Mohon tunggu...
Renita Yulistiana
Renita Yulistiana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan

I wish I found some better sounds no one's ever heard ❤️😊

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Perempuan, Karir, dan Pendidikan

13 Juni 2021   21:40 Diperbarui: 15 Juni 2021   05:15 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Belum lama ini, kabar mengagumkan datang dari Maudy Ayunda yang resmi mengantongi tiga gelar sekaligus di belakang namanya. 

Satu diperolehnya dari Oxford Unviersity saat lulus S1 dan dua gelar diperolehnya dari Stanford University, yang menempati peringkat kedua universitas terbaik dunia versi QS World University Ranking tahun 2021. Sudah pasti menjadi kebanggaan keluarga.

Setiap keluarga pasti sepakat jika pendidikan adalah sesuatu yang penting. Tapi, tidak semua keluarga membangun lingkungan dan meletakkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. 

Sebagian dari mereka, mungkin mendambakan anak yang memiliki kestabilan finansial ketimbang gelar yang panjang. 

Keduanya tidak salah, sebab setiap keluarga memiliki daya juangnya sendiri. Lagipula,  anak yang tidak memiliki gelar atau tidak sekolah tinggi--bukan berarti tidak memiliki kemampuan apa-apa kan?

Saya adalah salah satu produk di atas, tumbuh dalam keluarga yang tidak concern dengan pendidikan. 

Untung, saya diberikan kepekaan tinggi dan dapat membaca kalau persaingan akademik sangatlah sengit--karena bukan berasal dari keluarga kaya, jadi saya harus pintar, agar dapat sekolah negeri dengan biaya yang lebih murah. 

Sedari dulu, saya sudah terbiasa mengikuti seleksi beasiswa. Yayasan Pengembangan Anak Indonesia (YPAI) adalah beasiswa pertama yang saya dapatkan di tahun 2000 hingga lulus SD. 

Kemudian, di tahun 2005 saya berhasil masuk SMP negeri di Jakarta dan bertepatan dengan kebijakan pembebasan biaya SPP hingga saya lulus. 

Pada tahun 2008, saya kembali mendapatkan SMA negeri--tapi sayang, kali ini berbayar: uang gedung, SPP, buku tahunan, dan perpisahan. 

Pikir saya kala itu, masuk dulu sajalah, toh mau sekolah di mana lagi? Hingga akhirnya saya berhasil lolos Beasiswa Terpadu (BEST) Elnusa--walaupun tidak sepenuhnya.

Bolak balik ke ruang Tata Usaha dan Guru BK semasa SMA adalah hobi saya. Bukan karena saya nakal, tapi setiap jelang Ujian Tengah Semester (UTS) ataupun Ujian Akhir Sekolah (UAS) saya harus lakukan negosiasi untuk meminta kartu ujian selama saya masih menunggak SPP--tanpa dampingan orangtua. 

Para wali kelas sudah hapal dengan rutinitas ini, mereka bilang "saya itu pintar, cuma nasib kurang beruntung saja." Yap, di saat siswa lain pusing memikirkan materi ujian. Saya malah pusing bagaimana cara untuk mendapat kartu ujian tanpa harus bayaran.

Sayangnya, usai lulus SMA 2011. Keberuntungan tidak berpihak pada saya: gagal SNMPTN undangan, gagal SNMPTN tulis, dan tidak lolos seleksi beasiswa PLN. 

Tapi, saya nekat saja untuk mendaftar kuliah di salah satu kampus swasta di Jakarta--sambil bekerja dan lulus tepat waktu dengan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.). 

Perjuangannya luar biasa sekali, selama 4 tahun saya baru merasakan hidup yang benar-benar hidup. Pola tidur tidak karuan, jual apa saja yang bisa dijual, kejar target penjualan agar dapat bonus untuk membayar sidang skripsi. 

Tidak berhenti di situ, setelahnya saya dihantam hadapi persaingan ijazah di dunia kerja. Beberapa kali, saya harus rela ditolak perusahaan dan sekolah--karena kalah pamor dengan pelamar ijazah Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Di titik itu, saya pernah menyerah dan mencoba untuk daftarkan diri sebagai ojek online serta pegawai Bus Transjakarta. Namun, saya urungkan karena beberapa protes dari orang terdekat--akibat saya perempuan

Alhasil, saya terima apapun pekerjaan yang menghampiri. Mulai dari telemarketing, staff admin bimbingan belajar, freelancer kantor penerbitan buku, back office perbankan, dan akhirnya saya bisa menjadi bagian yayasan sosial di tahun 2019.

Sejak itulah, saya mulai mendapatkan zona nyaman. Meskipun, beberapa teman menganggap saya gila karena lebih memilih kerja sosial dibanding stay di perbankan. 

Sebagai perempuan, kisah hidup seperti ini kadang membuat kurang nyaman. Terbiasa mencari solusi dan mengatasnamakan idealis, dapat menimbulkan anggapan keliru sering menghampiri. 

"Lu sih terlalu independen", "Makanya minta tolong, jangan sok single fighter", "Apa aja bisa lu atasin, ya wajar deh kalo pada takut."

Dalam hal pengembangan karir, saya sering lakukan aktivitas membaca jurnal, berita, menulis opini, dan cari info terbaru soal pendidikan--di samping itu, saya juga sedang berjuang menyelesaikan beasiswa lanjutan S2. 

Hal ini bertujuan untuk meng-upgrade dan melatih konsistensi diri agar lebih produktif dan solutif. Namun, situasi ini membuat saya lebih kritis akan suatu hal, hingga anggapan keliru pada part ini juga terjadi. 

"Makanya, jadi perempuan tuh jangan pinter-pinter", "Aduh buang waktu aja kuliah lagi, udah umur segini mah harusnya nikah", "Hobi lu kritik pendidikan terus, emang lu udah ngapain aja?", "Yah kuliah lagi, pada minder deh nanti".

Perempuan, karir, dan pendidikan--sebuah kesempatan yang tidak selalu berujung hal mengesankan. Tapi, kalau kata mentor saya--hal seperti ini bukan alasan untuk stop sebuah mimpi, yang mungkin kita sudah menyerah dengan mimpi itu. Ketika mimpi itu tiba-tiba datang ke kita secara langsung, kenapa kita gak ambil?

Renita Yulistiana
Depok, Juni 2021
Calon Kepala Sekolah! Yakin Bisa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun