Baru-baru ini, publik media sosial di Indonesia dikejutkan oleh terbongkarnya sebuah grup tertutup di Facebook yang secara terang-terangan membagikan konten bertema fantasi sedarah. Grup tersebut berisi ribuan anggota yang aktif memposting cerita erotis dan ilustrasi berbau inses, meskipun diklaim hanya sebatas fiksi. Temuan ini memicu perdebatan panjang tentang batas antara imajinasi pribadi, penyimpangan, dan tanggung jawab platform digital.
Ketika Imajinasi Berkumpul Tanpa Filter
Setiap orang punya fantasi. Namun, ketika fantasi yang menyimpang, seperti hubungan seksual antar anggota keluarga dipertontonkan dan didiskusikan secara terbuka dalam satu komunitas maya, persoalannya tidak lagi sederhana. Apalagi jika komunitas itu tidak sekadar berbagi, tapi juga saling menyemangati dan membenarkan perilaku tersebut.
Grup semacam itu menciptakan ruang validasi bersama. Anggotanya merasa "diterima", tidak dihakimi, dan bebas mengekspresikan isi pikiran mereka. Di sinilah bahayanya: normalisasi fantasi menyimpang bisa menciptakan bias moral, memperkuat keyakinan keliru, bahkan mendorong perilaku yang merugikan orang lain.
Sisi Duka di Balik Kebebasan Ekspresi
Kita tidak bisa menutup mata bahwa ada sisi psikologis yang perlu diperhatikan. Sebagian orang mungkin bergabung dalam grup tersebut bukan karena ingin melakukan tindakan menyimpang, tapi karena mengalami konflik batin, trauma, atau rasa kesepian. Sayangnya, alih-alih mencari bantuan profesional, mereka justru larut dalam komunitas yang menjerumuskan.
Lebih berbahaya lagi, ruang semacam ini sangat rawan dimanfaatkan oleh predator seksual. Tidak sedikit kasus kekerasan seksual yang bermula dari komunitas daring yang tampak "tidak berbahaya". Kita harus menyadari bahwa internet bukan hanya dunia maya, tapi ruang nyata yang bisa berdampak pada kehidupan fisik dan psikologis manusia.
Tanggung Jawab Facebook dan Platform Digital
Kejadian ini juga membuka pertanyaan tentang sejauh mana Facebook menjalankan tanggung jawabnya. Grup tersebut aktif cukup lama sebelum akhirnya terdeteksi. Ini menunjukkan bahwa sistem moderasi konten masih lemah. Platform sebesar Facebook seharusnya memiliki algoritma dan tim yang bisa mendeteksi potensi pelanggaran sejak dini.
Penindakan tegas tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah perbaikan sistemik dari kebijakan internal hingga pelibatan komunitas dalam mengawasi konten yang meresahkan.
Solusi: Edukasi, Konseling, dan Literasi