Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FEB UGM
KASTRAT BEM FEB UGM Mohon Tunggu... Penulis - Kabinet Harmoni Karya

Akun Resmi Departemen Kajian dan Riset Strategis BEM FEB UGM

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Corona dan Kampanye di Pilkada 2020

4 April 2020   17:58 Diperbarui: 4 April 2020   18:14 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh : Kelvin Ramadhan/BEMFEBUGM

Jumat pagi  (27/3), warga kompleks perumahan penulis di Sidoarjo, Jawa Timur, sempat terkejut dengan kedatangan beberapa petugas desinfektan yang meminta izin untuk menyemprotkan cairan antivirus untuk meminimalisir penyebaran virus corona (Covid-19).

Selepas izin dari pak RT perumahan turun, maka dengan pakaian perang lengkap seperti penutup kepala, kacamata goggles, baju pelindung, dan masker N95. Para petugas tanpa halangan menyemprotkan disinfektan ke tiap-tiap sudut rumah warga.

Awalnya penulis mengira ini adalah program pemerintah daerah (pemda) untuk melakukan pencegahan penyebaran virus korona. Namun, belum usai euforia kebanggaan terhadap pemdanya sendiri yang cepat tanggap menanggapi isu korona.

Ketika penulis keluar rumah dan melihat sebuah foto pria sedang tersenyum yang terpampang jelas di bodi mobil petugas barulah mengerti bahwa ini bukanlah program dari pemda. Melainkan program dari salah satu calon bupati di daerah penulis dalam rangka menuju pilkada 2020.

Menangkap Peluang Kala Krisis

Kejadian penyemprotan itu menggelitik pikiran penulis mengenai kemungkinan apabila para calon melakukan hal yang sama dengan calon bupati tersebut.

Mungkin lebih radikalnya lagi adalah bagaimana apabila sebagian ongkos kampanye para calon dialokasikan untuk membantu masyarakat menangani krisis ini. Mengingat, toh juga nantinya masyarakat inilah yang akan mereka pimpin ke depannya.

Sebenarnya dari hitung-hitungan manfaat dan biaya, para calon tidak benar-benar merugi mengorbankan sebagian dana kampanyenya karena itu juga sebagai bentuk strategi komunikasi politik yang bisa mendongkrak popularitas dengan asumsi populer bahwa orang akan lebih mengingat sosok yang muncul di tengah-tengah krisis dibandingkan di kondisi yang normal.

Studi dari Aspinall dan Berenschot (2019) dengan melibatkan lima ratus ahli politik di Indonesia mengestimasi bahwa, rata-rata biaya total kampanye yang diperlukan setiap calon bupati/walikota adalah sebesar Rp28 miliar dan untuk menjadi gubernur sebesar Rp166 miliar.

Biaya tersebut jauh di atas biaya kampanye formal yang dilaporkan para calon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sukmajati Mada, ilmuwan politik Universitas Gajah Mada (UGM), menilai angka-angka yang muncul di KPU tidak bisa menjadi tolak ukur realitas modal kampanye karena tidak pernah teruji transparansinya (cnnindonesia.com).

Hal ini didukung oleh studi Meitzner (2016) yang memperkirakan bahwa pembiayaan kampanye pilkada informal telah meningkat dari pilkada-pilkada sebelumnya.

Sementara, menurut Haryanto et.al (2018) ongkos kampanye para calon di pilkada sebagian besar dialokasikan untuk membiayai penyelenggaraan pertemuan tatap muka tim sukses, membiayai pengadaan dan pemasangan alat peraga kampanye (APK) yang termasuk juga di dalamnya biaya bazar dan sembako, dan membiayai para saksi di tempat pemilihan umum (TPU).

Ditambah juga, apabila studi kasus yang dilakukan Budi et.al (2018) di Pilkada Kota Madiun pada tahun 2018 dijadikan acuan untuk mengukur rata-rata besaran pengeluaran dana kampanye bagi seluruh calon kepala daerah maka, pembagian alokasi dana kampanye tersebut masing-masing 30 persen untuk pembelian suara, 28 persen untuk alokasi pengadaan dan pemasangan alat peraga kampanye (termasuk konser, sembako, dan bazar), 21 persen digunakan untuk biaya pencalonan, 11 persen untuk membangun tim suksesnya dan sisanya untuk biaya lainnya.

Dengan mengasumsikan dana untuk pengadaan dan pemasangan APK dipotong hingga separuhnya, maka didapat angka 14 persen dari ongkos kampanye yang siap digunakan bagi setiap calon untuk membantu penanganan virus korona.

Mengapa bagian pengadaan dan pemasangan APK yang dipotong? Karena dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), maka pendirian baliho, pengadaan konser, dan pembelian kaos kampanye tidak bisa leluasa dilaksanakan sehingga biayanya bisa dialih fungsikan ke hal yang lebih berguna saat ini seperti membeli alat pelindung diri (APD) untuk pasukan medis, membagikan masker, serta hand sanitizer. Sementara itu, untuk wilayah-wilayah yang telah menerapkan karantina lokal,  bisa dilakukan bantuan berupa pemberian sembako.

Apabila Aliansi Rakyat Bergerak (Instagram: @gejayanmemanggil) beberapa waktu lalu melakukan simulasi mengenai berapa dana yang dapat diperoleh jika gaji per tahun pejabat negeri serta pengurus BUMN dipotong sebesar 50%.

Maka, kali ini penulis mencoba mensimulasikan seberapa banyak dana yang dapat terkumpul apabila para calon di Pilkada 2020 secara sukarela mengalokasikan sebagian ongkos kampanyenya, seperti biaya alat peraga kampanye untuk kepentingan rakyat di masa-masa genting seperti ini.

Mengapa penulis menjamin semua calon sepakat melakukan hal itu? Karena pengalokasian dana kampanye ke penanganan virus korona di Indonesia ini bisa ditinjau secara masuk akal melalui teori dilema tahanan (prisoner's dilemma).

Dalam kerangka ini, semua calon dalam satu daerah akan diuntungkan sebenarnya apabila tidak ada satupun dari mereka melakukan strategi pengalihfungsian dana kampanye.

Namun, apabila terdapat satu calon saja yang menggunakan strategi mendongkrak popularitas via aksi sosial masyarakat ini maka, peluang kekalahan para calon yang tidak melakukannya makin besar. Walhasil, yang terjadi adalah semua calon akan cenderung melakukan hal itu demi mengurangi risiko kekalahannya.

Hitungan Kasar Secara Matematis

Sebelumnya, patut diketahui bahwa Pilkada 2020 akan dilaksanakan oleh 261 kabupaten/kota dan 9 provinsi. Setidaknya hingga saat ini belum diketahui secara pasti berapa total calon yang akan berlaga di Pilkada 2020 nanti. Walhasil, penulis menggunakan perhitungan sangat konservatif karena hanya mengasumsikan terdapat satu calon untuk setiap kabupaten/kota dan provinsi.

Dengan demikian, mari berhitung secara kasar untuk mengetahui berapa total nominal yang dapat dikumpulkan.

Pertama, dengan mengasumsikan ada 14 persen dana kampanye yang dialokasikan dan merujuk pada studi Aspinall dan Berenschot sebelumnya yang mengestimasi bahwa dana kampanye bupati/walikota adalah sebesar Rp26 miliar dan gubernur sebesar Rp166 miliar, maka didapat hasil sebesar Rp3,64 miliar untuk tiap bupati/walikota dan Rp23,24 miliar untuk tiap gubernur.

Kedua, terdapat 261 kabupaten/kota dan 9 provinsi yang melaksanakan pilkada 2020 nanti. Dengan demikian, 261 dikalikan Rp3,64 miliar dan 9 dikalikan Rp23,24 miliar, maka akan ditemukan hasil Rp1,314 triliun untuk wilayah pilkada kabupaten/kota dan Rp209,16 miliar untuk wilayah pilkada provinsi.

Ketiga, apabila dijumlahkan nominal tersebut untuk masing-masing kabupaten/kota dan provinsi, maka didapat dana sebesar Rp1.,23.16 triliun yang siap digelontorkan dari total tiap calon kepala daerah yang berlaga di pilkada nanti.

Setiap calon kepala daerah berhak menggunakan instrumen bantuannya masing-masing sesuai kebutuhan yang paling signifikan di daerahnya. Entah meniru cara Fikar Amin, seorang penulis lepas, dan temannya, Anam, seorang lulusan kimia murni, yang memproduksi 4.000 botol hand sanitizer berukuran 30 ml yang dibagikan ke para pengemudi ojek daring (ojol).

Maupun cara Maryati Simursi, pemilik toko merchandise di Kota Depok, Jawa Barat yang  menyulap tokonya menjadi tempat produksi APD dan nantinya dibagikan secara gratis kepada para tenaga medis (Asumsi.co).

Satu hal yang jelas, apabila kita mengeneralisir dana yang terkumpul semuanya menjadi satu wilayah kesatuan dari daerah Pilkada 2020, kemudian dengan asumsi harga (sesuai harga pasar saat ini) botol hand sanitizer ukuran 100 ml seharga Rp50.000, masker per kotak (isi 50 masker) seharga Rp250.000, dan beras dan telur per kilogram seharga Rp23.000, dengan pembagian yang rata (sepertiga masing-masing).

Maka, total para calon kepala daerah dapat menyumbang sebanyak 10.154.400 juta botol hand sanitizer ukuran 100 ml, 2.030.880 kotak masker, dan 22.074 ton beras dan telur kepada masyarakat konstituennya. Besarnya bantuan tersebut jelas dinilai sangat mampu untuk meminimalisir dampak virus korona terhadap kesehatan dan daya beli sebagian besar rakyat Indonesia.

Masyarakat jamak mendengar para calon kepala daerah selalu menyerukan kepentingan rakyat di atas segala-galanya, seperti yang nampak di tagline baliho calon serta pidato yang berapi-api waktu kampanye.

Maka, sudah seharusnya bila mereka mengutamakan kepentingan rakyatnya dahulu terlebih di masa krisis seperti saat ini. Kejadian buruk terus berulang, sejarah mencatat sosok pahlawan selalu datang, masyarakat yang mengingat.

Daftar Pustaka: 

  • Aspinall, E. & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale: Pemilihan Umum, Klientelisme, dan Negara di Indonesia. Edisi Pertama. Cornell University Press. Ithaca. Terjemahan E.
  • Asumsi. (2020). "Seribu Baju Hazmat: Pemerintah Kocar-kacir, Rakyat Mengorganisir". https://asumsi.co/post/seribu-baju-hazmat-untuk-tenaga-medis-di-kala-pemerintah-kocar-kacir-rakyat-mengorganisir (diperoleh pada 30 Maret 2020)
  • Budi, et.al (2018). Kampanye Padat Modal oleh Calon Perseorangan: Studi Kasus Pilkada Kota Madiun 2018. Dalam Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Editor M. Sukmajati & A. Perdana. Cetakan Pertama. Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia. Jakarta
  • CNNIndonesia. (2019). "Laporan Mendalam: Ongkos Mahal Politik Wakil Rakyat". https://www.cnnindonesia.com/longform/nasional/20190402/laporanmendalam-ongkos-mahal-politik-wakil-rakyat/index.html (diperoleh pada 30 Maret 2020).
  • Haryanto, et.al. (2018). Pembiayaan Kampanye Calon Usungan Partai Politik di Pilkada: Kasus Pilkada Kota dan Kabupaten Madiun 2018. Dalam Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Editor M. Sukmajati & A. Perdana. Cetakan Pertama. Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia. Jakarta
  • Mietzner, M. (2016). Indonesia. Dalam Checkbook Elections? Political Finance in Comparative Perspective. Editor P. Norris & A.A. Vanes. Oxford University Press. Oxford.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun