Ketika Trauma menjadi konsumsi publik
Media sosial kini menjadi ruang yang lebih dari sekadar tempat berbagi foto liburan atau prestasi karier. Dalam beberapa tahun terakhir, platform digital seperti TikTok, Instagram, YouTube, bahkan Twitter telah menjelma menjadi arena di mana individu secara terbuka menyiarkan sisi paling rentan dalam hidup mereka. Fenomena oversharing—yakni perilaku membagikan cerita yang sangat pribadi kepada audiens luas—menjadi tren yang seolah tak terbendung.
Kita bisa menemukan ratusan akun yang secara rutin menayangkan video tentang pengalaman kekerasan dalam rumah tangga, detail percobaan bunuh diri, perjuangan melawan depresi, atau kisah pelecehan seksual. Dalam hitungan jam, konten-konten semacam ini dapat meraih jutaan penonton dan ribuan komentar simpati. Misalnya, akun TikTok bernama @healingjournal yang menceritakan perjalanan pemulihan trauma kekerasan domestik berhasil mengumpulkan lebih dari 2 juta pengikut hanya dalam waktu enam bulan. Sebagian audiens merasa terinspirasi dan terhubung secara emosional, namun tak sedikit pula yang mempertanyakan apakah trauma seharusnya dijadikan konsumsi publik.
Fenomena ini menjadi paradoks: di satu sisi, oversharing memecah kebisuan tentang penderitaan dan mendemokratisasi diskusi tentang kesehatan mental. Di sisi lain, keterbukaan yang ekstrem juga memunculkan risiko psikososial serius, mulai dari perundungan daring (cyberbullying), retraumatization, hingga hilangnya kontrol atas narasi pribadi.
Menurut survei Pew Research Center (2023), sekitar 43% pengguna internet generasi Z mengaku pernah membagikan pengalaman personal yang mereka sesali kemudian. Hampir 60% di antaranya mengakui dorongan terbesar mereka adalah mencari validasi sosial. Angka ini menjadi bukti bahwa kebutuhan untuk diakui, dimengerti, dan didengar kini semakin bercampur dengan logika algoritmik yang memberi imbalan dalam bentuk likes, komentar, dan follower baru.
Di sinilah sosiologi menjadi kunci untuk membaca fenomena ini lebih dalam. Apakah kita tengah menyaksikan gelombang kesadaran kolektif terhadap isu kesehatan mental, atau hanya era baru di mana penderitaan menjadi mata uang sosial? Bagaimana kekuatan simbolik media sosial mendorong orang mengekspose sisi paling rapuh demi pengakuan? Apa konsekuensi budaya oversharing bagi kesehatan kolektif masyarakat digital? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi landasan bagi analisis mendalam esai ini.
Analisis Sosiologi
Budaya Digital: Normalisasi Curhat Publik
Jika kita menengok ke belakang, pada era sebelum media sosial, curhat tentang trauma umumnya berlangsung dalam ruang privat: ruang konseling, diskusi keluarga, atau jurnal pribadi. Namun kini, narasi penderitaan bergeser menjadi konten publik yang didorong oleh algoritma. Konten yang paling emosional cenderung paling viral. Riset yang dilakukan Diefenbach & Anders (2021) menemukan bahwa video dengan ekspresi kesedihan atau kerentanan lebih banyak dibagikan 34% dibanding konten biasa.
Dalam perspektif Berger & Luckmann, realitas sosial tidak berdiri sendiri melainkan “dikonstruksi” melalui interaksi. Ketika jutaan orang rutin menonton, berkomentar, dan membagikan kisah trauma orang lain, praktik itu secara kolektif menjadi normal. Ini yang disebut habitualization: kebiasaan yang diulang terus-menerus hingga menjadi “realitas objektif.”