Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FEB UGM
KASTRAT BEM FEB UGM Mohon Tunggu... Penulis - Kabinet Harmoni Karya

Akun Resmi Departemen Kajian dan Riset Strategis BEM FEB UGM

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menimbang Tujuan RUU Cipta Kerja dalam Peningkatan Investasi

16 Juli 2020   14:35 Diperbarui: 16 Juli 2020   14:37 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh Departemen Kajian dan Riset Strategis BEM FEB UGM, Penelitian BPPM Equilibrium FEB UGM, dan Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA FEB UGM 

Berawal dari keinginan Pemerintah Indonesia untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang stagnan, sederet rancangan perubahan dalam tubuh undang-undang menjadi upaya untuk mencapai hal yang diinginkan.

Pada dasarnya, omnibus law Cipta Kerja mengarah pada keinginan peningkatan investasi karena dapat menopang laju pertumbuhan ekonomi. Hal ini tidak dapat dikatakan sebagai upaya yang salah langkah karena dalam teori ekonomi, bertambahnya investasi dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Indikator yang dapat menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi adalah produk domestik bruto (PDB). Secara matematis, hal tersebut dapat dirumuskan: Y=C+I+G+NX (Dumairy, 2006).

Dalam konteks ekonomi makro, investasi (I) merupakan salah satu variabel yang membentuk PDB bersama dengan konsumsi sektor rumah tangga (C), pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa (G) dan pengeluaran sektor luar negeri untuk ekspor dan impor (NX).

Pada fungsi persamaan tersebut, pertambahan variabel investasi dapat berpengaruh pada peningkatan PDB, mengingat bahwa keduanya berkorelasi positif. Selain itu, dengan menambah investasi, suatu bisnis perusahaan dapat memacu produksinya dan membuka kesempatan lapangan pekerjaan baru untuk masyarakat yang juga nantinya meningkatkan daya beli dan konsumsi.

Tidak hanya itu, investasi juga merupakan hal penting untuk memastikan aliran modal terhadap kegiatan produksi dalam negeri terus berjalan. Dalam hal ini, ketika aliran investasi lancar untuk produk ekspor, maka akan diperoleh pertambahan ekspor yang meningkatkan nilai net export dalam PDB.

Tujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja

Dalam naskah akademiknya, RUU Cipta Kerja dirancang dengan tujuan untuk mengeluarkan Indonesia dari middle income trap pada tahun 2036 dan menjadi negara maju pada tahun 2045. Naskah Akademik (NA) RUU Cipta Kerja ini juga telah mengikuti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia 2020-2024 sebagai pedoman untuk mencapai target Indonesia menjadi negara maju.

Terdapat sasaran ekonomi dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja, yaitu mewujudkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% dalam jangka 5 tahun. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah membutuhkan pertumbuhan dengan indikator seperti berikut.

(dok. Kastrat BEM FEB UGM)
(dok. Kastrat BEM FEB UGM)

Mengacu pada hal di atas, investasi merupakan tujuan inti dari pembuatan RUU Cipta Kerja. Pertumbuhan investasi memiliki substansi yang diarahkan pada kemudahan perizinan usaha dan perluasan pasar di Indonesia.

Bagi pemerintah Indonesia, peningkatan pertumbuhan investasi merupakan aspek yang penting karena dapat membantu peningkatan partisipasi angkatan kerja dan produktivitas para pekerja.

Iklim Investasi di Indonesia Saat Ini jika dikaitkan dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Investasi langsung luar negeri (foreign direct investment) memainkan peran penting pada kondisi investasi suatu negara. Foreign direct investment (FDI) diproyeksikan membawa produktivitas kepada perusahaan, termasuk akses pembiayaan, hubungan perdagangan, alih teknologi, hingga transfer pengetahuan dan manajerial (Genther dan Kis-Katos, 2019).

Namun, RUU Cipta Kerja kurang memperhatikan akar masalah investasi asing di Indonesia yang sebenarnya terjadi karena tertutupnya pemerintah terhadap investor asing. Indonesia memiliki FDI Regulatory Restrictiveness Index yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain (Gambar 1). Adanya regulasi yang banyak terhadap FDI justru akan menjadi insentif yang negatif terhadap investor asing (Basri, 2020).

Gambar 1. FDI Regulatory Restrictiveness Index (OECD, 2018)
Gambar 1. FDI Regulatory Restrictiveness Index (OECD, 2018)

Di lain sisi, masih ada beberapa isu yang menghambat pertumbuhan investasi Indonesia saat ini. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi institusional negara, termasuk di dalamnya tentang regulasi yang tumpang tindih, kinerja pemberantasan korupsi yang belum impresif, dan ketidakpastian kebijakan. Selain itu, aspek sosial seperti kualitas sumber daya manusia (SDM) dan ketenagakerjaan juga perlu diperhatikan dalam penyusunan RUU Cipta Kerja.

Kelembagaan Indonesia yang Kurang Dipertimbangkan

Kelembagaan merupakan bagian penting dari sebuah ekonomi yang maju karena social order yang harus ada. Jika kelembagaan dikuatkan, maka sisi etika, tingkah laku, dan aturan akan ditegakkan dan negara akan menjadi lebih teratur. Mengingat prinsip ekonomi yang menyatakan bahwa perilaku individu sensitif terhadap insentif, negara dengan aspek kelembagaan yang kuat akan menjadi daya tarik untuk investor asing. 

Dalam pandangan Pradiptyo (2020), aspek institusional ini penting untuk mendorong masuknya investasi yang menimbulkan inovasi dan menjadi pemicu angka pengganda investasi dalam konsep endogenous growth pada pertumbuhan ekonomi. 

Keburukan aspek institusional di Indonesia belum secara jelas diperbaiki melalui omnibus law, bahkan terkesan diabaikan. Menurut Corruption Perceptions Index 2019 oleh Transparency International, Indonesia adalah negara ke-85 yang tidak korup dari 180 negara dengan skor 40 dari 100 (Gambar 2). Akan tetapi, indeks ini hanya mempertimbangkan korupsi di sektor publik.

Gambar 2. Corruption Perceptions Index (Transparency International, 2019)
Gambar 2. Corruption Perceptions Index (Transparency International, 2019)

Permasalahan institusional ini diperkuat oleh data The Global Competitiveness Report 2019 yang menempatkan pilar institusional Indonesia di peringkat 60 dari 141 negara, jauh di bawah negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Belum lagi kasus korupsi yang cenderung merugikan banyak pihak seperti penyuapan, pengadaan barang/jasa, pungutan, penyalahgunaan anggaran dan masalah perijinan.

Seperti yang tertera dalam data Anti Courruption Clearing House (2018), penyuapan dan perizinan merupakan beberapa masalah serius dalam kasus tindak pidana korupsi Indonesia rentang waktu 2004-2018.

Kondisi kelembagaan ini dapat menghambat investor yang bersih untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena regulasi yang lemah dan kepastian hukum yang rendah. Dengan demikian, selama aspek institusional belum terselesaikan dan tidak diatur dengan jelas, selengkap apapun omnibus law tidak akan memberikan efek maksimal pada investasi.

Jika tidak ada pasal di RUU Cipta Kerja yang mencakup masalah ini, akankah Omnibus Law dapat menarik investasi yang dikejar pemerintah?

Sektor Ketenagakerjaan yang Harus Dipikirkan Lebih Dalam

Pada dasarnya, aspek ketenagakerjaan tidak luput sebagai faktor penilaian para investor. Kualitas tenaga kerja Indonesia nampaknya masih belum memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan oleh industri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jenjang sekolah menengah atas (SMA) menyumbang jumlah pengangguran tertinggi setiap tahunnya.

Pendidikan vokasional di ranah sekolah menengah kejuruan (SMK) pun juga demikian. Angka pengangguran lulusan SMK berkontribusi rata-rata 17% sejak 2010 terhadap keseluruhan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya gap permintaan dan penawaran tenaga kerja akibat ketidakcocokan antara kompetensi yang diberikan oleh sekolah dengan permintaan sektor industri.

Faktanya, satu dari dua pekerja di Indonesia termasuk dalam under skilled labor (Allen 2016). Kondisi tenaga kerja yang under skilled ini menyebabkan produktivitas Indonesia tidak mencapai angka yang memuaskan. Di samping itu, pertumbuhan upah rata-rata Indonesia meningkat cukup tinggi, tetapi tidak sebanding dengan pertumbuhan produktivitas yang cenderung stagnan di periode 2000-2014 (Aswicahyono dan Rafitrandi, 2018).

RUU Cipta Kerja telah menjadi sorotan media karena banyaknya kontroversi dalam aspek ketenagakerjaan. Pada Pasal 88 RUU Cipta Kerja, perubahan dalam aspek-aspek ketenagakerjaan dilakukan dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja.

Akan tetapi, substansi dari perubahan tersebut justru mengesampingkan hak para pekerja dan tidak menyumbang peningkatan daya saing dan kompetensi terhadap pekerja.

Di dalam analisis ini, perubahan aspek ketenagakerjaan akan fokus terhadap UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satu masalah dari aspek ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja adalah penghapusan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Dalam hal ini, Pasal 89 RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan.

Selain itu, ketentuan upah minimum juga dipermasalahkan oleh pekerja. Dalam Pasal 89 RUU Cipta Kerja, terdapat perubahan pada Pasal 88 dan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan, serta adanya 7 pasal baru yang disisipkan. Salah satu pasal yang dipermasalahkan adalah Pasal 88C yang menyatakan bahwa upah minimum akan ditetapkan oleh gubernur dan merupakan upah minimum provinsi (UMP).

Hal ini menjadi masalah bagi kalangan pekerja karena upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral (UMS) akan dihilangkan. Padahal, UMK dan UMS diadakan agar ada upah minimum yang lebih tinggi dari UMP. Dengan dihilangkannya kedua upah minimum tersebut, kesejahteraan masyarakat yang seharusnya dilindungi justru tidak dipertahankan.

Selain itu, terdapat permasalahan dalam pemberian upah dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam pemberian upah, Pasal 88 RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 93 UU Ketenagakerjaan. Persoalan yang terjadi adalah ambiguitas dari perubahan tersebut.

Dalam Pasal 93 ayat 2 di perubahan UU Ketenagakerjaan, pengusaha tetap wajib membayar upah walaupun pekerja tidak masuk jika sedang berhalangan atau sedang menjalankan hak cuti. Masalahnya adalah ambiguitas dari pengertian "berhalangan" dapat memberikan interpretasi yang berbeda sehingga pengusaha dapat mendefinisikan sendiri apa arti berhalangan. Dengan tidak adanya kepastian dalam pasal tersebut, pekerja dapat dirugikan.

Dalam permasalahan PHK, perubahan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja memberikan proses PHK untuk dilakukan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dalam pasal ini, pemerintah dan serikat kerja tidak termasuk dalam proses tersebut, sehingga pekerja/buruh dapat dirugikan karena tidak adanya kontribusi dari dua pemangku kepentingan.

Omnibus law memberikan ruang besar bagi investasi di sektor industri manufaktur untuk berkembang di Indonesia. Namun, siapkah tenaga kerja kita untuk menggerakkan industri manufaktur kita yang baru?

Investasi Macam Apa yang Dibutuhkan Indonesia?

Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan investasi tidak begitu buruk, bahkan masih diatas pertumbuhan PDB nasional Indonesia. Masuknya inverstor asing di Indonesia pun perlu dipahami bahwa tidak semuanya patuh pada aturan yang berlaku. Dilematis pada akhirnya untuk menarik investor; apakah memberi ruang investor-investor hitam yang tidak peduli aturan atau mengambil investor putih yang patuh pada regulasi. 

Dilematis ini kemudian diasosiasikan pada negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sebagai investor putih dan non OECD sebagai investor hitam.  Perubahan orientasi terhadap jenis investasi perlu diperhatikan oleh pemerintah karena omnibus law tidak membedakan golongan investor baik atau investor buruk. Aturan perizinan pun dilonggarkan, bahkan dalam penilaian izinnya. Hal ini akan semakin menambah bias terhadap jenis investor yang masuk.

Isu-isu produktivitas tenaga kerja masih menyeruak di permukaan. Investasi dengan penyerapan tenaga kerja secara masif masih diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Secara historis, hal inilah yang mendorong industrialisasi pada berbagai negara di dunia.

Kondisi demikian menandakan bahwa pengembangan sektor manufaktur---sebagai penyumbang produktivitas tinggi perlu dipetakan secara jelas oleh pemerintah dari sisi penawaran. Tidak hanya menjawab sisi "bagaimana investasi masuk", tetapi juga "sektor apa yang perlu dimasuki investor". Hal ini berkaitan dengan link and match antara kebutuhan dan penawaran sehingga investasi yang masuk membawa produktivitas yang maksimal.

Tidak hanya masalah penyerapan tenaga kerja, kondisi mutualisme juga perlu diciptakan. Tenaga kerja Indonesia perlu mendapatkan eksternalitas positif dari investasi melalui transfer pengetahuan, termasuk kemampuan manajerial, keterampilan teknis, dan kepemimpinan. 

Investasi yang masuk perlu mempertimbangkan keberlanjutannya pada aspek tenaga kerja; apakah investasi menimbulkan kenaikan keterampilan tenaga kerja dan produktivitas atau tidak.

Demikian pula pada penciptaan inovasi-inovasi dan pengembangan teknologi. Komponen inovasi, teknologi, dan transfer pengetahuan akan menjadi determinan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang secara berkelanjutan---kembali lagi pada konsep endogenous growth (Henstridge, De, dan Jakobsen 2013).  Bisnis sebagai representasi hasil investasi sendiri bahkan masuk ke dalam aktor penggerak dalam sistem inovasi nasional (Nugroho dkk. 2013).

Refleksi Akhir

Jika benar adanya RUU Cipta Kerja untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui investasi, maka akan lebih tepat jika mendeskripsikan terlebih dahulu jenis investasi yang diharapkan masuk untuk menopang perekonomian dan rupa investor yang diinginkan dalam membantu peningkatan modal industri.

Segala aturan yang sudah dijelaskan dalam RUU Cipta Kerja bertujuan baik untuk membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat, tetapi apakah itu juga sepadan dengan kesejahteraan pekerja nantinya? 

Berbagai isu sudah dijabarkan di atas, tetapi ada hal yang juga kurang dipandang penting dan tidak dilibatkan seperti aspek kelembagaan dan keramahan dalam bidang ketenagakerjaan. Sekali lagi, apakah dengan upaya tersebut rancangan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dapat mencapai tujuan utamanya?

Referensi

Allen, Emma. 2016. "Raising Indonesia labor productivity" Asian Development Bank, 9 Agustus. Diakses pada 23 Maret 2020.

Anandhika, Muhammad Rizqy dan Riandy Laksono. 2014. "Labor Movement From Low To High Productivity Sectors: Evidence From Indonesia's Provincial Data." APINDO Policy Series, Vol. P.001/DPN-EUKAJ-II/2014 (July): 7-24

Asian Development Bank. 2018. Indonesia: Enhancing Productivity Through Quality Jobs. Manila, Filipina.

Aswicahyono, Haryo dan Dandy Rafitrandi. 2018. "A Review of Indonesia's Economic Competitiveness" CSIS Working Paper Series WPSECO, no. 1 (Oktober): 2-19

Badan Pusat Statistik. 2020. "Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan 1986-2019" Diakses pada 23 Maret 2020.

Badan Pusat Statistik. 2019. PDB Indonesia Triwulanan 2015-2019. October 7,
2019.

Basri, Faisal. 2020. "'Sesat Pikir' Omnibus Law -- Faisal Basri" "Sesat Pikir" Omnibus Law. January 19, 2020.    

Dumairy. (2006). Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.

e.V, Transparency International. n.d. "Corruption Perceptions Index 2019" Www.Transparency.Org. Accessed March 22, 2020.

Genther, Robert dan Krisztina Kis-Katos. 2019. "Foreign investment regulation and firm productivity: Granular evidence from Indonesia." Center for European, Governance, and Economic Development Research Discussion Papers, no. 345 (April): 1-28

Henstridge, Mark, Sourovi De, dan Maja Jakobsen. 2013. "Growth in Indonesia: Is It Sustainable? Drivers from Recent Economic Growth." Oxford Policy Management, (Maret): 1-33

"NA-RUU-CIPTA-LAPANGAN-KERJA-Luwansa-20-Januari-2020-BPHN-16.21.Pdf." n.d. Accessed March 22, 2020.

"Narasi RPJMN IV 2020-2024_Revisi 28 Juni 2019.Pdf." n.d. Accessed March 21, 2020.

Nugroho, Yanuar dkk. 2013. "Indonesia Innovation Profile" Dalam OECD Reviews of Innovation Policy: Innovation in Southeast Asia, 153-180. Jakarta: Center for Innovation Policy and Governance

OECD. 2020. "OECD FDI Regulatory Restrictiveness Index." Diakses pada 23 Maret 2020.

Perangin-Angin, Andria. 2014. "Petani Melawan Negara dan Pengusaha." Jurnal Land Reform Vo. II, no. 4 (Desember): 41-54

Pradiptyo, Rimawan dan Maria S.W. Sumardjono. 2020. "Omnibus Law: Ketika Aspek Kelembagaan Dilupakan." Seminar dan Kuliah Umum, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 6 Maret 2020.

Pradiptyo, Rimawan. 2020. "Ketika Perbaikan Kelembagaan Dilupakan; Catatan Terhadap Naskah Akademik Omnibus Law Cipta Kerja" March 6.

Sugihara, Kaoru. 2007. "The Second Noel Butlin Lecture: Labor-Intensive Industrialization in Global History." Australian Economic History Review Vol. 47, no. 2 (July): 121-154

Tenrini, Rita Helbra, and Wesly Febriyanta Sinulingga. 2019. Urbanization, Human Capital, and Regional Development The Indonesian Experiences. Edited by Mahpud Sujai, Parjiono, and Arif Budi Rahman. Gramedia Pustaka Utama.

"The Economist Corporate Network-Asia Business Outlook Survey 2019.Pdf" n.d. Diakses pada 23 Maret 2020

"TPK Berdasarkan Jenis Perkara" n.d. Diakses pada 22 Maret 2020.

"UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI" n.d. Diakses pada 23 Maret 2020.

"UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup" n.d. Diakses pada 24 Maret 2020.

Utama, Abraham. 2018. "Mengapa konflik agraria terus terjadi meski pemerintah klaim mereformasi sektor pertanahan?" BBC Indonesia, 4 Oktober. Diakses pada 24 Maret 2020.

World Economic Forum. 2019. The Global Competitiveness Report 2019. Jenewa, Swiss.

Zher, Sheng Yee, and Cheng San Chye. 2017. "4th PIAAC International Conference Singapore 21- 23 November 2017," November, 28.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun