Puncak Gunung Mutis tak kelihatan. Samar tertutup awan tebal. Jarak pandang sulit diterobos pandangan mata kosong, rapat seperti suasana hati dua insan yang sudah lama saling berseberangan jalan.
Semilir angin gunung turun membelai wajah-wajah ayu perkampungan sekitar, menyejukkan hati yang membara oleh kerasnya permainan hidup. Matahari sudah meninggi tapi orang-orang masih berselimut rapat mencari kehangatan. Jaga jarak menjadi kendala untuk dingin sebesar ini.Â
Air mengalir, dingin sekali, sepeeti dinginnya air es. Tidak ada yang berani menyentuh meski hanya untuk membasuh wajah kusut.Â
Tungku api bernyala. Orang-orang mengelilinginya. Juga anjing-anjing tidak mau kalah bersaing. Bahkan hampir-hampir ada yang rebah di bibir api dengan lidah menjulur merah.Â
Hari-hari ini tiada banyak kegiatan. Hidup seperti berhenti berputar. Mengunjungi tetangga saja pun tidak.Â
Puncak Gunung Mutis pun belum kasat mata. Awan hitam masih betah bermain-main di sana. Entah sampai kapan. Tinggal jiwa rebah dalam dekapan waktu yang terus mengalir. Berlalu dan takkan kembali.Â