lagi, para pedagang tidak menjawab. Hanya tampak beberapa orang tersenyum dari balik masker yang mereka kenakan.

Jokowi kembali bertanya kepada mereka. Kali ini dia menegaskan, apakah ada di antara pedagang itu yang tidak mau divaksin Covid-19. "Yang tidak mau divaksin siapa? Ada? Ada ndak di sini yang tidak mau divaksin?" kata Presiden.

Pertanyaan terakhir dari Jokowi ini pun tidak mendapat jawaban dari pedagang yang hadir.

Pada saat itulah Jokowi kemudian memberi penegasan bahwa dia bersedia menjadi yang pertama disuntik vaksin Covid-19. Dia pun menyebutkan alasannya.

"Saya sudah menyampaikan, saya nanti yang akan divaksin pertama kali. Di Indonesia ini saya yang pertama kali untuk menunjukkan bahwa divaksin itu tak apa-apa," kata Jokowi.

Menurut dia, jika semuanya sudah divaksin, maka kondisi kehidupan bisa kembali normal.

Tentu saja apa yang dilakukan Presiden Jokowi adalah perbuatan mulia. Ia mau memberikan di satu sisi keteladan sebagai seorang pemimpin. Di sisi lain, Presiden pun dengan niatnya itu hendak memberikan bukti nyata bahwa divaksin Covid-19 itu tidak apa-apa.

"Di Indonesia ini saya yang pertama kali, untuk menunjukkan bahwa divaksin tidak apa-apa. Sehingga nanti kalau semua nanti sudah divaksin, ya artinya kita sudah kembali normal lagi," kata Presiden.

Saya tidak tahu apakah teori lama tentang kuatnya ikatan patron-klien di masyarakat Indonesia zaman dulu, masih ada dan relevan di saat ini. Tetapi apa yang dilakukan Presiden Jokowi teraplah sebuah teladan yang menggembirakan, di tengah masih adanya sebagian kecil masyarakat yang cenderung apriori tentang vaksin, bahkan menolaknya.

Hal itu dengan tegas dinyatakan Presiden sendiri. "Saya harapkan semuanya mau, tidak ada yang menolak. Karena apa? vaksin itu juga sudah diikuti oleh MUI, sudah oleh Kementerian Agama sampai di pabrik. Ya diikuti. Dan nanti apa dari MUI juga akan mengeluarkan mengenai apa kehalalan dari vaksin itu. Jadi sudah," ujar Presiden.

Ini tentu bukan pekerjaan kecil di tengah segala hambatan, terutama berseliwerannya berita-berita yang meragukan, atau bahkan hoaks, tentang vaksin. Perlu sedikitnya 67 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia, atau 182 juta penduduk yang divaksin untuk membuat vaksinasi bisa berjalan efektif. Hanya dengan jumlah itulah apa yang disebut 'kekebalan kawanan' bisa terbentuk, sehingga Covid-19 pun musnah.

Presiden sendiri menyadari hal itu. "Itu perlu sebanyak 182 juta penduduk. Bayangkan, banyak sekali. Memerlukan waktu untuk menyuntik satu-satu," kata Presiden.

Yang lebih menggembirakan adalah manakala vaksinasi itu diberlakukan gratis. Tegasnya, tanpa bayar, bahkan tanpa harus lebih dulu menjadi anggota BPJS.  Jokowi menampik langsung isu yang berkembang bahwa vaksin Corona gratis hanya untuk peserta BPJS Kesehatan.

"Tidak ada kaitannya dengan anggota BPJS. Kan ada isu itu yang divaksin hanya memiliki kartu BPJS. Tidak. Semuanya, seluruh warga bisa mengikuti vaksinasi," ujarnya.

Kini, sebenarnya yang masih harus dibuktikan adalah kecintaan kita, warga negara, terhadap nasib negeri ini. Bila negara sudah memberikan vaksin itu gratis tanpa bayar, Presiden pun sudah bersedia menjadi orang pertama yang divaksin untuk membuktikan keamanannya, kapan warga negara akan berbondong-bondong menyingsingkan lengan baju?

Bukan untuk berperang melawan penjajah dari negeri lain. Tetapi untuk membuktikan kecintaan dan kepedulian akan nasib negeri ini. Untuk mencapai 67 persen atau lebih penduduk yang divaksin; untuk membangun kekebalan kawanan yang membuat perjuangan dan biaya bergunung-gunung selama ini tak hilang ambyar tanpa menuntaskan tujuan: membebaskan negeri ini dari cengkeraman pandemi Corona. [ ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun