Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Perihal Bertetangga, Sebagian dari Kita Amatiran

4 Mei 2021   00:10 Diperbarui: 4 Mei 2021   05:25 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi interaksi antartetangga| Sumber: Pexels.com via grid.id

Sampailah kita pada istilah: sekejam-kejamnya ibu kota tentu tetap saja lebih kejam mulut tetangga!

Belum lama ini kita digemparkan dengan isu babi ngepet—yang pada akhirnya sudah terkuak kebenarannya. Gonjang-ganjingnya, ya ampun, bikin saya tak terhitung lagi berapa kali harus memutar kedua bola mata tiap pemberitaannya lewat tatkala saya memantau laman media sosial saya.

Meskipun perihal cerita babi ngepet ini sudah sama-sama kita tahu—dan memang bukan sesuatu yang mengejutkan—cuma ya tetap saja tidak sepenuhnya bisa kita terima dan cenderung memang mengada-ngada.

Tentu saja bukan pada poin babinya—ups—tapi pada poin nyinyiran tetangga yang usil mengomentari tetangganya, itu yang menyebabkan perhatian kita tersita.

Saya tidak mengatakan tidak ada tetangga yang berhati baik, yang bersedia menawarkan bantuan pada tetangganya yang sedang ditimpa kesusahan—atau kemalangan—meskipun sebenarnya kebanyakan yang kita lakukan itu tidak lebih dari sekadar karena berada dalam kerangka kesopanan bersosialisi di masyarakat dalam perihal bertetangga.

Tapi, tunggu dulu?

Jika pembahasannya merujuk dalam bentuk kerangka kesopanan, apakah "ngurusin" tetangga juga termasuk di dalamnya?

Ini yang akan saya bahas dalam sudut pandang saya dalam tulisan ini—dan perlu saya wanti-wanti, kau tak perlu merasa harus sepakat setelah membacanya.

Don't tell anyone, please. (Sumber: Unsplash.com/Foto oleh Sammy Williams)
Don't tell anyone, please. (Sumber: Unsplash.com/Foto oleh Sammy Williams)

Mari bicara soal tetangga. 

Semua orang setuju jika tetangga adalah orang terdekat yang kita punya. Mereka lah yang mendahului "peran" sanak atau kerabat dalam hidup kita.

Tetapi, saya pribadi tidak terlalu punya riwayat yang baik dalam bertetangga meski jelas saya katakan saya tidak memiliki musuh—alih-alih berniat mencarinya—di lingkungan tempat saya tinggal. 

Saya hanya berkaca pada kecenderungan karakter saya yang tidak terlalu pandai berbasa-basi. Jangankan dengan tetangga, di rumah pun saya tergolong sebagai orang yang terbilang "pelit" bicara. 

Saya kalau bicara di rumah itu kalau ada keperluan saja. Saya jarang mengumbar diri saya—curhat sana curhat sini, apalagi untuk urusan menyoal pribadi. 

Di laman media pun demikian. Tersirat baik dalam konten atau bukan adalah lebih baik bagi mereka—siapapun itu—menerka sendiri siapa diri saya dari kaca mata mereka.

Karena poin dewasa versi saya adalah jika seseorang sudah bisa menertawakan diri sendiri berikut segala suka dan duka yang ia alami.

Nah, jika dalam pakem bertetangga seseorang harus dituntut ramah dengan sesama tetangga yang lainnya, jujur saya tidak terlalu bisa memberikan itu. 

Dalam keseharian, saya sendiri tidak pernah keluar rumah sekadar untuk nimbrung ngobrol ngalor-ngidul tak jelas. Pun bahkan kalau ada keperluan untuk membeli sesuatu di warung yang tak jauh dari rumah, saya meminta tolong adik bungsu saya untuk melakukannya. 

Dengan kata lain, bisa dipastikan saya sangat jarang keluar rumah tanpa ada ihwal yang mengharuskan saya keluar—menyangkut pekerjaan misalnya.

Ternyata itu menyelamatkan saya!

Mengapa demikian, mungkin kau bertanya?

Saya punya alasannya.

Tapi, mari kita samakan suara terlebih dulu, jika yang kita bahas di sini adalah para tetangga yang agak "gimana-gimana" gitu ya kan...

Perlu kau ingat, tetangga yang sering kumpul-kumpul itu mustahil cuma saling duduk manis antar mereka, sudah barang tentu ada cerita di sana atau bisik-bisik yang tak dinyana. 

Kumpul-kumpul tetangga tentu dilakukan karena para tetangga terlalu punya banyak waktu yang mungkin oleh sebagian dari mereka bisa jadi sayang dibuang percuma atau boleh jadi itu karena dimulai dari satu tetangga tak sengaja berpapasan dengan tetangga yang lainnya saat melakukan sesuatu lalu mampir sebentar untuk update kabar. Masyarakat kita kan begitu? Kelewat ramah.

Seseorang tidak dapat mendikte realitas bahwasanya omongan—mulut—tetangga pedas adanya. Itu "niscaya"—bahkan sekalipun kau baik dalam bertetangga. 

Seiring perjalanan seseorang dalam bertetangga, seseorang tersebut tak akan pernah lepas dengan duga dan prasangka. Tetapi, saya berani bertaruh segala sesuatunya tidak mungkin ada jika seseorang tidak memulainya dan yang lain tidak membangun rekayasa yang berbeda pula.

Oh, yes you got it, you got my point: we're talking about self control!

Percayalah, adanya persekusi pun dimulai dari mulut seorang tetangga—yang bermutasi dalam klan kumpulan tetangga—yang bermula karena sangat pandai mencari borok tetangganya.

Untuk mencegah itu semua, saya punya beberapa trik a la saya dalam bertetangga.

#1 Legowo saja.

Beda kelapa beda rasa santannya; beda isi kepala beda pula karakternya—dan poin pertama ini yang jadi tameng pertama saya dalam bertetangga.

Karena tipikal karakter saya cenderung introvert maka dicap sombong ya saya tak perlu bersungut-sungut—alih-alih marah—karena sudah jelas saya memilih acuh tak acuh sebagai sebaik-baiknya jalan ninja.

Saya tidak menyarankan untukmu sombong, namun jika kau sama karakternya dengan saya maka ini jelas sangat menolong. Jadi teknisnya, jika kau berpapasan dengan tetangga, yang bisa kau lakukan adalah senyumlah seadanya dan tegurlah seperlunya—dan jika ada kegiatan dan kau punya waktu barang sebentar sempatkanlah datang lalu jika urusannya selesai segeralah pulang.

#2 Belajar cuek dengan selentingan.

Ada satu kalimat bijak dari Lord Voldemort dalam serial Harry Potter kesayangan saya yang saya jadikan acuan garis besar: "kebesaran" menginspirasi iri hati, iri hati menimbulkan kedengkian, kedengkian menumbuhkan kebohongan.

Bisa jadi isu, kabar, gosip, selentingan—atau apapun kau menyebutnya—yang tidak enak didengar dari para tetangga itu bisa jadi diawali karena "kebesaran" diri seseorang yang menimbulkan rasa dengki yang mulanya berasa dari rasa iri hati. 

Lalu, timbullah kebohongan—yang kemudian dibesar-besarkan. Untuk itu, segala sesuatu yang belum valid tak perlu diamini dulu kebenarannya. 

Caranya bagaimana?

Jangan sebarkan lagi, cukup berhenti di kamu!

Jangan—bahkan dengan anggota keluarga terdekatmu.

Bayangkan, berapa banyak orang yang diselamatkan dari dosa ghibah dan fitnah jika tiap isi kepala paham untuk melakukan ini?

Sabar adalah kunci dalam bertetangga. (Sumber: Unsplash.com/Foto oleh Elena Koycheva)
Sabar adalah kunci dalam bertetangga. (Sumber: Unsplash.com/Foto oleh Elena Koycheva)

#3 Ingat prinsip.

Mulai sekarang jika kau belum punya kalimat bijak yang bisa kau jadikan sebagai dasar pegangan untuk membentengi dirimu dalam hal menyikapi—omongan—tetangga, mungkin sebaiknya kau harus mulai memikirkannya.

Saya sendiri, ada dua prinsip hidup dasar yang saya pegang teguh menyoal bertetangga, salah satu di antaranya: 

token listrik di rumah saya tidak dibeli dari omongan tetangga!

Cukup menohok bukan?

Jadi, buatlah versimu sendiri.

#4 Bersabarlah, jangan barbar.

Dan jika pada akhirnya ada hal yang tak mengenakkan sampai ke telinga tentang kamu, yang bahkan kau sendiri tak menyangkanya—yang bahkan pula kau sendiri merasa kerjaanmu ya cuma menuruti rutinitasmu sehari-hari dengan bekerja dari dan atau di luar rumah—antisipasinya adalah belajar cuek sajalah selama itu tidak merusak nama baikmu—yang kebablasan. Ingat, cueklah.

Kau bukan mereka. Kau lebih welas asih. Ingat saja, tetangga macam itu mungkin hanya kurang bersyukur dalam hidupnya; bisa ngomong seenaknya tanpa sudi diperlakukan sama. Maka, kembali lah dengan prinsip yang sudah kau buat sebelumnya.

Tak semua tetangga punya pengendalian diri yang baik jika sudah ada dalam koloni, Kawan. Lebih dari itu yang bisa kau lakukan adalah berhati-hatilah dalam bicara karena kau tak pernah tahu bagaimana kelak mereka mengelolanya.

Mark my words, some people will only love you fit into their box. Don't be afraid to dissapoint.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun