Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ibu: Bahasa Cinta yang Menguatkan Sekaligus Melemahkan

2 Juli 2021   03:39 Diperbarui: 2 Juli 2021   04:59 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ibu tengah menggendong anaknya. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Hilang atau pergi adalah dua kata yang jika kau sematkan awalan "ke" dan kau akhiri dengan kata "an" maka akan membuat sesuatu yang bernama "jarak" dimaknai dengan lebih syahdu, kawan. Percayalah.

Tak seperti kepergian saya sebelum-sebelumnya yang pernah beribu-ribu kilometer jauh dari rumah (baca: baik menempuh pendidikan atau dalam dalam penempatan kerja), hari itu—di menit-menit akhir sebelum pesawat yang saya tumpangi lepas landas—saya tidak lagi kesal pada diri sendiri (baca: atas keputusan saya menerima penempatan kerja) semua sudah saya luapkan di sore hari sebelumnya.

Tetapi, meskipun demikian perasaan sedih tak bisa saya bohongi tatkala di hadapan saya—di depan pelupuk mata—saya melihat seorang anak kecil bergelayut manja di gendongan ibunya, dan saya pun pada akhirnya menangis.

Ya, sore itu di satu senja di awal September 2014, saya berkejaran dengan waktu. Saya dipaksa bergegas dari Jogja ke Medan untuk menemui ibu saya untuk saya antarkan keesokan harinya—ke liang tanah.

Dan seolah bisa ditebak, seperti ada banyak kekacauan yang terjadi setelah ibu meninggal; entah mengapa selalu ada saja yang kurang: tidak lengkap—alih-alih utuh. 

Rumah terasa suram (baca: apalagi di sebulan awal pasca meninggalnya ibu—meskipun pada akhirnya kami sekeluarga sudah berdamai dengan keadaan); semuanya bagai kehilangan pegangan. 

Bagi saya sendiri, kehilangan ini adalah sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya—sama sekali tidak pernah—meskipun saya tahu setiap yang hidup pasti akan mengalami mati. Maksud saya, saya tidak pernah membayangkan akan secepat ini saya merasakannya.

Masih jelas dalam ingatan saya—setelah kepulangan kami sekeluarga dari Siantar untuk memakamkan ibu yang dimakamkan dengan prosesi adat Batak Toba—adik bungsu saya tanpa absen menangis setiap hari. Di antara tiga saudara, dia memang yang paling dekat dengan ibu walau bisa dengan jujur saya katakan dia bukan tipikal anak yang manja—alih-alih sengaja dimanjakan.

Time heals. Dua kata itu yang hanya bisa saya katakan padanya tiap kali dia menangis. Adik bungsu saya jika dilihat dari kasat mata adalah sosok yang paling tertekan atas meninggalnya ibu. Dia menunjukkan gelagat begitu nyaris dua bulan lamanya.

Namun, tidak setali tiga uang; satu di antara empat yang ditinggalkan (baca: saya, dua orang adik saya dan bapak) hanya saya yang tidak pernah mengeluarkan air mata. Karena saya sudah berjanji pada diri sendiri, saya tidak akan menangis lagi di hadapan siapapun—persis sejak jasad beliau berkalang tanah.

Sekalipun saya tidak terlalu dekat dengan ibu seperti kedua adik saya tapi saya tahu ibu punya cara mencintainya sendiri terhadap saya (atau sebenarnya memang beliau memiliki cara yang berbeda-beda terhadap kami—tiga anaknya—dalam menunjukkan bahasa cintanya sebagai seorang ibu). 

Kau tahu, tak peduli berapa umur saya, ibu sering menyelinap masuk kamar dan duduk di sisi ranjang untuk mengusap kening saya dan menciumnya dengan lembut. Terkadang bahkan dengan lirih saya kerap mendengar ada nama saya yang dipercakapkannya bersama Tuhan.

Dari mana saya tahu?

Itu karena saya terkadang terbangun tapi memilih untuk tidak membuka mata—apalagi beranjak. Saya sengaja memilih menikmati kasih sayang itu—sesuatu yang hingga saat ini sangat manis namun haru untuk saya ingat di antara bahasa cintanya yang terkadang tertatih-tatih untuk saya pahami—bahkan hingga kini.

Seorang anak dalam gendongan ibunya. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Seorang anak dalam gendongan ibunya. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Di lain hal, sejauh ingatan saya, ibu adalah sosok yang terlalu banyak mengalah terhadap Bapak—dalam hal apapun. Ibu tidak cukup "galak"—alih-alih mewarisi gen alpha female yang dominan. Dengan kata lain, ibu selalu bersembunyi di belakang "kegarangan" Bapak—atau memang sengaja membiarkan relasi kuasa itu terjadi dan timpang sebelah.

Mungkin bagi ibu, menjadi seorang isteri dengan label ibu—atau sebaliknya—jauh lebih sulit dibandingkan dikala pertama mengenal calon mertua.

Baca juga: Trik Sederhana Mengenal dengan Singkat Calon Mertua

Karena terlalu sibuk "mengalah" tadi, saya tidak mendapat banyak nasihat yang "terarah" alih-alih dibekali tentang bagaimana kelak menjadi ibu yang kuat—lagi menguatkan—darinya.

Ibu yang saya kenal adalah makhluk perasa sekaligus tak perkasa di hadapan anak-anaknya (baca: ibu masih selayaknya seorang ibu yang acapkali dengan segala hal yang membuat sedih atau segala hal yang berbentuk rengekan dari sang anak ingin cepat-cepat disudahi karena tidak tega dengan alasan bentuk cinta dan kasih sayang) hanya saja tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan Bapak jika Bapak sudah "bersuara"—alih-alih suaranya sendiri kerap dipaksa untuk di-"tenggelam"-kan. Termasuk menyoal saya dan kedua adik saya.

Secara pribadi, yang ingin saya katakan, ibu hanya membiarkan saya "berdiri", beliau tidak cukup siap untuk mengajarkan saya berjalan lebih "cepat"—alih-alih "berlari".

Sehingga, usaha saya ke arah sana menjadi berlipat-lipat lebih keras.

Di sinilah letak masalahnya.

Meskipun saya sadar ibu adalah "jantung" bagi saya—dan kehadirannya sejatinya pernah menjadi pegangan dalam hidup saya, tetapi saya tidak ingin menjadi sama seperti ibu.

Saya tidak ingin menjadi ibu yang kuat—sekaligus lemah dalam waktu yang bersamaan.

Menjadi ibu yang seperti itu apa hebatnya?!

Saya tidak ingin menjadi ibu yang demikian di mata anak-anak saya—selama yang mampu mereka ingat.

Saya tidak ingin gagal.

Baca juga: Hey, Ini Bacaan Saat Kau Gagal

Menjadi ibu yang kuat (baca: tidak lemah dan berprinsip. Teguh dengan memperjuangkan suaranya—alih-alih suara anak-anaknya) itu "harus". Tetapi, saya sadar menjadi ibu yang menguatkan itu "pilihan"—dan oleh karenanya saya harus lebih giat "belajar".

Namun, untuk menjadi ibu yang kuat lagi menguatkan seorang puan butuh laki-laki yang "sepadan"; yang berdiri tidak di hadapannya dan tidak pula di belakangnya—melainkan di sampingnya. Tidak timpang.

Puan yang bijak akan melakukan itu bukan berharap berkuasa (baca: menindas) atas laki-laki, tapi setidaknya dia dapat berkuasa atas dirinya sendiri; berkuasa atas tiap pilihan dan keputusan yang dia buat—dan bertanggung jawab.

Di kepala saya sudah tersimpan bagaimana pola asuh anak-anak saya ke depannya—tentu saja setelah melewati fase berkoordinasi dengan pasangan saya. Win-win solution adalah harus. Untuk itulah pasangan saya adalah bentuk "valid" dukungan bagi saya.

Segala sesuatu yang tidak baik atau kekurangan yang saya dapatkan dari orang tua tidak akan saya teruskan; cukup berhenti di saya (pesan ini juga saya tegaskan pula pada kedua adik saya).

Seperti yang saya katakan, saya ingin menjadi ibu yang kuat dan menguatkan untuk anak-anak saya—selama yang mampu mereka ingat.

Semoga.

Tabik.

Disclaimer:

Tulisan ini saya tujukan sebagai bentuk rasa kangen saya terhadap almarhumah ibu saya yang kelak di tanggal 5 Juli merayakan hari lahirnya di dunia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun