Mohon tunggu...
Eko Dwi Purwanto
Eko Dwi Purwanto Mohon Tunggu... Wiraswasta

Membaca dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Benturan Dua Generasi: Antara Larangan Kekerasan dan Disiplin Sekolah

15 Oktober 2025   22:40 Diperbarui: 16 Oktober 2025   07:53 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus seorang kepala sekolah yang dinonaktifkan setelah menampar siswa yang ketahuan merokok kembali memicu perdebatan publik. bukan hanya soal tindakan guru dan perilaku siswa, tapi juga soal cara mendidik, disiplin, dan perbedaan cara pandang antar generasi.

Di ruang media sosial, Generasi X dan Milenial banyak menyuarakan bahwa hukuman fisik ringan itu hal yang biasa mereka dapatkan ketika sekolah, sedangkan Generasi Z menilai tindakan itu sebagai kekerasan yang tidak dapat dibenarkan. Perbadaan tajam ini menunjukan adanya jurang persepsi antara cara didik lama dan konteks pendidikan masa kini.

Regulasi Tegas: Kekerasan dan Larangan Rokok di Sekolah

Sebelum masuk ke perdebatan moral dan generasi, penting menegaskan dasar hukumnya. Menurut Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan, artinya segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun verbal dilarang di lingkungan sekolah. Guru dan tenaga pendidik dituntut untuk memiliki keterampilan dalam manajemen kelas, komunikasi, dan pendekatan disiplin yang humanis.

Di sisi lain, Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 dan Permendikbud No. 64 Tahun 2015 secara tegas melarang rokok di lingkungan sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Rokok termasuk dalam kategori zat adiktif yang dilarang digunakan di area satuan pendidikan. Artinya, kedua tindakan tersebut yaitu merokok oleh siswa maupun kekerasan oleh guru, sama-sama melanggar aturan. Situasi ini bukan sekedar hitam dan putih antara pelaku dan korban, tapi menyangkut benturan nilai dan cara pandang.

Mendisiplinkan Tanpa Kekerasan Menjadi Tantangan Pendidikan

Pakar pendidikan dari berbagai studi menyebut bahwa tantangan utama pendidikan modern bukan sekedar mendisiplinkan siswa, melainkan menemukan pendekatan yang efektif tanpa melanggar hukum. Sebuah penelitian dari International Journal of Education Development (2020) menunjukkan bahwa strategi disiplin berbasis komunikasi dan pendekatan restoratif jauh lebih efektif membentuk perilaku positif siswa dibanding hukuman fisik. Guru di era sekarang perlu memiliki kemampuan soft skill dalam mengelola konflik, bukan hanya ketegasan.

Selain itu, penelitian di Indonesia yaitu Jurnal Pendidikan Karakter (2021) menyebutkan bahwa siswa yang melanggar aturan seperti merokok lebih mudah berubah perilakunya jika dilibatkan dalam proses refleksi dan konseling, dibanding sekadar diberikan hukuman keras. Pendekatan ini terbukti menurunkan angka pelanggaran hingga 37% dalam uji lapangan di beberapa SMA negeri.

Murid Merokok dan Disiplin Sekolah

Merokok di usia remaja bukan sekadar pelanggaran kecil. Penelitian Kemenkes (2022) menunjukkan 1 dari 5 remaja usia 13 - 17 tahun adalah perokok aktif, dan kebiasaan itu sering dimulai di lingkungan sekolah atau sekitar sekolah. Karena itu, hukuman atau sanksi terhadap pelanggaran ini perlu proporsional, mendidik, dan tidak merendahkan martabat siswa. Praktik terbaik di sejumlah sekolah adalah menerapkan sistem konseling wajib, pelibatan orang tua, dan kegiatan pembinaan, bukan hukuman fisik.

Kenapa Perdebatan Ini Terjadi?

Fenomena benturan generasi seperti antara generasi Milenial dan Gen Z dalam menilai tindakan keras di sekolah bisa dijelaskan melalui teori cultur lag (William F. Ogburn, 1922) yang menyebut bahwa perubahan teknologi dan nilai sosial sering bergerak lebih cepat ketimbang perubahan norma budaya. Guru dan generasi lama membawa cara mendidik lama, yang saat itu dianggap wajar dan efektif sedangkan Generasi Z hidup dalam konteks sosial dan teknologi baru yang lebih terbuka,legalistik, dan kritis terhadap hak individu. Sehingga terjadi benturan persepsi satu pihak menganggap tindakan keras adalah bentuk disiplin, pihak lain menilai itu kekerasan. Artikel oleh Brinkman & Brinkman (1997) juga memperluas konsep ini dalam konteks perubahan sosial. Meskipun belum ada penelitian spesifik yang memakai cultural lag untuk konflik guru vs siswa di Indonesia, teori ini cocok untuk membantu memahami ketidaksepahaman nilai yang berkembang. 

Perdebatan yang muncul di media sosial bukan sekedar soal benar dan salah, tetapi transisi sosial antara dua zaman pendidikan yang berbeda. Generasi lama merasa cara keras "membentuk karakter", sedankan generasi baru tumbuh dengan nilai-nilai perlindungan hak anak.

Membangun Ruang Didik Yang Seimbang

Kasus ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya soal aturan, tetapi juga adaptasi budaya. Sekolah perlumenegakkan aturan larangan merokok dan kekerasan secara bersamaan. Guru perlu dilatih dalam pendekatan disiplin modern, sementara siswa juga harus memahami konsekuensi pelanggaran.

jika dua generasi saling memahami perbedaan cara pandang ini, benturan persepsi bisa diubah menjadi dialog konstruktif. Pada akhirnya, sekolah seharusnya menjadi ruang belajar yang aman bukan hanya bagi siswa, tetapi juga bagi guru untuk tumbuh bersama zaman.

Bagaimana pendapatmu tentang perbedaan cara didik antar generasi ini? Apakah pendekatan keras masih perlu atau sudah saatnya cara baru diterapkan? Silahkan diskusikan di kolom komentar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun