Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harga Diri Laki-Laki Bukan Bekerja

10 Maret 2021   07:00 Diperbarui: 10 Maret 2021   07:17 1638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Men in Gray (Sumber Unsplash.com/Foto oleh Sahin Sezer Dincer)

Harga diri laki-laki bukan bekerja.

Salah baca? Tidak—sekali-kali tidak.

Secara vokal saya katakan kalau saya membantah ungkapan di masyarakat yang mengatakan jika harga diri laki-laki adalah bekerja”.

Saking kuatnya ungkapan ini, tak jarang saya temukan dalam akun-akun motivasi dengan pengikut yang tidak bisa dikatakan sedikit. Di laman Instagram sering dapat love yang banyak lagi ungkapan ini. Kerap juga jadi ajang sindiran dalam sebuah obrolan di masyarakat. Bikin gemeush saya.

Tapi, tunggu, jangan senang dulu sewaktu saya katakan harga diri laki-laki bukan bekerja. Tak lantas jadi pembenaran laki-laki—yang berpikiran—dewasa yang punya akal sehat kerjaannya cuma duduk nonton teve sambil ngopi saban hari atau rebahan berjam-jam dan menghabiskan waktu dengan sia-sia. Tidak begitu juga cara mainnya. Saya punya alasan kuat berkata demikian meskipun bisa saya pastikan tidak akan langsung selesai sebenarnya dalam satu artikel namun izinkan saya mengemukakan mengenai hal tersebut secara ringkas saja.

Sebagai seorang feminis, saya akui bahwa patriarki adalah akar masalah terbesar yang dihadapi perempuan untuk mengembangkan diri dan untuk membela apa yang menjadi hak-haknya sebagai manusia—tapi anehnya justeru kebanyakan perempuan ikut andil—bersamaan dengan laki-laki—mewarisi dan melanggengkan tradisi-tradisi ini; membudayakan patriarki.

Contohnya pendidikan yang diberikan terhadap laki-laki sejak nalar mereka masih dikatakan "muda" menyoal ini—tentang laki-laki adalah pemimpin, laki-laki harus bertanggung jawab terhadap keluarganya kelak dan tentang harga diri laki-laki adalah bekerja.

Poin pertama dan kedua tidak terlalu menjadi masalah buat saya, meskipun sebenarnya itu bisa pula dilakukan seorang perempuan dalam sebuah keluarga—yang jadi soal adalah statement "harga diri laki-laki adalah bekerja" tadi.

Pernahkah kita berpikir ungkapan itu justeru menjadi beban mental bagi laki-laki sepanjang hidupnya? Pernahkah kita berpikir kalimat yang sedikit itu membuat laki-laki dipaksa untuk selalu kuat hanya demi memenuhi lakon "tulang punggung" dalam keluarganya?—

dan apakah kita pernah jauh berpikir, justeru ini salah satu akar masalah dari patriarki yang membudaya di masyarakat kita?

Mengapa saya katakan demikian?

Jadi begini, saya percaya "segala sesuatu yang salah jika dicekoki dan diceritakan berulang-ulang akan menjadi pembenaran dan lama-lama itu akan bermetamorfosis—yang pada akhirnya diamini—menjadi sebuah kebenaran".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun