Aziz Muslim Haruna
Di sebuah kampung yang damai, hiduplah seorang pemuda bernama Bayu. Ia dikenal sebagai pribadi yang luhur, tutur katanya lembut, ibadahnya tekun, dan hatinya dipenuhi cahaya iman. Banyak keluarga terpandang ingin menjadikannya menantu, namun hati Bayu belum tergerak. Ia menghabiskan waktunya mengajar mengaji anak-anak dan membantu siapa saja yang membutuhkan.
Suatu senja, seorang perempuan dengan jilbab sederhana menghampirinya di surau. Wajahnya menunduk, menyiratkan beban masa lalu. Namanya Mentari. Dulu, ia terjerumus dalam lembah kelam pelacuran di kota besar, namun hidayah menyentuh hatinya. Ia bertaubat nasuha dan mencoba memulai lembaran baru di kampung terpencil ini. Mentari mulai rajin mengikuti pengajian Bayu, selalu duduk di sudut paling belakang, malu dan takut. Namun, Bayu, dengan kearifannya, melihat ketulusan dalam taubat Mentari. Cinta tulus mulai bersemi di hati Bayu, didasari kekaguman akan kekuatan iman Mentari.
Setelah memantapkan hati, Bayu menyampaikan niatnya untuk menikahi Mentari kepada kedua orang tuanya. Seketika, rumah itu bergemuruh. Ayahnya murka, "Apa kau sudah tidak waras, Bayu?! Perempuan seperti itu? Di mana kau akan letakkan muka keluarga kita?" Ibunya menangis, "Nak, banyak gadis baik-baik yang lebih pantas. Mengapa harus dia?" Kakaknya, Danu, yang sudah berkeluarga, juga menimpali dengan keras, "Masa lalu akan selalu membayangi. Keluarga kita akan jadi cemoohan!"
Bayu tetap tenang. "Ayah, Ibu, Allah Maha Pengampun. Mentari telah bertaubat. Saya melihat kesucian dalam hatinya yang kini." Penolakan datang dari seluruh keluarga. Mentari sendiri hancur lebur, menawarkan diri untuk pergi. Namun Bayu menggenggamnya, "Mentari, Allah telah membimbingmu. Apakah kita akan menyerah karena pandangan manusia?"
Hari-hari berikutnya menjadi ujian berat. Bayu tak lelah mendekati keluarganya, mencoba membuka mata hati mereka. "Ayah," ucap Bayu, "bukankah kehormatan sejati itu datang dari ketakwaan? Mentari sedang berjuang di jalan itu." Ayahnya tetap berkeras, "Orang tidak akan melihat usahanya sekarang, yang mereka ingat adalah masa lalunya." Kepada ibunya, Bayu mengingatkan tentang kasih sayang dan pengampunan Allah. Namun sang ibu hanya takut Bayu menderita. Danu tetap pada pendiriannya bahwa pilihan Bayu adalah aib sosial.
Sementara itu, Mentari menjalani hari-harinya dalam kepungan bisik-bisik. "Lihat itu, calon istri si Bayu. Katanya dulu..." Setiap kata bagai sembilu. Namun, setiap cemoohan ia balas dengan istighfar. Ia semakin memperbanyak ibadahnya, berusaha menunjukkan perubahan dirinya melalui sikap sopan, menundukkan pandangan, dan membantu dalam diam jika ada kegiatan kampung. Beberapa orang yang hatinya lebih terbuka mulai memperhatikan kesungguhan dan ketegarannya. Dukungan moral dari Bayu, meski hanya melalui pesan singkat, menjadi penguat bagi Mentari.
Perjuangan Mentari menemui rintangan baru: kesulitan ekonomi. Uang simpanannya menipis. Ia mencoba membuat kue basah dan jajanan pasar, menitipkannya ke warung-warung kecil, namun seringkali kembali utuh. Tawaran jasa mencuci atau membersihkan rumah pun banyak ditolak. Ada hari-hari di mana perutnya hanya diisi air putih. Namun, kesulitan ini tak menggoyahkan tekadnya. Justru, dalam setiap lapar dan penolakan, Mentari merasa semakin dekat dengan Sang Pencipta.
Bayu, dengan kepekaannya, menyadari kesulitan Mentari. Ia tak bisa tinggal diam namun harus bijak. Melalui Bu Fatimah, seorang ibu pengajian yang baik hati, Bayu memesan kue dan nasi bungkus dari Mentari untuk acara pengajian anak-anak. Betapa harunya Mentari menerima pesanan itu -- sebuah kepercayaan. Masakan Mentari dipuji, dan bisik-bisik positif mulai terdengar sayup-sayup. Meski kesulitan belum sepenuhnya hilang, secercah harapan itu memberinya kekuatan. Ia mulai menerima pekerjaan mencuci dari Bu Fatimah dan satu tetangga lain yang mulai luluh.
Namun, ujian terberat datang dari masa lalunya. Suatu sore yang mendung, Rika, "teman sejawatnya" dari kota, muncul. Dengan pakaian mencolok dan senyum sinis, Rika memandang Mentari dari atas ke bawah. "Astaga, Tari! Lihat dirimu! Kurus, kusam. Buat apa menyiksa diri begini? Di kota, uang gampang, Tari. Ingat, kan?"