Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ibu: Bahasa Cinta yang Menguatkan Sekaligus Melemahkan

2 Juli 2021   03:39 Diperbarui: 2 Juli 2021   04:59 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ibu tengah menggendong anaknya. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Dari mana saya tahu?

Itu karena saya terkadang terbangun tapi memilih untuk tidak membuka mata—apalagi beranjak. Saya sengaja memilih menikmati kasih sayang itu—sesuatu yang hingga saat ini sangat manis namun haru untuk saya ingat di antara bahasa cintanya yang terkadang tertatih-tatih untuk saya pahami—bahkan hingga kini.

Seorang anak dalam gendongan ibunya. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Seorang anak dalam gendongan ibunya. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Di lain hal, sejauh ingatan saya, ibu adalah sosok yang terlalu banyak mengalah terhadap Bapak—dalam hal apapun. Ibu tidak cukup "galak"—alih-alih mewarisi gen alpha female yang dominan. Dengan kata lain, ibu selalu bersembunyi di belakang "kegarangan" Bapak—atau memang sengaja membiarkan relasi kuasa itu terjadi dan timpang sebelah.

Mungkin bagi ibu, menjadi seorang isteri dengan label ibu—atau sebaliknya—jauh lebih sulit dibandingkan dikala pertama mengenal calon mertua.

Baca juga: Trik Sederhana Mengenal dengan Singkat Calon Mertua

Karena terlalu sibuk "mengalah" tadi, saya tidak mendapat banyak nasihat yang "terarah" alih-alih dibekali tentang bagaimana kelak menjadi ibu yang kuat—lagi menguatkan—darinya.

Ibu yang saya kenal adalah makhluk perasa sekaligus tak perkasa di hadapan anak-anaknya (baca: ibu masih selayaknya seorang ibu yang acapkali dengan segala hal yang membuat sedih atau segala hal yang berbentuk rengekan dari sang anak ingin cepat-cepat disudahi karena tidak tega dengan alasan bentuk cinta dan kasih sayang) hanya saja tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan Bapak jika Bapak sudah "bersuara"—alih-alih suaranya sendiri kerap dipaksa untuk di-"tenggelam"-kan. Termasuk menyoal saya dan kedua adik saya.

Secara pribadi, yang ingin saya katakan, ibu hanya membiarkan saya "berdiri", beliau tidak cukup siap untuk mengajarkan saya berjalan lebih "cepat"—alih-alih "berlari".

Sehingga, usaha saya ke arah sana menjadi berlipat-lipat lebih keras.

Di sinilah letak masalahnya.

Meskipun saya sadar ibu adalah "jantung" bagi saya—dan kehadirannya sejatinya pernah menjadi pegangan dalam hidup saya, tetapi saya tidak ingin menjadi sama seperti ibu.

Saya tidak ingin menjadi ibu yang kuat—sekaligus lemah dalam waktu yang bersamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun