Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Wonderful Indonesia: Heritage of Toba dalam Balutan Keindahan Alam dan Budaya Batak yang Saya Kenal

26 September 2021   09:52 Diperbarui: 26 September 2021   09:58 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panorama danau Toba yang indah saat petang. (Sumber: Via Kemenparekraf) 

Jauh sebelum ditetapkan sebagai salah satu UNESCO Global Geo Park (Taman Bumi Warisan Dunia) pada Juli 2020 yang lalu, DSP Toba sudah mencuri perhatian dengan keindahan pesona alam beserta kearifan lokalnya.

Saya sendiri sudah beberapa kali berkunjung ke danau Toba. Perjalanan saya menuju ke sana—selalu—saya tempuh dengan darat dan terakhir kali saya lakukan bersama keluarga pada Februari 2015. 

Saat itu saya beserta keluarga sengaja memilih pulang kampung untuk ziarah ke makam almarhumah ibu; membawa mobil sendiri membawa keuntungan yang banyak, selain lebih bebas ke sana-sini, juga lebih hemat ongkos tentunya. Tujuan lain dari pulang kampung kami selain ziarah, tentu saja berwisata.

Selain melalui jalur darat, perjalanan menuju kawasan danau vulkanik terbesar di dunia ini sebenarnya bisa pula melalui jalur udara meski pada akhirnya akan ditempuh lagi dengan perjalanan darat.

Teknis rutenya, setibanya di bandara Kualanamu di Medan, kita akan melakukan penerbangan lagi menuju bandara Sisingamangaraja XII (dulu bernama bandara Silangit) yang ada di Siborongborong, Tapanuli Utara, untuk kemudian menghabiskan waktu kurang lebih dua jam perjalanan darat menuju kawasan danau Toba.

Pulau wisata yang bernama Samosir.

Selain menikmati keindahan danau Toba yang memanjakan mata, banyak tempat pula yang bisa dikunjungi. Satu di antaranya adalah pulau Samosir yang berada tepat di tengah-tengah danau Toba.


Di Samosir ada desa wisata yang bernama Tomok. Untuk menuju ke sana, kita akan menyebrangi danau menggunakan kapal feri. Tiketnya dapat dibeli di pelabuhan Ajibata yang ada di Parapat.

Rumah adat Batak dengan bentuk dan ornamennya yang khas. (Sumber: Via Kompas.com) 
Rumah adat Batak dengan bentuk dan ornamennya yang khas. (Sumber: Via Kompas.com) 

Saya masih ingat, beberapa saat setelah kapal meninggalkan pelabuhan, akan ada beberapa anak-anak yang bersedia menyelam di air danau untuk mengambil uang koin yang sengaja dilemparkan para penumpang kapal. Saya tidak tahu apakah hal itu masih ada hingga sekarang, atau tidak.
Sebelum kapal berangkat, bisa pula kita jumpai para penjaja telur rebus atau kacang-kacangan yang dengan semangat merayu pembeli—bahkan tanpa sungkan menggunakan bahasa Batak.

Sesampainya di Tomok, saya disambut dengan banyaknya para penduduk lokal yang menjual cinderamata seperti ukiran-ukiran yang terbuat dari kayu, ragam syal ataupun kaos yang bertuliskan Lake Toba, dan lain sebagainya.

Deretan warung-warung kopi juga ada di Tomok—ataupun di sekitar danau Toba.
Bagi para pencinta kopi, merasakan sensasi kopi Lintong atau kopi Sidikalang ditemani hawa sejuk cenderung dingin dari danau yang berada 900 meter dpl akan menjadi kenikmatan tersendiri. Saya sendiri sudah membuktikannya.

Tak lepas dari budaya Batak.

Destinasi ini—yang pula digaungkan melalui Heritage of Toba—tentu saja tak lepas dari budaya Batak. Dan sebagai perempuan dari suku Batak, saya patut berbangga.

Suku Batak sendiri terbagi enam etnis di antara lain Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pak-Pak, Batak Angkola dan terakhir Batak Mandailing.

Budaya Batak akan sangat kental ditemui, termasuk di pulau Samosir.
Saat itu, saya—beserta keluarga—singgah di satu rumah adat Batak Toba yang berusia ratusan tahun yang masih kokoh, rapi serta terawat. Rumah adat Batak Toba sendiri berbentuk panggung dan terbuat dari kayu.

Masih di lokasi yang sama dengan rumah adat Batak tadi—dengan Ulos yang saya selempangkan di bahu kiri, saya pun menari Tor-tor. Saya menarikan tarian kebanggaan ini bersama boneka kayu Sigale-gale dan para pelancong lain yang diiringi musik khas Batak. Pemandu wisata setempat pun ikut menari bahkan salah satu di antara mereka akan menjadi pemimpin tarian sembari bersorak-sorak membangkitkan semangat—seperti demikian pula lah yang lazimnya orang Batak lakukan kalau menari. Selalu heboh.

Alunan gondang Batak entah mengapa selalu saja dapat membius saya sehingga kadang tanpa sadar membuat tubuh saya tanpa sadar bergoyang ria, minimal menghentakkan kaki.

Ukiran Gorga Batak dalam nuansa kombinasi warna putih, merah, dan hitam. (Sumber: Prepona info) 
Ukiran Gorga Batak dalam nuansa kombinasi warna putih, merah, dan hitam. (Sumber: Prepona info) 

Mitosnya, Sigale-gale bisa menari dan meratap meskipun tanpa diiringi musik. Orang Batak percaya boneka kayu tersebut dapat mengantarkan roh anggota keluarga yang telah meninggal agar selamat menuju ke alam baka.

Di Samosir pula saya mengunjungi makam ketiga raja Sidabutar dan mendengarkan secara langsung riwayat ketiga raja tersebut dari juru kunci makam. Ketiga makam itu terbuat dari batu yang kita kenal juga dengan istilah sarkofagus. Sayang sekali foto-foto dokumentasi pribadi selama saya berada di makam ini—juga di pulau Samosir—tak sengaja terhapus di file hardisk laptop saya. Saya nelangsa sekali karena kejadian itu.

Namun, jelas masih segar di ingatan saya ketika saya keluar makam, saya melewati Gorga Batak berbentuk Cicak dan empat payudara yang terpahat dan dilukis di sebuah gapura yang terbuat dari kayu.

Warna-warna seperti putih, merah dan hitam dengan mudah dilihat pada setiap ukiran kayu khas Batak; ketiganya adalah warna dasar yang digunakan masyarakat Batak pada rumah-rumah mereka—dulu hingga sekarang. Ompung boru saya (sebutan nenek bagi suku Batak) pernah berkata putih, merah dan hitam adalah simbol dari dunia atas (yang menyangkut Tuhan), dunia tengah (yang menyangkut manusia) dan dunia bawah (dunia orang mati). 

Hewan cicak sendiri dalam filosofi Batak digambarkan sebagai hewan yang bisa bertahan di manapun dia berada; dan itu rasanya pas untuk menggambarkan orang Batak yang juga mampu beradaptasi dengan sistem kekerabatan yang solid di manapun mereka tinggal (terlebih lagi di tanah rantau, yang pertama kali dicari orang Batak adalah saudara satu sukunya—yang dari obrolan pada pertemuan pertama biasanya orang Batak akan mencari silsilah terdekat dari keluarganya dengan keluarga barunya di tanah rantau tersebut yang kemudian digunakan untuk menentukan penyebutan di antara mereka seperti penyebutan untuk memanggil tulang, bapatua-inangtua, bapauda-inanguda, amangboru-namboru, atau lae, appara, dll).

Empat payudara sendiri melambangkan kesucian, kesabaran, kesuburan dan kekayaan bagi masyarakat Batak.

Ulos

Berwisata ke salah satu destinasi terbaik Wonderful Indonesia seperti danau Toba, tak lengkap rasanya jika tidak membeli Ulos yang banyak dijual oleh para pedagang lokal di sana.

Ulos sendiri adalah kain tenun khas Batak. Sebagai orang Batak saya tahu, Ulos tak sekadar kain melainkan juga sebagai cara "lain" menunjukkan rasa  kasih sayang dan penghormatan. Penggunaannya sendiri "selalu" hadir di tiap acara-acara penting seperti pesta pernikahan, kematian, penyambutan tamu, atau acara adat lainnya.

Meski tak jauh-jauh berkendara dengan mobil saat itu, tapi saya—dan keluarga—menyempatkan diri melihat pulau Samosir dari dekat. Dari sana saya tahu, bahwa mata pencaharian utama penduduk setempat—hampir sebagian besar orang Batak dahulunya bahkan hingga sekarang—adalah bertani; sawah dan ladang akan dengan mudahnya ditemukan di kanan-kiri.

Danau Toba sebagai Destinasi Super Prioritas bersama dengan Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo dan Likupang diharapkan akan jauh lebih berkembang setelah dicanangkannya MICE (Meeting, Incentives, Conferencing, Exhibitions) karena dengan MICE di Indonesia Aja wisatawan akan banyak berdatangan dan itu akan berimbas pada peningkatan ekonomi di sektor lokal.

Pos Wisata dan Pamong.

Selain perbaikan sarana dan prasarana baik akomodasi serta penyediaan transportasi yang lebih baik lagi, saya rasa perlu pula ada terobosan-terobosan lain yang jadi pembeda "khusus" di masa mendatang seperti disediakannya pos-pos wisata yang tersebar di beberapa lokasi-lokasi sentral yang ada di sekitar kawasan danau Toba—berikut pamong-pamongnya.

Fungsi pos dan pamong ini kurang lebih seperti tempat wisatawan bertanya sehingga wisatawan tidak kebingungan untuk menjelajahi spot-spot yang ingin mereka kunjungi.

Tentu saja pamong-pamong tersebut diharapkan juga mahir menggunakan bahasa Inggris mengingat wisatawan yang datang tak hanya berasal dari Indonesia tetapi juga dari mancanegara.

Tote Bag ramah lingkungan.

Terobosan lain adalah penggunaan tote bag. Saya memasukkan gagasan ini mengingat banyaknya sampah di sepanjang perjalanan saya menuju kawasan danau Toba ketika itu.

Langkah awal bisa dimulai dengan tindakan persuasif terlebih dahulu terhadap para pelaku wisata, misalnya seperti pada para pedagang lokal—yang untuk kemudian diteruskan ke para wisatawan yang datang. 

Dengan kata lain, para wisatawan "diwajibkan" membawa tote bag-nya sendiri. Para wisatawan bisa mendapatkannya dengan membeli atau menyewa di tempat penyewaan yang telah disediakan.

Fungsi tote bag ini untuk menggantikan kantong plastik yang membawa barang-barang para wisatawan sepanjang mereka melakukan perjalanan wisata, termasuk pula sampah makanan atau minuman yang tak sempat dibuang ke tempat sampah.

Perbanyak pula kotak-kotak sampah yang disertai tulisan "Jangan Buang Sampah Sembarangan di Kawasan Danau Toba" sebagai kampanye "diam" demi menjaga kebersihan.

Harga Tertinggi untuk Cinderamata.

Berkaca dari pengalaman, gagasan ini saya rasa penting karena cinderamata adalah sesuatu yang sepertinya "wajib" dibawa pulang oleh seseorang yang melancong ke suatu tempat atau destinasi.

Penerapan harga untuk pelancong yang membeli cinderamata boleh dijadikan saran agar DSP Toba mendapat banyak kunjungan wisatawan. Pemerintah bisa menjadi jembatan untuk menerapkan gagasan ini.

Saya berfoto dengan Sigale-gale. (Sumber: Dokumentasi pribadi) 
Saya berfoto dengan Sigale-gale. (Sumber: Dokumentasi pribadi) 

Yang saya maksud adalah penerapan ambang batas harga tertinggi untuk wisatawan. Misal untuk wisatawan lokal harga jualnya berasal dari 10% dari harga aslinya atau untuk wisatawan mancanegara 15% dari harga aslinya pula.

Ini bertujuan agar tidak tercipta perbedaan yang terlalu mencolok antar pedagang—menciptakan keseragaman harga yang hampir merata.

Hasil pajak untuk penduduk setempat. 

Yang terakhir adalah hasil pajak dari retribusi yang didapat dari seluruh para pelaku wisata sebaiknya dinikmati pula oleh penduduk lokal setempat, khususnya bagi penduduk yang tak bersinggungan langsung dengan kegiatan kepariwisataan sebagai mata pencaharian. 

Hasil pajak nantinya bisa digunakan untuk mendirikan fasilitas-fasilitas publik yang akan banyak digunakan oleh masyarakat setempat.

Ini akan menjaga "keseimbangan" di antara penduduk lokal; mencegah rasa iri berkembang.

Tujuan dari gagasan-gagasan tadi jelas agar wisatawan tak kapok berkunjung ke danau Toba dan tentunya danau Toba akan dipandang benar-benar dapat mendatangkan kesejahteraan.  

Semoga saya diberikan kesempatan berkunjung lagi ke danau terindah di mana bona pasogit leluhur (baca: tanah kelahiran) saya berada dan menjelajahi tempat-tempat di sana yang belum sempat saya kunjungi waktu itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun