Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Omong Kosong Rp2 Triliun

5 Agustus 2021   16:19 Diperbarui: 5 Agustus 2021   19:40 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar :postwrap /ca prasangka.

Kebenaran di depan mata bisa sirna seketika menjadi prasangka.

Apa yang terjadi bila ada yang rela menyumbangkan uang dengan jumlah Rp2 triliun? 

Hebohlah seantero negeri. Mengalir puji-pujian. Menjadi inspirasi tulisan dan omongan di pojokan media sosial. Bahkan menjadi bahan ceramah. Luar biasa. 

Inilah yang terjadi hari-hari belakangan ini. Di akhir bulan Juli 2021. 

Sosok wanita bernama Heriyanti, yang tinggal di Palembang, anak mendiang Akidi Tio yang dianggap sebagai pengusaha sukses pada zamannya.  Ia membuat berita yang bikin geleng-geleng kepala antara salut dan tidak percaya. 

Namun tanpa lama menunggu, cerita kisah indah di akhir Juli berganti muram di awal Agustus. Heriyanti harus berurusan dengan polisi. 

Uang dua triliun rupiah  yang terpampang secara simbolis ada  di hadapan pejabat tinggi negara ternyata tiada. Jadi gigit jari sementara ini karena masih ada janji uang akan segera  cair. 

Hebol kembali seantero negeri dengan berbagai opini. Apa yang sesungguhnya terjadi di balik semua ini? 

Apa sebenarnya yang ada dalam drama sumbangan dua triliun rupiah oleh Heriyanti? 

Biarlah hal  ini menjadi urusan penegak hukum untuk menyelidiki. Buat diri ini biarlah menjadi pembelajaran kehidupan. 

Apaan tuh? 

Markisik. Mari kita selisik. 

  • Apa yang tampak  benar di depan mata belum tentu itu adalah kebenaran  sebenarnya. 

  • Apa yang dianggap ada bisa jadi itu tiada. 

  • Jangan menyikapi sesuatu  dengan berlebihan. 

Yang Tampak Benar Belum Tentu Benar

Dalam hidup ini banyak peristiwa  sering kali mengajarkan  kepada kita bahwa apa yang kita anggap sebagai kebenaran bisa jadi itu adalah kesalahan di kemudian hari. 

Jadi, hal ini mengajarkan kepada kita agar dalam hal apapun sebelum segala sesuatu itu benar kebenarannya jangan banyak komentar. Apalagi sampai mengeluarkan jurus menuju berlebihan atau menghakimi. 

Misalnya seseorang hanya menyumbang sepuluh ribu rupiah. Kita pandang sebelah mata. Padahal uang yang  ia miliki hanya lima belas ribu rupiah. Tidak ada lebih lagi. 

Kebenarannya yang menyumbang dua triliun rupiah pun kalah nilainya bila hartanya ada enam belas triliun. 

Namun kita pasti akan lebih memuji yang memberi dua triliun rupiah dan meremehkan yang memberi sepuluh ribu saja. 

Apa yang Ada Bisa Jadi Tiada

Tak jarang kita tertipu oleh omongan. Kita begitu percaya oleh omong kosong yang begitu meyakinkan sehingga takada celah buat kita untuk tidak percaya. 

Tak heran di antara kita acap kali menjadi target penipuan. Kita tertipu bukan oleh kebodohan, tetapi tak jarang karena kepintaran kita. 

"Tidak mungkin dia bohong." kalimat ini yang acap kali menjadi pembelaan. 

Kita yakin karena orang itu kaya dan punya kedudukan. Itu ada kebenarannya. Yang tiada kita sangka apa yang diomongkan hanya omong kosong. 

Setelah tertipu kepintaran baru muncul dengan merasa diri bodoh sekali. 

Jangan Berlebihan Menyikapi 

Baik dalam hal yang positif maupun yang negatif, bila  menyikapi dengan  berlebihan ujungnya bisa semakin menyakitkan. 

Kita lupa bahwa kehidupan  sering menipu, tetapi kita tetap mau percaya dengan apa yang terlihat tanpa pernah memakai akal sehat. 

Apalagi yang berhubungan dengan nilai uang memang sering memabukkan. 

Saya pernah bertemu seorang teman yang begitu semangat untuk segera pulang kampung ikut semacam arisan yang menurutnya sangat menguntungkan. 

Dengan modal uang sejuta rupiah bisa jadi tiga puluh juta rupiah. Waktu itu, tahun 2000-an. 

Saya mengingatkan yang begini biasanya ada unsur penipuan. Namun  ia kekeh ini bukan penipuan karena sudah ada teman dan saudaranya yang membuktikan hal ini benar adanya. 

Ya sudah. Saya tidak hendak berdebat. Karena saya lihat ia sangat bernafsu dan percaya sekali. 

Tak lama saya mendapat kabar heboh soal penipuan arisan yang diyakini oleh teman sebagai hal yang menguntungkan  itu. 

Sejatinya pengalaman demi pengalaman kehidupan menjadikan kita sebagai insan yang arif bijaksana menyikapi hidup ini. Bukan hidup sekadar mengandalkan kepintaran dan perasaan. 

@cerminperistiwa 05 Agustus 2021 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun